Gus Dur di Kauman Jogja: Kenakalan, Gila Baca, sampai Pergulatan dengan Tokoh Muhammadiyah

Gus Dur di Kauman Jogja.MOJOK.CO

Ilustrasi Gus Dur di Kauman Jogja (Ega/Mojok.co)

Dalam lintasan panjang kehidupan Gus Dur, Kauman Jogja pernah jadi tempat tinggalnya selama tiga tahun. Tempatnya mulai menemukan kegilaan membaca, saksi kenakalan remaja, hingga interaksi dengan tokoh yang membuatnya menjadi “orang Muhammadiyah yang ada di NU.”

***

Pada medio 1954-1957, Gus Dur pernah tinggal di Kauman, Jogja. Kawasan yang menjadi tonggak sejarah penting Muhammadiyah. Di sanalah, KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi pembaharu Islam ini.

Putra Kiai Wahid Hasyim dengan Nyai Solichah ini tinggal di rumah Pak Junaidi, seorang anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah. Kalau sekarang, istilahnya “ngekos”. Tapi pada zaman dahulu, kos itu seperti tempat penitipan. Ada hubungan keluarga atau pertemanan yang erat antara pemilik rumah dengan keluarga yang menitipkan anaknya.

Arif Budiman CH, anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah menuturkan kalau Junaidi ternyata punya hubungan kekerabatan dengan Kiai Wahid Hasyim. Kekerabatan ini terjalin saat Junaidi menimba ilmu di Pondok Termas, Pacitan.

“Pak Junaidi juga dekat dengan Kiai Ali Maksum Krapyak. Selama di Jogja, selain sekolah di SMP umum Gus Dur memang belajar di Pondok Krapyak. Sehingga Kiai Wahid Hasyim percaya untuk menitipkan anaknya ke Pak Junaidi,” ungkapnya Jumat (15/12/2023).

Di Jogja, tokoh kelahiran Jombang, 7 September 1940 ini melanjutkan pendidikan di jenjang SMP karena ia tidak naik kelas di sekolah sebelumnya. Ia menimba ilmu di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Negeri di Gowongan, Yogyakarta. Selain itu, proses belajar di Krapyak berlangsung kurang lebih tiga kali dalam sepekan.

Saksi remaja yang bandel tapi gila baca

Banyak catatan menyebut, Jogja adalah tempat di mana kegilaan Gus Dur terhadap buku menguat. Di kota ini, akses terhadap bacaan begitu luas. Berbeda dengan pendahulunya yang menimba ilmu penuh di pesantren, ia berkesempatan menempuh pendidikan di sekolah sekuler.

Kesempatan menempuh pendidikan di sekolah negeri, membuat Abdurrahman Wahid kerap kedapatan mencuri-curi kesempatan pergi ke bioskop padahal izinnya hendak mengaji ke Krapyak. Hal itu ketahuan lantaran Junaidi dengan Kiai Ali Maksum saling kenal.

“Ukuran anak zaman segitu ya istilahnya mbeling. Saya dapat cerita kalau Gus Dur itu ya mau ngapain aja ketahuan. Soalnya Pak Junaidi dengan Kiai Ali Maksum memang akrab dan saling kenal,” ujar Arif.

Selain itu, dalam biografi KH Abdurrahmad Wahid Biografi Singkat 1940-2009, Muhammad Rifai menulis bahwa selama di Jogja, Gus Dur gemar mencuri waktu belajar mengaji untuk pergi ke gedung bioskop. Namun, ia tetap dikenal sebagai remaja yang gemar membaca.

“Kota Jogja merupakan kota pelajar, dengan kehadiran universitas dan banyak toko buku, atau buku-buku yang dimiliki kenalan gurunya atau gurunya sendiri, ataupun milik sang bapak kos. Di sinilah Gus Dur mengalami masa mencintai buku dan sering mengunjungi toko buku secara rutin,” tulis Rifai.

Jika di pesantren, akses terhadap kitab-kitab agama terbuka luas. Di lingkungan Kauman, Gus Dur bisa mengakses buku-buku milik para tokoh Muhammadiyah. Ia berinteraksi bukan hanya dengan Junaidi yang menjadi tuan rumahnya.

“Saya juga mengaji kepada Kyai Maksum Abu Hasan, Mbah Hana, dan Pak Basyir,” kata Gus Dur melansir Majalah SM No 5 tahun 2000. Gus Dur, pernah bercerita banyak tentang kenangannya di Kauman saat menyambangi Masjid Gedhe Yogyakarta kala itu.

Ketiga sosok yang ia sebut merupakan ulama Muhammadiyah. Pak Basyir merupakan ayah dari KH Ahmad Azhar Basyir MA, ketua PP Muhammadiyah sebelum Dr H Muhammad Amien Rais, sedangkan Mbah Hana adalah Direktur Madrasah Mualimat Muhammadiyah Yogyakarta kala itu.

Hal itu mendorong Gus Dur melihat bahwa Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sejatinya dekat sekali. Kalau ada yang bilang Muhammadiyah jauh dengan NU, apalagi bermusuhan, itu menurutnya, hanya mencari-cari saja. “Wong yang dipelajari saja bahannya sama kok,” tegasnya. Soal perbedaan penafsiran itu wajar-wajar saja menurutnya.

Ikatan NU dan Muhammadiyah di Kauman

Kauman yang jadi “rahim” Muhammadiyah, ternyata juga punya banyak irisan dengan NU. Banyak tokoh Muhammadiyah Kauman yang dekat dengan Kiai NU. Hingga mendapat kepercayaan untuk jadi penitipan santri, layaknya Gus Dur di rumah Pak Junaidi.

Beberapa tokoh agama Kauman yang pernah menjadi Ketua Umum Muhammadiyah seperti, RH Hadjid, KH Badawi, hingga KH Ahmad Azhar Basyir, pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Tremas Pacitan. Pesantren yang sudah berdiri sejak 1830 ini menerima penghargaan sebagai pesantren tua yang berdiri lebih satu abad dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Masjid Gedhe, salah satu ikon Kauman, Jogja. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Menukil kisah Afrizal Qosim di Alif.id, pernah ada seorang santri bernama Aziz yang merupakan ayah dari M Imam Aziz, datang jauh-jauh dari Pati untuk belajar ke Kiai Ali Maksum di Krapyak. Alih-alih dipersilakan untuk menetap di pondok, Kiai Maksum justru mengajak Aziz datang ke Kauman.

KH Ali Maksum justru menitipkannya untuk belajar kepada sosok Kiai Basyir yang notabene ulama Muhammadiyah. Sosok yang menurut Gus Dur juga merupakan gurunya saat berada di Kauman.

Ternyata, relasi Kiai Basyir dengan NU juga sudah terbangun lama. Ia tercatat pernah mengenyam pendidikan di Tebuireng, Jombang. Anaknya, yakni KH Azhar Baasyir, pernah ia titipkan kepada tokoh NU, KH Abdul Qodir Munawwir.

Relasi semacam itu membuat kita tak heran, apabila Gus Dur yang merupakan sosok berdarah biru NU, bisa sampai tinggal di Kauman. Wajar jika dalam humornya, Presiden RI ke-4 ini berkata kalau ia adalah orang Muhammadiyah di NU. Begitu pula banyak tokoh Muhammadiyah yang sebenarnya punya banyak riwayat pergulatan keilmuan dengan tokoh dan pesantren NU.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Cara Gus Dur Mengritik dan Menjawab Kritik sambil Menertawakan Diri Sendiri

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version