Ada kisah mahasiswa ITB, UGM, dan berbagai kampus lain yang alami tekanan berat akibat skripsi. Hadirnya jasa pembimbing skripsi membantu para mahasiswa ITB dan kampus lain yang punya masalah personal hingga ketidakcocokan dengan dosen.
Jasa bimbingan skripsi, jadi pilihan mahasiswa ITB hingga UGM yang terkendala namun teguh pada idealisme menolak praktik joki skripsi. Terlebih yang punya dosen pembimbing tak suportif.
Mojok mewawancari Roni* (27), lelaki yang setahun belakangan menjalani profesi sampingan sebagai jasa pembimbing skripsi. Di awal, ia menegaskan bahwa pekerjaannya tidak sama dengan praktik perjokian.
“Bahkan setiap awal sesi bimbingan dengan klien, aku selalu menekankan jangan berekspektasi terlalu tinggi. Tugasku membimbing, bukan mengerjakan skripsi mereka,” katanya pada Minggu (4/2/2024).
Roni mengaku kadang prihatin dengan orang yang menyepelekan kondisi mental mahasiswa yang sedang berjuang mengerjakan skripsi. Seakan, tugas akhir ini mudah. Barangkali memang mudah, namun kendala yang dihadapi mahasiswa juga kompleks.
“Kita nggak pernah tahu apa yang mahasiswa hadapi. Jangan pernah sepelekan,” katanya.
Mahasiswa yang depresi saat proses pengerjaan hingga sidang skripsi
Sampai saat ini, Roni sudah berhadapan dengan puluhan bahkan ratusan mahasiswa yang butuh bantuan bimbingan. Mulai dari jenjang S1, S2, hingga S3 dari berbagai kampus seperti UGM hingga ITB. Terbanyak memang untuk kalangan S1, sementara S3 ia hanya membantu teknis pengerjaan proposal hingga pengolahan data.
Untuk kategori S1, jenis bimbingan dan konsultasinya pun beragam. Mulai dari penyusunan latar belakang, pemilihan judul, pengolahan data, bahkan sampai simulasi sidang skripsi. Kliennya datang dari berbagai kampus. Mulai dari kampus top seperti UGM, ITB, Udayana hingga berbagai kampus swasta besar seperti Telkom University.
Selama bertemu dengan mahasiswa dari ITB hingga UGM, Roni mendengar dan menyaksikan berbagai cerita. Kebanyakan mahasiswa mengaku terkendala dengan dosen pembimbing. Seringkali mereka sulit mendapatkan jadwal konsultasi memadahi.
Selain itu, banyak juga yang bertemu dosen “killer”. Mahasiswa takut untuk bertanya dan panik duluan saat mendapat masukan saat bimbingan.
“Ada juga yang sudah dijelaskan dosen tapi nggak paham. Mau tanya tapi takut. Tapi selain itu, banyak juga yang terkendala karena masalah personal,” katanya.
Terakhir, Roni bertemu dengan seorang mahasiswi yang punya gangguan kecemasan. Mahasiswi itu menggunakan jasa Roni untuk simulasi sidang skripsi. Mulai dari review materi hingga praktik presentasi.
Mereka membuat janji di jam 7 malam. Namun, mahasiswi itu tiba-tiba mengundurkan jadwal karena gangguan kecemasannya kambuh. Saat proses simulasi, Roni mengaku menjadi dilema, antara ingin mencecar selayaknya dosen atau agak mengedurkan tekanan karena kliennya sedang dalam kondisi tidak baik.
“Saat simulasi dia juga ditemani pacarnya. Aku kadang nggak tega, kalau nggak paham dengan pertanyaanku ya kita diskusikan saja,” paparnya.
Baginya, sentuhan personal saat bimbingan dengan mahasiswa ITB, UGM, dan berbagai kampus lain menjadi aspek penting. Ia kerap menanyakan kabar dan kondisi kliennya, terutama yang sudah menggunakan jasanya lebih dari sekali. Menurut Roni, sentuhan personal semacam itu jarang dosen pembimbing berikan.
Nasib jasa bimbingan yang kerap dianggap joki
Meski berlatarbelakang pendidikan ilmu sosial, terkadang Roni harus siap dengan klien dari jurusan sains. Bahkan, ia pernah menangani klien dari Jurusan Kedokteran yang terkendala dalam pengolahan data.
“Uniknya ini malah anak kedokterannya minta joki. Padahal dari awal aku sudah ngasih tahu bahwa jasaku ya bimbingan,” keluhnya.
Permintaan untuk menjadi joki skripsi kerap Roni dapat selama menjalankan jasa bimbingan skripsi. Namun, dengan tegas ia mengaku menolaknya.
Ia memilih jalan menawarkan jasa bimbingan dengan tarif Rp100 ribu per jam. Selain bekerja secara personal, ia juga terafiliasi dengan sebuah lembaga pembelajaran yang menawarkan jasa serupa.
Jasa bimbingan skripsi tidak sembarangan. Mengingat latarbelakang Roni dari pendidikan ilmu sosial, maka ia harus belajar setiap hendak membimbing mahasiswa lintas jurusan. Ia mengaku, terkadang merasa gugup saat mendampingi mahasiswa dari kampus besar seperti UGM hingga IPB yang aktif bertanya.
“Jadi sebelum membimbing, aku benar-benar belajar dulu tentang materi dia. Kalau aku memang kompetensinya ada di penelitian kualitatif, kalau kuantitatif bisa asal masih sederhana,” tuturnya.
Jasa bimbingan hadir buat mahasiswa ITB dan kampus lain yang punya tekad
Stigma negatif yang melekat terhadap jasa bimbingan membuatnya belum berani promosi dirinya secara terang-terangan. Selain klien dari lembaga, ia menawarkan dari mulut ke mulut.
“Banyak klien yang datang karena cerita dari klien lainnya,” katanya.
Selain dari pengalaman kuliah, modal utama Roni menjalani jasa ini adalah rekam jejaknya dalam mengikuti berbagai perlombaan penulisan ilmiah. Modal itu membuatnya bisa lebih memahami ragam jenis pendekatan pengerjaan skripsi.
Apa yang Roni kerjakan memang berbeda dengan praktik perjokian. Sebelumnya, Mojok pernah mewawancari Wahib* (24), seorang lulusan PTN di Jogja yang skripsinya ful dengan bantuan joki.
Dengan membayarkan uang Rp3juta, Wahib mengaku sudah tinggal terima beres. Mulai dari proposal hingga sidang, semua prosesnya ia limpahkan ke pihak ketiga. Ia hanya mengawal dan mengusulkan ide penelitian di awal.
Wahib mengaku alasannya mengandalkan joki skripsi lantaran kuliah sambil kerja. Selain itu, ia merasa kesulitan dengan segala persoalan penulisan ilmiah.
“Saat itu rasanya otakku sudah malas dan kesulitan untuk mengerjakan tugas-tugas akademis yang kaitannya sama penulisan,” katanya saat Mojok temui.
Bagi mahasiswa seperti Wahib, joki skripsi adalah jalan praktis. Sementara jasa milik Roni, menyasar kalangan mahasiswa ITB, UGM, dan berbagai kampus lain yang punya tekad menyelesaikan skripsinya secara mandiri tapi butuh pendampingan intensif.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News