Bagi Irvan Bukhori (23), momen sidang skripsi tak sakral-sakral amat, meski itu menjadi step terakhirnya dalam merampungkan kuliah. Alumnus UNY ini pun juga tak punya tradisi khusus dalam merayakan momen kelulusan itu.
“Hanya menraktir pacarku makan. Udah itu saja, tak ada tradisi atau perayaan lain kayak yang lagi rame itu,” ungkap mahasiswa asal Semarang ini saat Mojok hubungi Sabtu (9/3/2024).
Mahasiswa lulusan Ilmu Sejarah tersebut boleh saja menganggap sidang skripsi biasa-biasa aja. Namun, banyak mahasiswa nyatanya menganggap momen pasca sidang itu bagitu “keramat”, sehingga perlu ada selebrasi khusus buat merayakannya.
Memang ada yang merayakan secara sederhana. Namun, ada juga yang selebrasinya secara besar-besaran. Di Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Bali, misalnya, sempat ada tradisi mandi kembang buat merayakan momen menggembirakan tersebut. Sementara mahasiswa Universitas Telkom bernama Aulia Dzultamulyana merayakan sidang skripsi dengan naik kuda bak putri kerajaan. Video Aulia naik kuda ini sempat ramai di TikTok.
Artinya, masing-masing mahasiswa punya cara tersendiri buat merayakan kelancaran sidang skripsi.
Saya pun meminta Luthfi (25) dan Ibnu (24) untuk mendaftar selebrasi maupun tradisi sidang skripsi mana yang paling bikin mereka iri, sebal, atau bahkan marah. Fyi, Luthfi dan Ibnu merupakan dua mahasiswa 14 semester asal Fakultas Bahasa, Seni, dan Budaya (FBSB) UNY. Sebagai mahasiswa tua yang berada di ujung tanduk, mereka telah menyaksikan teman sekelas, rekan seangkatan, maupun banyak adik tingkat “mendahului” mereka lulus.
“Asu, harus banget aku bikin list?,” kata Luthfi sambil tertawa saat mendengar permintaan saya, Jumat (8/3/2024) malam.
Banner kelulusan, rasanya ingin mereka bakar
Tradisi merayakan sidang skripsi yang baru-baru ini sedang jadi tren adalah membuat banner kelulusan. Bentuknya sangat beragam dan kreatif. Namun, yang kini sedang banyak digandrungi adalah dengan menaruh nama-nama sahabat atau circle mereka dalam banner, dan menutup nama masing-masing dengan selotip. Ketika selesai sidang, mereka akan melepas selotip tersebut sehingga terpampanglah nama mahasiswa lengkap dengan gelarnya.
Di kampus lain, tradisi sidang skripsi ini pernah mendapat kritikan seorang dosen. Kata dosen tersebut, perayaan ini berlebihan mengingat mahasiswa yang selesai sidang belum sepenuhnya dapat label lulus. Namun, di UNY sendiri, khususnya di fakultas Luthfi dan Ibnu kuliah, selebrasi semacam ini masih menjamur.
“Rasanya ingin aku bakar aja banner-nya,” kata Luthfi, yang mengaku cukup terganggu dengan cara perayaan ini.
Luthfi berulang kali menyebut tradisi ini amat “lebay”. Sebab, menurut Luthfi, hal ini justru mempertontonkan kebodohan dan ketidakpahaman para mahasiswa soal esensi sidang. Apalagi, jika di dalam banner tersebut sudah menuliskan gelar sarjana mahasiswa yang bersangkutan. Kata dia, sih, mending tradisi ini dibikin setelah selesai Yudisium atau sekalian saat wisuda.
“Kalau pas sidang dinyatakan tidak lulus apa enggak kecele? Di kampus sini banyak lho kasusnya,” sambungnya.
Baca halaman selanjutnya…
Tradisi sidang skripsi yang enggak guna kedua adalah arak-arakan, karena…
Arak-arakan oleh teman seormawa, mengganggu banget!
Ibnu juga sepakat kalau banner kelulusan tadi menurut dia memang enggak guna. Namun, tradisi sidang skripsi lain yang menurutnya lebih tidak berguna lagi adalah dengan arak-arakan.
“Prabowo aja ngerayain kemenangan pilpres cuma sujud syukur kok,” tawa Ibnu.
Umumnya, arak-arakan dilakukan mahasiswa saat perayaan wisuda. Biasanya, mahasiswa satu jurusan atau satu ormawa akan menyambut para wisudawan dan mengajak mereka ikut arak-arakan buat merayakan kelulusan. Akan tetapi, di kampus Ibnu, arak-arakan buat merayakan sidang skripsi masih lazim terjadi.
Ia tidak tahu, siapa yang memulai tradisi ini. Tapi yang jelas, tradisi sidang skripsi semacam ini amat tidak berguna karena bisa mengganggu perkuliahan. Bagaimana tidak, arak-arakan saja dilakukan saat jam kuliah sedang berlangsung.
“Daripada ikut arak-arakan, mending dia mikirin revisian aja enggak, sih?,” ungkapnya. “Silakan mau arak-arakan. Tapi di luar area kampus aja.”
Rayakan sidang skripsi dengan selfie satu-satu bersama bestie
Kalau dua tradisi sidang skripsi sebelumnya bikin Luthfi dan Ibnu marah, selebrasi yang ini membuat mereka merasa iri. Bagaimana tidak, sebagai mahasiswa semester akhir yang tak kunjung lulus, teman seangkatannya sudah habis. Kenalannya pun juga semakin sedikit.
Kalaupun masih kenal dengan beberapa adik tingkat, itu pun tak akrab-akrab amat. Mereka merasa sungkan jika harus nongkrong dengan adik tingkat. Luthfi, misalnya, pernah kerja kelompok dengan adik tingkat yang angkatannya tiga tahun di bawahnya. Seorang dosen pernah nyeletuk dengan menjulukinya “Baurekso” karena ia paling tua.
“Itu kata-kata nyakitin banget, sih,” kenangnya.
Maka tak heran, saat ada mahasiswa merayakan sidang skripsi mereka dengan foto satu-satu dengan para sahabat, perasaan dua mahasiswa UNY ini seperti tertonjok. “Jangankan bestie, teman yang masih peduli saja sudah enggak ada,” kata Luthfi.
Baik Luthfi maupun Ibnu, kini masih berjuang untuk menyelesaikan studi mereka. Saya sempat bertanya seperti apa progres skripsi mereka. Katanya, sih, berjalan baik dan target lulus tahun ini. Sementara untuk pertanyaan kira-kira kalau sidang nanti mereka bakal merayakannya dengan cara apa, jawaban mereka kompak: tidak tahu dan belum kepikiran.
“Tapi yang jelas, cara-cara norak tadi enggak bakal aku lakuin sih,” kata Ibnu, menutup obrolan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Hammam Izzudin
BACA JUGA Kesedihan Mahasiswa Jogja yang Pernah Makan Sampah Gara-gara Bidikmisi Telat Cair
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.