Juru Siar Acara Nikahan di Situbondo: Buka-buka Amplop dan Umumin Siapa-Sumbang-Berapa

MOJOK.COJuru siar nikahan di daerah Sitobondo ini akan buka satu per satu amplop berisikan uang sumbangan dari para tamu. Diumumkan keras-keras.

Selain musim hujan mulai datang di kampung saya, di daerah Situbondo, Jawa Timur, sekarang terjadi pula musim nikah massal. Seperti dendam setelah dilarang melakukan pesta karena wabah corona beberapa waktu kemarin, pesta pun dalam sehari bisa puluhan pernikahan diadakan begitu kebijakan new normal digalakkan.

Secara umum, tidak ada yang unik dari pesta pernikahan di kampung saya. Sama dengan pesta di kampung kampung lain di Jawa bahkan mungkin di sebagian Indonesia.

Sebuah terop atau tenda berdiri di halaman tuan rumah tiga hari sebelum dimulai, kue mulai dibuat pada hari ketiga sebelum pernikahan oleh ibu-ibu tetangga, tepat semalam sebelum pernikahan banyak warga berkumpul, ngintangin namanya kalau di tempat saya. Kalau di Jogja namanya melekan. Artinya? Begadang semaleman.

Ibu-ibu tambah ramai di dapur ketika harinya tiba. Sedangkan bapak-bapak desa sigap menggunakan baju seragam untuk menjadi sinoman. Sesekali mereka akan berhenti sejenak ketika mempelai wanita dan laki laki dipertemukan.

Pada malam harinya akan ada tamu berjubel datang di waktu yang hampir bersamaan. Para tamu datang untuk memberi amplop ke orang tua penganten sambil bersalaman, dan keluarga pengantin yang lain akan segera datang memberikan sebatang rokok jika tamu tersebut seorang laki-laki.

Biasanya rokok tersebut adalah rokok Apache, rokok yang sangat populer sebagai pengganti rokok Gudang Garam Surya di kampung saya.

Para tamu akan disuruh duduk makan dan akan terdengar suara musik dengan sound system yang getaran bassnya mengalahkan getaran cinta romeo dan juliet.

Lalu musik berhenti dan muncul suara laki laki dengan nada di seret-seret.

***

Assalamualaikum.

(Lalu dijawab sendiri)

Walaikum salam.

 

Pasera rabu! Ngatoragi salam soko pangabekteh eloar labeng pamangkoan ghebey epon Bapak Safulan. Atas rabuna bapak misnadin Pasar Lintung Mlandingan Kulon kalongguen epon. ngatoraghi tande pangesto saeket ebuh ropeah minangkah baru.

Kalaben ucapan malar moge komanten sekadue epadeddiaghi pasangan se sakinah mawaddah warohmah.

****

Nah, sek sek sek, yang ini beda, sepertinya ini tidak ada di tempat lain. Saya langsung duduk mendengarkan baik-baik pembawa acara tersebut. Kira-kira begini kalau diartikan ke bahasa Indonesia.

***

Assalamualaikum.

Walaikumsalam.

Siapa dia yang datang, adalah orang yang berbakti di luar pintu orang yang sedang mempunyai hajat Bapak Ibu Safulan. Telah hadir Bapak Misnadin, alamat Pasar Lintung Mlandingan Kulon tempat dia berasal. Memberi tanda restu (sumbangan) uang sebesar lima puluh ribu rupiah. Sumbangan baru.

Dengan ucapan semoga penganten berdua dijadikan pasangan yang sakinah mawaddah dan warohmah.

***

Terus dia membaca satu per satu amplop berisikan uang sumbangan dan kembalian (uang balasan karena sebelumnya tuan rumah sudah pernah datang ke tamu tersebut) dari orang orang yang datang ke pesta itu.

Saya langsung deg-degan. Kebetulan saya di sana karena rindu datang ke sebuah pesta pernikahan tanpa diundang. Istilah kerennya adalah wedding crasher. Tamu yang biasanya hanya ingin numpang makan dengan hanya memberi amplop kosong ataupun uang receh yang dimasukkan ke amplop tanpa nama.

Akan tetapi biasanya amplop berisi uang itu baru dibuka ketika acara sudah selesai oleh tuan rumah. Jadi tamu tamu sudah pulang. Namun kalau di sini, amplop itu akan dibuka dan dibacakan langsung siapa yang kasih. Udah gitu pakai pengeras suara lagi.

Saya langsung berdiri sebelum makanan dimulut saya habis. Suara siaran berhenti sejenak. Terjadi sedikit keributan di dekat operator sound system. Seorang pemuda bolak-balik mendatangi tuan rumah yang berdiri di pintu hajatan.

Tanpa pikir panjang saya langsung menuju ke arah mereka. Untuk memastikan bukan amplop kosong dari saya yang menjadi bahan keributan disitu.

Alhamdulillah bukan. Saya memperkenalkan diri sebagai wartawan kepada juru siar tersebut dan akan melakukan liputan. Daripada malu ketahuan sebagai tamu tak diundang. Karena takut mengganggu kegiatan beliau, kami bertukar nomor dan membuat janji bertemu lagi keesokan harinya.

Dari sana kemudian saya tahu, nama Cak Mad dan sudah sejak 1990 menjadi juru siar keuangan. Pertanyaan pertama yang saya lontarkan adalah seberapa besar honornya sebagai juru siar keuangan pernikahan.

“Kalau saya sih seikhlasnya, Mas, kadang dikasih 100 kadang 150 kadang dua ratus.”

“Besar itu Cak Mad. Saya aja nyopir 12 jam cuman 100 ribu,” saya bandingkan dengan upah menyopir saya di Jogja.

“Loh, saya termasuk murah, Dek! Di daerah Banyuputih dan Asembagus biasanya main persentase. Rata-rata 3 persen sampai 5 persen. Jika tuan rumah dapat total sumbangan 100 juta, ya berarti juru siarnya dapat 5 juta.”

Saya manggut-manggut.

“Kok bisa semahal itu, Cak?”

“Salah satu kunci keberhasilan sebuah parloh (hajatan) itu juga ada di juru siarnya, Dek. Selain hiburan musik dangdut, siaran keuangan juga bisa sebagai hiburan untuk tuan rumahnhya, Dek. Penyemangat tuan rumah yang berdiri menyambut tamu. Hiburan juga buat para sinoman. Parloh kalau tak ada siaran di sini biasanya ecokocoh (diledekin).

Saya manggut-manggut lagi. Oh, iya percakapan ini sebenarnya pakai bahasa Madura, tapi karena takut kepanjangan, jadi sekalian saya terjemahkan ke bahasa Indonesia.

“Tukang siar juga lah yang memilih amplop mana yang akan disiarkan. Biasanya semakin besar angka sumbangan semakin bangga tuan rumahnya. Begitu merdu angka angka tersebut didengar hal itu juga menjadi indikator berapa uang yang akan disumbangkan bagi para tamu yang baru akan datang. Malu kalau tidak sesuai undangan yang lain.”

“Oh, jadi nggak semua disiarkan, Cak?”

“Gila kamu.”

“Waras, Cak,” saya cengengesan setelah melihat wajahnya yang juga cengengesan

“Ya masak, ribuan amplop harus dibaca… bisa dower mulut saya, Dek. Jadi hanya yang besar-besar misal saya lihat rata rata yang nyumbang 50 ribu jadi yang kurang dari itu tidak saya baca. Ya kira kira per jeda musik 20 amplop saya bacakan baru musik lagi. Begitu seterusnya.”

“Ada gitu, Cak, yang nyumbang kurang dari 50 ribu, Cak?”

“Beh, ada, Dek. Banyak. Bahkan semalam ada yang cuman ngasih amplopnya doang. Mungkin mau makan ngerokok gratis.”

Saya diam, teringat amplop kosong yang saya serahkan semalam. Cak Mad melanjutkan.

“Biasanya orang menyumbang hajatan itu lihat-lihat apa yang dikasih. Misal undangan berbentuk rokok Surya. Rokok harganya 18 ribu, nasi rawon plus sate anggaplah modalnya 10 ribu lalu rokok ketengan yang dibagi buat tamu yang datang 1.500 orang.”

Sebagai info saja, undangan pernikahan di Situbondo, bentuknya bukan kertas cantik undangan, melainkan berupa sabun untuk wanita dan rokok untuk pria. Waktu dan tempat pernikahan biasanya hanya ditempelkan di belakang bungkus rokok dan sabun tersebut.

“Jadi pengeluaran minimal 30 ribu dari tuan rumah. Harusnya sumbangan minimal 50 ribu tapi ya begitulah kadang orang-orang ada yang tega dengan hanya memberi dua puluh ribu bahkan semalam ada yang ngasih cuman dua ribu. Sampai tuan rumah semalam ribut menanyakan siapa penyumbang tersebut. Tapi saya yakin dia salah ambil uang. Mungkin maksudnya 20 ribu tapi mendinglah itu daripada amplop kosong.”

“Apa enaknya, dan nggak enaknya Cak Mad jadi juru siar, Cak?” saya segera memberi pertanyaan lain takut pembahasan amplop kosong berlanjut.

“Oh, banyak, Dek. Sukanya ya kalau yang nyumbang besar-besar nominalnya. Walaupun bukan hajatan saya sendiri tapi ada kebanggaan kalau yang nyumbang besar-besar. Bahkan kalau sampai jutaan saya selalu mengulangi nama tamu tersebut.”

Saya manggut-manggut.

“Kalau dukanya ya paling kalau sound-nya dapat yang jelek. Suara sound yang kurang lantang membat saya biasanya harus teriak teriak, Dek. Bayangkan saya sampe bawa minuman jahe dari rumah sama air putih yang banyak. Lalu ada lagi, kalau datang terlambat dan ditegur tuan rumah itu juga membuat saya sedih. Maklum, Dek, sesajen sudah siap tapi tukang siar belum datang.”

“Sajen, Cak?”

“Iya sajen, begh kayak gini nih ada sajennya, Dek. Nggak boleh sembarangan. Takut uangnya nggak berkah. Apalagi hilang diambil jin dan tuyul.”

Saya tertawa mendengar tuyul disebut-sebut terus ketika ada yang kehilangan uang

“Nggak ada hal lucu gitu, Cak, pas siaran?”

“Palingan itu dek kalau saya salah sebut nominal karena dikerjain tamunya. Biasanya kan ngasih 100 ribu. Nah itu ditambahi 150 rupiah. Jadi kan bacanya repot. Seratus, seratus lima puluh ribu rupiah. Padahal harusnya kan seratus ribu seratus lima ratus lima puluh rupiah. Duh ya gitulah susah buat saya dek, hahaha.”

“Orang tukang siarnya itu berapa dalam satu acara nikah, Cak?”

“Satu dek, juru siar satu, yang buka amplop satu biasanya dari pihak keluarga. Tukang catetnya ke buku dua orang. Jadi dicatet totalan lalu dijumlah. Catatan itu dipakai nanti untuk mengembalikan ke pihak penyumbang kalau hajatan juga.”

Hening sesaat, Cak Mad menyalakan rokoknya lalu pamit.

Dek kacepot gulena mera salah lopot nyoona sapora.”

“Pantun, Cak? Artinya Cak?”

“Kue gula merah salah benar minta maaf, Dek. Maaf saya mau pertemuan di Ranting NU kapan kapan kita lanjut bicaranya ya, Dek.”

“Oh, iya, Cak. Sama-sama Cak,” kata saya lega luar biasa. Maklum, amplop saya nggak jadi dibahas.

BACA JUGA Tawaran Terbaik dari Orang Madura atau tulisan LIPUTAN lainnya.

Exit mobile version