Bagi masyarakat kelas bawah, pilihan mereka untuk berbisnis seringkali terbatas. Mereka cenderung memilih usaha yang minim risiko. Misalnya, kata Abe, berjualan jasa, atau sewa kos-kosan dan kontrakan di Kampung Kalimati, Bantul.
“Kalau kemudian, misalnya, mendirikan rumah makan, ini kan perspektif manajemen pengelolaan yang membutuhkan pengetahuan dan skill. Mereka tidak punya basis itu,” jelasnya, saat dihubungi Mojok, Kamis (30/1/2025).
Artinya, sangat wajar mengapa Kamtini memilih bisnis yang dianggap instan dan minim risiko.
“Ini adalah fenomena dimana mobilisasi kurang, dengan keterampilan rendah, dan pendidikan yang tidak tinggi, sehingga mereka memilih bekerja di sektor informal,” imbuhnya.
Dosen Departemen Ilmu Sosial dan Politik UGM menambahkan, dengan bekerja serabutan, seperti memulung, setidaknya mereka punya kepastian mendapatkan uang di hari itu juga–meski tidak pasti–dari hasil menjual barang bekas.
“Kami menyebutnya sebagai survival mechanism, cara kelompok menengah kelas bawah yang berada di struktur ekonomi informal bertahan hidup,” ujar Abe.
Memilih memulung di “titik-titik sepi” Pantai Parangkusumo
Selain menggantungkan hidup dari sewa kos, sehari-hari Kamtini masih mencari sampah-sampah rongsokan. Begitu juga Is, Yanti, dan kebanyakan warga Kampung Kalimati.
“Kalau cari rosok pagi, kalau anak-anak sekolah. Lamanya ya nggak nentu. Tergantung banyak atau nggak. Kalau dua jam udah banyak, ya pulang,” beber Kamtini.

Biasanya, Kamtini dan warga Kampung Kalimati lain akan mencari sampah-sampah botol plastik di aliran sungai dan tepian Pantai Parangkusumo: sampah-sampah wisatawan. Hanya saja, Kamtini mengaku mencari titik yang sepi, yang jauh dari riuh wisatawan.
“Kalau saya masih belum percaya diri (malu) kalau dilihat orang-orang (wisatawan). Jadi cari yang sepi-sepi. Kalau warga lain, ya ada yang berani terang-terangan,” kata Kamtini.
Sebelum bertamu di Kampung Kalimati, Bantul Aly Reza sempat agak lama “bermain” di Pantai Parangkusumo, Bantul. Di sana dia mengaku bertemu dengan Tawi (60), pemulung lain asal Purworejo.
Tawi mengaku sudah lama tinggal di Kampung Kalimati, Bantul. Sehari-hari dia memulung di Pantai Parangkusumo. Cerita lengkap tentang Tawi sudah Aly Reza tulis di sini.
“Setelah pulang dari cari sampah, nanti taruh di sana,” ujar Kamtini menunjuk sebuah area yang penuh dengan sampah-sampah botol plastik, seperti yang kami singgung sebelumnya.
“Nanti dipisah-pisah di sana. Botol sendiri, tutup sendiri, warna sendiri. Terus baru nanti ada pengepul yang ambil. Kami dapat uang,” beber Kamtini.
Anak-anak pesisir yang terasingkan dari Pantai Parangkusumo
Ketidakpercayaan diri Kamtini, Is, maupun Yanti saat bekerja sebagai pemulung tak hanya dirasakan oleh mereka pribadi, tapi juga berdampak pada anak-anak mereka.
Anggota Sanggar Belajar Kuncup Melati Mandiri, Kus Sri Antoro, yang sehari-hari mengajar anak-anak di Kampung Kalimati, Kapanewon Kretek, Bantul, DIY bilang, anak-anak di sana sering dikucilkan dari lingkungan sosialnya.
“Begini, mereka ini kan termasuk anak-anak yang dijauhi karena pekerjaan orang tuanya,” ucap Kus kepada saya, Minggu (29/12/2024).
Kus sendiri pernah membuat artikel berjudul “Masih Kecil Sudah Terkucil, Hidup pun Terancam Redup” yang dimuat dalam buku Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang. Artikel itu berisi wawancaranya dengan para warga di sekitaran Pantai Parangtritis, Kapanewon Kretek, Kabupaten Bantul, DIY yang sering mengalami penggusuran sejak tahun 2007.

Pantai Parangkusumo, Bantul selama ini terkenal dengan wisata spiritualnya, tapi juga bukan rahasia lagi, kalau di tempat ini juga ada prostitusi. Pantai yang bersandingan dengan Pantai Parangtritis itu tak luput dari gemerlap dunia malam.
Kondisi lingkungan yang demikian, membuat Kus khawatir jika anak-anak terseret arus hingga tak peduli dengan masa depannya. Meskipun mereka masih menempuh pendidikan sekolah dasar, tak sedikit dari mereka yang turut membantu orang tuanya bekerja. Ada yang berjualan minuman di lampu merah, bahkan memulung bersama orang tua.
Anak-anak Kampung Kalimati, Bantul kehilangan haknya
Lebih dari itu, sebenarnya orang tua bisa menyekolahkan anaknya di sekolah formal secara gratis, tapi mereka sering dipersulit dalam hal administrasi. Kebijakan yang ngalor ngidul, kata Kus, membuat mereka mengurungkan niatnya untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sangking rumitnya, anak-anak di Kampung Kalimati, Bantul harus berhenti sekolah.
“Mereka juga tidak memperoleh kesempatan dalam penghidupan, misalkan ketika nggak punya KTP mereka tidak bisa memperoleh bantuan sosial, melamar pekerjaan, tidak bisa buka rekening, tidak punya BPJS, tidak bisa vaksinasi, tidak bisa menyuarakan hak politiknya, memilih aja nggak bisa, apalagi dipilih,” ujar Kus.

Cara pikir pemerintah yang terlalu parsial
Persoalan tersebut, sebenarnya sudah berlarut-larut dan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Sayangnya, Sosiolog UGM AB Widyanta memandang, hingga saat ini pemerintah belum punya pelayanan lintas sektoral untuk mengatasi persoalan tadi.
Bagi Abe, pemerintah terbiasa berpikir parsial, terikat dengan birokrasi, atau rigid berdasarkan otonomi daerah. Pengambil kebijakan memandang bahwa persoalan di daerah adalah kewenangan dari pemerintah daerah setempat. Sebuah kebijakan yang terlalu kaku.
Padahal, pemerintah pusat pun punya tanggungjawab yang sama. Misalnya, Abe mencontohkan, kementerian dapat mengkonsolidasikan persoalan lintas administratif antardaerah melalui dana alokasi untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang pembiayaannya berada di bawah kementerian.
“Warga dari luar wilayah (dalam konteks pendatang di Kampung Kalimati) mungkin bisa dianggap sebagai beban bagi pemerintah daerah (DIY), karena memang prioritas pendanaan atas layanan sosial dasar itu adalah warga setempat,” ujarnya.
Abe berharap pemerintah dapat merancang kebijakan yang tidak merugikan warga negaranya, bahkan mengancam hak-hak anak. Mestinya, pemerintah bisa saling bekerjasama, baik pusat, provinsi, hingga antardaerah.
Reporter: Aisyah Amira Wakang, Muchamad Aly Reza
Penulis: Aisyah Amira Wakang, Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Tak Menemukan Ketenangan di Pantai Parangkusumo Jogja, Ingin Dengar Deru Ombak Malah Terganggu Deru Mobil Jeep, Mau Nikmati Tepi Pantai Takut Tertabrak atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.