Kebahagiaan Semu Lulus UGM Setelah “Disiksa” 14 Semester, Cemas Jadi Pengangguran karena Usia Terlalu Tua di Lowongan Kerja

Kebahagiaan Semu Lulus UGM Setelah “Disiksa” 14 Semester, Cemas Jadi Pengangguran karena Usia Terlalu Tua di Lowongan Kerja.MOJOK.CO

Ilustrasi - Kebahagiaan Semu Lulus UGM Setelah “Disiksa” 14 Semester, Cemas Jadi Pengangguran karena Usia Terlalu Tua di Lowongan Kerja (Mojok.co/Ega Fansuri)

Lulus UGM harusnya menjadi momen yang berkesan bagi mahasiswa. Mendapat gelar sarjana dari kampus terbaik tersebut, dianggap menjadi kebanggan sekaligus bekal di dunia kerja.

Sayangnya, hal tersebut tak dirasakan narasumber Mojok, David* (27). Ia lulus UGM setelah 14 semester kuliah di jurusan yang sama sekali tak ia inginkan.

“Ibarat kata, tujuh tahun ini aku disiksa. Dipaksa buat belajar ilmu yang nggak aku suka,” paparnya kepada Mojok, Jumat (29/3/2025) lalu. 

Setelah lulus pun, perasaan cemas justru menggelayutinya. Lulus amat telat di usia 27 tahun membuatnya khawatir bakal kesulitan mendapatkan pekerjaan karena batas usia sudah melampaui rata-rata di lowongan pekerjaan.

“Statusku ini kalau dibilang fresh graduate, iya, karena baru aja lulus,” jelasnya. “Tapi bisa juga nggak dianggap fresh, karena 27 tahun itu udah telat banget buat mulai masuk bursa kerja,” sambungnya.

Masuk UGM demi menuruti kemauan orang tua

Perjalanan David di UGM berawal pada 2017. Saat itu, ia diterima via jalur SNBT (sekarang SBMPTN). Hebatnya lagi, ia lolos pada pilihan pertama di salah satu jurusan UGM.

Kendati pencapaiannya luar biasa, sebenarnya ia tak sepenuh hati kuliah di jurusan tersebut. Sebab, jurusan yang ia pilih itu merupakan pilihan orang tuanya atas alasan yang klasik: prospek kerja dianggap luas.

“Pilihanku aslinya yang aku input di pilihan ketiga. Tapi ndilalahnya diterima pada pilihan pertama, yang itu pilihan ibuku,” jelasnya.

David sendiri mengaku, pada awalnya dia tidak sreg dengan kelolosan itu. Namun, pikirnya, apa salahnya dijalani dulu. Kalau dalam setahun masih tak cocok, bakal diputuskan untuk mengikuti SNBT tahun berikutnya.

Ingin pindah jurusan, tapi selalu dilarang

Dua semester kuliah di UGM, David benar-benar tak menikmatinya. Ia bahkan lebih banyak di luar kelas daripada mengikuti perkuliahan. Kalaupun ikut perkuliahan, kata dia, ilmunya cuma masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

“Namanya udah nggak suka, mau dipaksa gimana pun tetap nggak masuk ilmunya,” jelas David.

Sialnya, tiap kali ia meminta orang tuanya buat pindah jurusan atau pindah kampus, selalu mendapat larangan. Alasannya bermacam-macam, mulai dari alasan “kesempatan lolos UGM tidak datang dua kali”, masalah biaya kuliah, hingga romantisisasi kakak-kakaknya yang sukses karena kuliah di jurusan tersebut.

Mau tak mau, David pun cuma bisa menerima. Ia seolah tak berdaya. Kalau orang tua sudah bilang A, pasti harus A tanpa boleh membantah.

Imbasnya, selama empat tahun kuliah di UGM sampai 2021, nilai David amat tercecer. IPK-nya tidak sampai angka 3. Bahkan, ada banyak mata kuliah yang harus mengulang.

“Kuliah yang idealnya delapan semester lulus pun jadi nggak mungkin. Apalagi itu masuk Covid-19. Aku sempat cuti karena nggak kuat sama situasi, jadinya kuliah makin tercecer.”

Baca halaman selanjutnya…

Skripsian dibantu pacar dan berhasil lulus di semester 14. Tapi langsung overthinking karena usia terlalu tua untuk memulai kerja.

Mengakhiri “siksaan” di UGM setelah 14 semester

Akhirnya, bagi David, kuliah di UGM sudah seperti siksaan. Satu-satunya kenikmatan yang dia dapat hanyalah mendapatkan pacar yang setia menemaninya melewati masa-masa sulit di UGM.

Selebihnya, kehidupan kuliah cuma ibarat makanan tak enak yang terpaksa dia kunyah dan telan. “Memang masuk mulut, ada gizinya, tapi kalau aku nggak menikmatinya ya apa guna?,” ucapnya, menganalogikan situasinya di UGM.

Awal 2023 lalu, David baru mulai mengerjakan skripsi. Itupun, sebagian besar skripsinya ada campur tangan pacarnya yang sudah lulus dua tahun lebih cepat. Baginya, skripsian “dijokiin” pacar bukanlah aib, tapi kebanggaan.

“Bangga, soalnya pacarku ternyata pinter. Hahaha,” candanya.

Dinamika skripsian berhasil ia lewati setelah dua semester berjalan. David pun berhasil lulus pertengahan 2024 lalu meski nilai akhirnya pas-pasan. Tapi setidaknya, ia bisa lega karena “siksaan” 14 semester di UGM akhirnya berakhir juga.

Kelegaan yang berubah jadi kecemasan

Awalnya, David menolak mengikuti wisuda UGM yang akan dilangsungkan November 2024 lalu. Alasannya, ia merasa malu dan tak pantas mengikuti seremonial itu. 

“Udah ketuaan, IPK juga jelek, jadi pikirku ngapain ikut,” jelasnya.

Karena mendapatkan paksaan orang tua, sekaligus diyakinkan oleh pacarnya, David akhirnya luluh juga. Namun, di acara tersebut, isi kepalanya kemana-mana. Acara yang harusnya menjadi momen bahagia malah rusak karena rasa cemasnya.

David terus memikirkan soal kariernya di dunia kerja. Sebab, sampai saat ini, lowongan pekerjaan yang kerap dia terima, mengharuskan pendaftar adalah fresh graduate; ambang batas umurnya 25 tahun.

Sementara dia sudah 27 tahun. “Aku telat lulus, sudah terlalu tua buat industri,” jelasnya.

Kini, yang tersisa pun cuma penyesalan dan rasa cemas. Menyesal kenapa dahulu ia tak berani membantah orang tua untuk kuliah di jurusan yang diinginkan. Sekaligus cemas kalau nantinya ia hanya akan berakhir sebagai S1 yang nganggur.

“Bayangin aja dulu. Reuni keluarga besar saat lebaran, dalam situasi kamu lulus telat, 27 tahun baru kelar kuliah, dan nganggur. Tebak pertanyaan apa yang bakal kamu dapatkan?,” pungkasnya.

*) Narasumber meminta Mojok menyamarkan nama aslinya.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Lulusan S2 Nekat Merantau ke Jakarta karena Muak dengan UMR Jogja: Baru Sebulan Kerja Balik Nganggur, Kantor Bangkrut atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version