Cerita mahasiswa ITS Surabaya yang awalnya sombong karena bisa lolos ke jurusan akreditasi A. Kini, yang tersisa cuma sesal karena susah lulusnya. Bahkan, teman seangkatan sudah ada yang menjadi dosen.
***
Sepanjang perjalanan kereta dari Surabaya ke Jawa Barat pada lebaran kemarin, Aldi* (25) amat lesu. Makan tak enak, tidur tak tenang, bahkan buat sekadar mendengarkan lagu di Spotity pun rasanya rasanya sumpek.
Tapi ini bukan karena dia mabuk darat. Melainkan karena was-was sekaligus bingung menyiapkan jawaban yang presisi soal kuliahnya kepada orang tua dan sanak famili di rumah.
“Aku udah masuk fase terakhir kuliah. Semester 14. Tapi skripsi selembar saja belum. Kalau tahun ini nggak kelar, ya kelar juga nasib kuliahku,” kata Aldi, bercerita pada Mojok, Senin (19/5/2025) lalu.
Aldi sendiri merupakan mahasiswa angkatan tua ITS Surabaya. Ia berkuliah di jurusan yang berakreditasi A–sayangnya ia tak berkenan nama jurusannya ditulis Mojok.
Yang jelas, ia mengaku sempat sombong bisa kuliah di kampus negeri Surabaya itu. Sialnya, kini yang tersisa cuma sesal karena buat lulus kuliah nyatanya tak semudah membalikkan telapak tangan.
“Masuknya mudah, keluarnya susah,” ungkapnya.
Sombong bisa lolos ITS Surabaya via “jalur lotre”
Aldi ingat betul bagaimana dulu ia bisa “mendongakkan kepala” setinggi-tingginya waktu diterima di salah satu jurusan akreditasi A di ITS Surabaya.
Wajar saja. Sejak awal ia tak diperhitungkan lolos PTN. Sepanjang SMA, prestasinya nggak bagus-bagus amat. Paling jauh rankingnya cuma masuk 10 besar kelas.
Namun, saat pengumuman siswa eligible SNBT (dulu SNMPTN) 2019, ia termasuk satu di antaranya. Saat itu, Aldi pun memilih ITB di pilihan pertama dan ITS di pilihan kedua SNBT.
“Pertimbangannya karena memang akreditasinya A, dan aku ada minat juga kuliah di jurusan itu. Makanya dipilih,” jelasnya.
Guru BK, teman sekolah, bahkan sahabatnya dekatnya, sempat kaget dengan pilihan Aldi. Pasalnya, itu dianggap “mission impossible”.
“Yang paling aku ingat, teman sekolah sampai ada yang berani bertaruh aku nggak bakal lolos. Aku dengarnya sampai sakit hati,” ujarnya.
Di luar dugaan semua orang, Aldi lolos. Ia menjadi satu dari sedikit siswa sekolahnya yang tembus SNBT. Lebih prestisius lagi, ia masuk jurusan akreditasi A ITS Surabaya.
Mengetahui kabar tersebut, Aldi gembira bukan main. Terlebih, ada ego untuk menjawab taruhan teman-temannya yang meremehkannya tadi.
“Setelah ada pengumuman itu, story-ku di IG isinya cuma soal ITS, gambar gedung-gedung tinggi, pokoknya semua soal ITS. Cuma buat ngasih unjuk kalau aku juga bisa lolos ITS.”
Menikmati semester awal kuliah di ITS Surabaya
Hari-hari pertama menjalani kuliah di ITS Surabaya, euforia kelolosan itu masih ada. Terutama sekali Aldi masih sempat tak menyangka bisa kuliah di kampus kenamaan tersebut.
“Jujur saja aku seneng banget sama atmosfer akademiknya, dosen-dosen yang ngajar, bahkan teman kelas yang enak diajakin nongkrong. Rasanya menggembirakan banget pokoknya,” kata dia.
Semester awal perkuliahan pun ia jalani laiknya mahasiswa lain. Masuk kelas, belajar, dan malamnya nongkrong bareng teman kos.
Baca halaman selanjutnya…
Kuliah mulai tercecer gara-gara Covid dan pacaran.
Kebetulan juga, di lingkungan kos Aldi banyak yang berasal dari Jawa Barat. Ada kesamaan kultur dan bahasa. Sehingga, ujarnya, ada perasaan seperti di rumah.
“Pokoknya semester awal itu kuliah ya normal-normal aja.”
Kuliah hancur karena Covid-19 dan pacaran
Kenikmatan kuliah di ITS Surabaya tidak bertahan lama. Memasuki semester kedua perkuliahan, situasi malah gonjang-ganjing karena pandemi Covid-19. Kondisi tak ideal itu bahkan terus terjadi di semester-semester selanjutnya.
Ia merasa kuliah seperti tak ada kepastian. Belajar susah, tidak bisa bertemu teman, serta kondisi-kondisi eksternal lain membuatnya tak bisa fokus kuliah.
Aldi mengaku, meski lupa kapan tepatnya, kuliah di ITS Surabaya mulai tercecer. Ia tak bisa mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan efektif, banyak nilainya pun juga awut-awutan. Alhasil, selain IPK-nya anjlok, ada banyak mata kuliah yang harus dia ulang.
“Ada yang bilang, Covid itu enak buat kuliah karena bisa di mana aja. Tapi bagiku itu kayak neraka, karena aku bener-bener nggak bisa ngikutin perkuliahan.”
Mood belajarnya sudah ancur-ancuran gara-gara pandemi. Bahkan, ketika kondisi membaik dan ia memutuskan kembali ke Surabaya, hari-harinya lebih banyak diisi dengan nongkrong dan pacaran.
Aldi mengaku sudah kehilangan gairah kuliah. Apalagi, makin tua semesternya, mata kuliah yang dipelajari pun makin sulit. Ia yang sudah telanjur ketinggalan jauh, makin susah pula mengikuti.
“Sejak itu, aku masuk kelas berapa kali bisa dihitung jari. Boleh dibilang datang ke kampus cuma formalitas aja,” ungkapnya.
“Tahu-tahu waktu datang ke kampus kok udah banyak aja wajah-wajah baru. Tahunya memang aku aja yang sudah jadi angkatan tua bangka.”
Di ambang DO, dan teman angkatannya sudah jadi dosen
Waktu terus berjalan. Kini, Aldi sudah di ambang penentuan. Nasibnya ditentukan tahun ini. Ia tak punya pilihan: skripsi selesai, atau kuliahnya yang selesai (dalam artian, drop out).
“Tapi masalahnya, sampai sekarang selembar skripsi pun belum digarap. Hahaha.”
Di satu sisi, ia menyadari bahwa ada banyak yang dikorbankan dari kuliahnya yang sia-sia ini. Baik itu rugi secara waktu, maupun materi. Apalagi, uang kuliah di ITS Surabaya itu tidak kaleng-kaleng mahalnya.
Namun, di sisi lain, ia juga tak tahu harus apalagi. Aldi mengaku tak punya plan B. Yang ada dan yang dia bisa, terus menjalani saja kuliahnya yang sia-sia ini.
Yang lebih mengesalkan lagi, menjadi mahasiswa tua nyatanya memang tak mengenakkan. Banyak teman-teman seangkatannya yang sudah lulus dan bekerja. Sementara dia, masih gitu-gitu aja.
“Tahu apa yang lebih lucu? Jadi beberapa hari yang lalu, aku datang ke kampus pacarku. Di sana aku ketemu teman seangkatan yang sudah kerja jadi dosen di sana. Hahaha!,” tawanya.
“Itu random banget. Se-sia-sia itu aku kuliah sampai kehilangan banyak waktu berharga. Tanpa sadar teman yang dulu masih makan bareng di kantin, sekarang dah jadi dosen.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Tinggalkan Skripsi demi Jadi Penjaga Warung Madura, Cuannya bikin Gelar Sarjana Terasa Tak Guna atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
