Dari nama lembaganya saja sudah terang benderang: Universitas Islam Negeri (UIN). Di dalamnya juga ada organisasi Islam mahasiswa yang sangat mendominasi. Maka, sudah sewajarnya jika ada sebagian banyak mahasiswa yang ingin menunjukkan identitas ke-Islamannya saat kuliah di kampus Islam tersebut. Menjadi mahasiswa agamis.
Namun, label “kampus Islam” faktanya tak memberi kesan “nyaman” bagi orang Islam sendiri. Identitas keagamaan justru menjadi alasan untuk dicibibir bahkan dijauhi.
Bercadar di Universitas Islam Negeri (UIN) kok dicurigai
Jika diminta, Aisyah (26), bukan nama asli, berani menunjukkan apa dalil-dalil tentang cadar atau busana panjang yang dia dan teman-temannya kenakan. Namun, tidak ada ruang diskusi untuk itu. Tahu-tahu ada wacana pihak kampus, UIN tempatnya kuliah, hendak melarang mahasiswi mengenakan cadar di kelas.
Boleh mengenakan cadar di luar kelas. Kalau di dalam kelas, ya harus dilepas. Kira-kira begitu.
Wacana itu mulai mencuat kala pada Maret 2018 UIN Sunan Kalijaga, Jogja, hendak melarang cadar di lingkungan akademik mereka. Lalu wacana makin menguat di sejumlah UIN pasca tragedi bom bunuh diri di Gereja Santa Maria Tak Bercela (SMTB) Surabaya pada Selasa, (13/5/2018) silam.
“Saya tidak bercadar. Saya hanya mengenakan pakaian syar’i (serba panjang dan tertutup) sesuai sunnah Nabi Saw. Waktu itu, bukannya marah, beberapa teman saya yang bercadar menangis. Sedih. Karena dicurigai, orang-orang yang menutup wajah seperti di lingkaran kami kok kesannya menyembunyikan kejahatan,” ujar Aisyah, Minggu (19/10/2025).
Lebih sedih lagi, mereka yang mencoba menerapkan praktik Islam secara kaffah sejak dari busana, malah didiskriminasi di kampus yang terang-benderang mencatut label “Islam” sebagai nama institusi.
Sejumlah teman di forum kajian Aisyah bahkan bertekad: Jika larangan bercadar itu benar-benar diterapkan, mereka tak segan memilih keluar saja dari UIN. Daripada menggadaikan prinsip ber-Islam yang mereka pegang teguh.
Jadi Islam malah dipandang aneh di kampus Islam
Wacana tersebut pada akhirnya memang batal berlaku. Gelombang penolakannya terlampau besar. Namun, cara pandang sejumlah mahasiswa di UIN terhadap mahasiswi bercadar tak berubah.
Aisyah dan teman-temannya kerap merasa selalu menerima tatapan aneh. Di kelas pun, ketika Aisyah mencoba berargumen—dalam forum diskusi—dengan membawa poin-poin syariat, eh banyak mahasiswa yang bisik-bisik tak suka.
“Lucu sekali. Menjadi Islam malah terasingkan di kampus Islam,” ujar Aisyah dengan tawa sinis.
Aisyah juga mendengar selentingan-selentingan tidak menyenangkan terhadap forum kajiannya. Padahal forum kajiannya fokus mengajak anggota untuk lebih dekat dengan Allah Swt, sepenuh hati menjalankan sunnah-sunnah Nabi Saw. Tapi selalu dianggap menyebarkan paham radikal: Ber-Islam secara kaku.
“Biarlah cara ibadah kami spaneng. Karena kami merasa, bahkan dalam situasi mencoba khusyuk dalam beribadah pun, itu masih belum cukup untuk menebus dosa-dosa kami, baik yang kami sadari atau tidak. Rasulullah Saw saja, kekasih Allah Swt, dijamin masuk surga, tiap hari istikamah beristigfar seribu kali. Takut kalau Beliau berbuat salah pada Allah Swt,” beber Aisyah.
Universitas Islam Negeri (UIN): kampus Islam atau kampus ormas?
Tak hanya dari kalangan mahasiswi. Kalangan mahasiswa yang mencoba tampil agamis pun merasakan hal serupa. Misalnya yang dirasakan oleh Zaid (25), bukan nama asli.
Zaid kini merasa lebih diterima. Karena setelah lulus dari UIN pada 2021 silam, dia mengajar di sebuah SMP Islam yang sejalan dengan kaidah ber-Islam yang Zaid pegang.
Kini Zaid merasa lebih leluasa mengenakan isbal (celana tak sampai mata kaki), menumbuhkan jenggot dan membiarkannya terurai panjang, serta menyelipkan kalimat-kalimat tasbih dalam setiap ucapannya. Keleluasaan itu tak ia dapat selama kuliah di UIN.
“Saya sebelum masuk UIN sudah bersiap, akan bersinggungan dengan model Islam yang bermacam-macam. Tapi ternyata banyak dari teman-teman yang justru tidak siap dengan kehadiran mahasiswa seperti saya,” ucap Zaid.
Mirip dengan Aisyah dan teman-temannya, Zaid dianggap sebagai sosok kaku dan tidak menyenangkan. Alhasil, dia tidak punya banyak teman di luar organisasi dakwah yang dia ikuti.
“Kami selalu disindir tentang Islam moderat. Misalnya, atas beberapa hukum Islam, saya selalu memberi pendapat mutlak: dosa atau tidak, haram atau makruh bahkan haram. Urusan pilih yang dosa atau tidak, pilih yang haram atau makruh, kan terserah. Cuma kan ketetapan hukumnya mutlak,” beber Zaid.
“Kami selalu dikritisi soal moderat itu oleh kelompok yang membawa label ormas Islam besar. Bro, ini Universitas Islam Negeri, bukan kampus ormas ijo,” sambungya.
Ngaku Islam tapi menolak kebenaran Islam
Cara pandang Zaid yang mencoba menegakkan syariat itu justru dinilai tidak toleran dan bahkan mengarah pada radikal. Lucu saja bagi Zaid, dituding tidak toleran oleh orang yang tidak mau menerima kebenaran.
“Itu ibarat ayat di Qur’an (Q.S al-Baqarah: 34):
وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ اَبٰى وَاسْتَكْبَرَۖ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ
Ingatlah ketika Kami (Allah) berkata pada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka, mereka pun sujud, kecuali Iblis. Ia menolaknya dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan kafir. Kira-kira begitu,” ujar Zaid.
Tak hanya dicibir, tapi juga dijauhi
Pada akhirnya Aisyah dan teman-temannya, juga Zaid, harus menghadapi keterasingan. Tak cuma dicibir, mereka juga cenderung dijauhi. Tidak hanya di kampus, tapi juga di lingkungan asal.
“Aku punya teman. Dulunya terbuka. Pakai hijab masih kelihatan dada. Pas kuliah di UIN dan ikut kajian kami, dia sadar dan belajar menutup aurat. Pas pulang kampung, katanya di kampungnya dia dianggap sesat, dijauhi tetangga dan kerabat,” kata Aisyah.
Aisyah dan teman-temannya sejatinya tidak ingin membangun tembok hanya karena (misalnya) sesimpel berbeda urusan busana. Tapi orang-orang lain malah merasa tak nyaman dengan keberadaan orang seperti Aisyah.
Anehnya, lanjut Aisyah, dia yang diajuhi, tapi malah orang lain menuding kelompok Aisyah menutup diri. Sehingga cap sesat pun tersemat.
“Padahal, walaupun nggak banyak, saya juga berteman kok dengan mahasiswi lain yang tidak bercadar. Tapi memang, uniknya di UIN, yang dinormalisasi itu bukan orang yang berpenampilan agamis. Melainkan yang bersolek dan menunjukkan lekuk tubuh,” tutup Aisyah.
Ada organisasi mahasiswa Islam, tapi jauh dari Islam
“Kalau aku, setidaknya tidak munafik. Terus terang soal hukum. Karena ada kelompok mahasiswa yang katanya moderat, militan di sebuah organisasi mahasiswa berlabel Islam, tapi jauh dari Islam,” kritik Zaid.
Kata Zaid, di UIN ada organisasi Islam untuk mahasiswa. Cukup besar dan dominan di kampus. Yang diusung, selain pergerakan, selalu narasi toleransi hingga aswaja.
Uniknya, bagi Zaid, nyaris tak ada cerminan Islam rahmatan li al-alamin yang organisasi Islam itu gembar-gemborkan. Adanya: persekusi atas organisasi mahasiswa lain (termasuk ke organisasi dakwah Zaid), huru-hara, dan diskusi yang hanya fokus pada kaderisasi alih-alih pada kajian ke-Islaman mendalam.
“Aku nggak ada masalah kami berbeda busana misalnya. Aku cingkrang—kalau pinjam istilah mereka—sementara mereka jeans. Yang aku sangsikan adalah, kalau ke mana-mana bawa peci, minimal ya jaga salat. Tapi, salat saja bisa diabaikan hanya untuk rapat atau diskusi yang berlarat-larat. Mokel saat puasa, sudah biasa,” sindir Zaid.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA:Realitas Mahasiswa dan Mahasiswi UIN, Tampak Agamis di Kampus tapi di Luar Mengerikan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
