Tak Cuma Dosen Guling-guling, Ujian Mahasiswa di UIN Maliki Malang Harus Tahan Hadapi “Dosen-dosen Absurd”

Dari kasus dosen guling-guling, kuliah di UIN Maliki Malang memang harus siap ketemu dosen-dosen absurd MOJOK.CO

Ilustrasi - Dari kasus dosen guling-guling, kuliah di UIN Maliki Malang memang harus siap ketemu dosen-dosen absurd. (Ega Fansuri/Mojok.co)

UIN Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang tengah menjadi sorotan di media massa dan media sosial. Musababnya—barangkali pembaca sudah sama-sama tahu—adalah karena ulah “absurd” seorang dosen—yang belakangan diketahui sudah nonaktif dari UIN Malang—bernama Imam Muslimin.

Drama guling-guling di tanah

Merujuk narasi yang jamak beredar, Imam Muslimin dituding melakukan rentetan perbuatan tak menyenangkan pada tetangganya.

Seorang tetangga berinisial S mengaku pernah menerima pelecehan verbal dari si dosen, sehingga muncul narasi “dosen mesum” dan “dosen cabul”. Lalu S menyebut si dosen iri dengan S perkara tanah sampai-sampai mengerahkan mahasiswa untuk menggeruduk kediaman S.

Cekcok tak terhindarkan. Yang kemudian menjadi sorotan, dalam video yang beredar, saat cekcok tersebut dosen UIN Maliki Malang itu disebut “drama” dengan menjatuhkan diri hingga guling-guling di tanah padahal tak disentuh si tetangga.

Tak pelak, hujatan demi hujatan di media sosial menyasar Imam Muslimin. Bahkan, beberapa mempertanyakan UIN Maliki Malang yang menjadikan sosok seperti itu sebagai dosen di lingkungan akademisnya. Kendati Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan—fakultas tempat Imam Muslimin mengajar—Muhammad Walid memastikan telah menonaktifkan Imam Muslimin karena dinilai melakukan pelanggaran disiplin.

Hanya saja, tingkah Imam Muslimin ternyata memberi dampak sosial dan psikologis kurang baik bagi mahasiswa dan alumni kampus tersebut. Mojok sempat wawancara dengan salah satu mahasiswa aktif dari kampus itu. Tapi sebelum ditulis, si mahasiswa memutuskan tidak bersedia pernyataannya dikutip. Mojok akan memuat reaksi dua orang alumni atas keonaran yang belakangan tengah jadi sorotan ini.

Alumni UIN Maliki Malang turut malu tapi tak kaget

Bagaimanapun, label alumni UIN Maliki Malang tersemat dalam diri Ariq* (26) dan Zayida* (24) (nama asli dan identitas keduanya disamarkan atas permintaan yang bersangkutan).

Tetangga, keluarga, dan teman-teman rumah maupun SMA mereka sama-sama tahu itu. Orang-orang di tempat kerja masing-masing pun tahu karena asal kuliah kerap jadi pintu masuk perkenalan. Tak ada celah bagi keduanya untuk menyembunyikan identitas.

“Kenapa ya banyak dosen atau orang yang paham agama, ngajar pesantren atau kampus Islam, justru kelakuannya aneh?” Ariq dan Ziyada hanya bisa menjawab sekenanya saat menerima pertanyaan semacam itu dari teman SMA atau teman kantor mereka.

Keduanya dulu memang tidak pernah diajar oleh Imam Muslimin, karena mereka berada di fakultas berbeda. Hanya saja, lantaran pemberitaan tentang Imam Muslimin seperti tak habis-habis, sebagai alumni Ariq dan Ziyada mengaku ikut menanggung malu.

“Apa yang dipertontonkan yang bersangkutan memang nggak mencerminkan sosok berilmu, apalagi ilmu agama,” ungkap Ariq, Kamis (18/9/2025).

“Tapi kalau kuliah di UIN Maliki Malang, jadi nggak kaget kalau melihat tingkah unik dosen,” sementara begitu pengakuan Ziyada.

Agama hanya sebagai knowledge

Tak bisa dimungkiri, instrumen ilmu agama memang bertaburan di UIN Maliki Malang—juga di banyak UIN lain. Ariq mencontohkan: jika sudah masuk sebagai mahasiswa UIN Maliki Malang, maka ada tuntutan untuk bisa melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan fasih, harus disiplin tajwid hingga lancar menulisnya (huruf-huruf Arab).

Di fakultas apapun, dasar-dasar agama juga dijejalkan kepada mahasiswa. Misalnya berkait aqidah, bahasa Arab, dan lain-lain.

“Tapi, ilmu agama tak lebih sebagai knowledge, tapi tidak serta merta menjadi prinsip hidup,” ujar Ariq.

Tentu ada sangat banyak dosen yang memberi contoh bagaimana menjadikan agama sebagai nilai: terimplementasi dalam bentuk moralitas yang luhur. Namun, Ariq tak menampik bahwa ada juga dosen yang laku hidupnya tak mencerminkan sebagai sosok yang paham agama. Kalau kata Ariq, Imam Muslimin bisa jadi contoh dalam kategori ini.

“Efeknya juga ke mahasiswa. UIN akhirnya nggak lebih dari sekadar institusi. Orang ke sini buat kuliah, ngejar gelar akademik. Keilmuan agama hanya sebagai bagian dari kurikulum yang memang harus dijalani. Atau paling bagus ya jadi cas-cis-cus di forum diskusi,” ungkap Ariq.

Sekali lagi, Ariq menegaskan tak semua mahasiswa seperti itu. Tapi di kampus dengan latar belakang “Islam” itu, amat mudah menemukan orang yang dalam diskusi bisa berbusa-busa bicara soal hakikat tuhan, tapi salat lima waktu dan puasa Ramadan saja ogah-ogahan. Orang bisa sangat percaya diri membawa atribut “organisasi Islam”, tapi jauh dari moralitas ke-Islaman.

Dosen kolot hingga genit

Banyak dosen-dosen boomerkalau istilah Ariq—yang mengisi di UIN Maliki Malang. Setidaknya di eranya kuliah sejak 2017 silam. Masalahnya, mereka enggan mengikuti perkembangan zaman. Sehingga terkesan kolot dan merepotkan mahasiswa.

“Unik-unik lah. Aku dan beberapa temanku paling ribet ya waktu skripsi. Ketemu dosen tua yang jual mahalnya minta ampun. Udah janji bimbingan, tiba-tiba dibatalkan. Dihubungi susah, kalau ditemui di kampus bilang lagi sibuk, sampai susah ditemui,” ungkap Ariq.

Selain itu, di kampus itu indoktrinasi perihal posisi “guru/dosen” dalam agama sangat kuat. Guru atau dosen masuk dalam kategori orang alim. Pertama, mereka harus ditaati. Kedua, tindakan orang alim pasti punya dasar kuat, sehingga jangan serta merta berprasangka buruk padanya. Apalagi dalam Islam, suuzon menjadi larangan tegas sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an.

Ziyada mengamininya. Namun, dalam konteks perempuan, pernah pada suatu semester dia mendapati seorang dosen yang gelagatnya genit sekali: galak ke mahasiswa laki-laki, tapi agak genit-genit gimana gitu ke mahasiswa perempuan.

“Kalau di aku dan beberapa teman, memang belum ada yang sampai jadi korban pelecehan seksual. Ya hanya kegenitan lah. Tapi itu saja sudah bikin risih,” kata Ziyada.

Dan memang, seorang dosen di UIN Maliki Malang pernah tersandung kasus pelecehan seksual. Ini masih menjadi fenomena gunung es karena masih ada korban-korban yang belum berani angkat bicara.

Dosen predator di UIN Maliki Malang

Merujuk Tirto dalam laporannya, “Dosen Predator yang Masih Berkeliaran di UIN Malang” yang terbit pada 2019, Wan Ulfa Nur Zuhra (reporter) melaporkan bahwa di tengah-tengah kampus UIN Maliki Malang ada seorang dosen yang menjadi “predator”. Korbannya tak sedikit, dengan modus menyasar mahasiswa baru.

Ia mulai diselidiki sejak 2013 oleh Lutfi Mustofa yang saat itu menjabat Dekan Fakultas Psikologi. Hanya saja, si dosen predator—berinisial ZH—memang dalam posisi aman.

ZH dikenal sebagai salah satu dosen penting. Ia dekat dengan mantan Rektor Mudjia Rahardjo: pernah menjadi anggota Satuan Pengawas Internal (SPI) yang berada langsung di bawah rektor.

Tak hanya itu, ia juga pernah memimpin proyek pendanaan dari Saudi Fund Development senilai Rp700 miliar yang dikucurkan ke UIN Maliki Malang. Dan menurut pengakuan para korban yang Tirto himpun, ZH dikenal juga sebagai senior yang disegani di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) setempat.

Di tahun yang sama, tak berselang lama dari laporan Tirto, pers mahasiswa UIN Maliki Malang (UAPM Inovasi) mempublikasikan laporan kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosen di Fakultas Humaniora.

Saat itu para mahasiswa diberi pesan oleh seorang dosen agar tidak menyebarkan berita soal dugaan pelecehan seksual tersebut. Dalihnya, pertama, umat Islam jangan menyebar aib orang lain. Kedua, membesar-besarkan kehebatan si dosen predator.

Berita ini sempat jadi perbincangan di media sosial. Namun seperti lenyap dihempas angin.

Klarifikasi: fitnah keji

Imam Muslimin yang kini jadi sorotan publik membantah narasi-narasi yang menyerang dirinya. Termasuk tuduhan yang menyebutnya sebagai “dosen mesum/cabul”.

“Itu fitnah keji yang dilakukan oleh orang yang menghasut terhadap saya dan semuanya tidak ada satu pun yang benar,” ujarnya kepada awak media, Selasa (16/9/2025) sebelumnya.

Imam Muslimin menjelaskan, cekcok dengan tetangga itu bermula dari sengketa lahan parkir. Bukan karena iri dengki dengan tetangga.

Imam Muslimin mengaku sudah mengeluarkan biaya sebesar Rp12 juta untuk membersihkan lahan yang dulunya semak belukar. Harapannya agar bisa dimanfaatkan sebagai area parkir.

Lahan tersebut, menurut Imam, ditawarkan kepadanya oleh pemilik sah yang berdomisili di Bali. Namun, niat baiknya justru ditanggapi tak baik oleh si tetangga berinisial S tadi sebagai pihak yang kini menggunakan lahan tersebut.

“Saya berupaya mencarikan lahan parkir yang sekarang dipakai S itu. Tapi S malah menengkari saya. Saya nggak tahu maunya apa,” ujar Imam Muslimin.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Hari-hari Mahasiswa Malang yang Jalani Kumpul Kebo: Latihan Berumah Tangga, Hidup Layaknya Suami Istri meski Tak Siap Menikah atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

 

 

Exit mobile version