Perjalanan menelusuri hutan di Bukit Turgo lereng barat daya Gunung Merapi membawa kami menemukan banyak hal. Mulai dari keanekaragaman flora dan fauna hingga kisah-kisah yang pernah bersemayam di tanah subur ini.
***
Sebelum membelah hutan rapat, saya memacu kendaraan menelusuri Jalan Turi menuju Dusun Turgo terletak di Purwobinangun, Pakem, Sleman. Menembus udara dingin di jalanan yang berkelok dan menanjak sampai akhirnya tiba di sebuah rumah sederhana tepat di bawah hutan.
Musimin, pelestari anggrek dan kopi merapi
Saya dan sejumlah rekan tiba rumah milik sosok bernama Musimin yang merupakan warga Turgo. Lelaki paruh baya ini juga dikenal dengan aktivitasnya menjaga dan melestarikan berbagai jenis anggrek yang ada di Hutan Merapi. Salah satunya anggrek Vanda tricolor. Ia juga orang yang sangat paham dengan kopi merapi.
Jam masih menunjukkan pukul 7.30 pagi. Selain hawa yang masih dingin untuk masuk ke dalam hutan dan beberapa rekan yang belum kunjung tiba, ada satu hal yang menunda kami untuk langsung bergerak. Hal itu adalah sajian minuman hangat di kedai kopi sederhana milik Pak Musimin.
Kedai kopi itu menyediakan beragam minuman seperti kopi dan teh yang merupakan hasil kebun warga di lereng Merapi. Kami memutuskan untuk memesannya sembari menghangatkan diri.
Menikmati kopi pagi hari sambil mengamati halaman rumah Pak Musimin yang dipenuhi beragam tumbuhan. Tepat di samping bangunan kedai terdapat green house untuk anggrek-anggrek konservasi. Pemilik rumah ini pun tak segan untuk menceritakan beberapa tumbuhan di sekitar rumahnya dengan ramah.
Sekitar satu jam terbuai dengan kenikmatan pagi di rumah itu, kami akhirnya memutuskan untuk berangkat. Kami berenam ditemani Pak Musimin untuk membelah hutan basah.
“Mau jalan 3 jam atau 4 jam?” tanya Musimin, memastikan rencana kami. Berhubung ini kali pertama kami menjelajah tempat itu, durasi tiga jam rasanya sudah cukup.
Kami pun mulai berjalan menuju gerbang hutan yang terletak di belakang rumah lelaki itu. Basah embun di rerumputan menyambut langkah kami memasuki belantara.
Suara siul burung juga menemani perjalanan kami pasca melewati plang bertuliskan “Mari Kita Jaga Satwa Liar untuk Keseimbangan Alam”. Kami langsung menapaki jalan menurun menuju lereng bukit. Medan pembuka yang cukup ringan namun menunjukkan bahwa nanti akan ada jalan panjang penuh tanjakan.
Kekayaan Hutan Turgo pascaerupsi 1994
Musimin berjalan paling depan. Meski hanya beralaskan sandal japit, langkahnya cepat menyibak jalan licin dan bebatuan. Merapi, bagi sosok kelahiran 1965 itu, merupakan rumahnya. Ia bukan hanya hafal setiap detail kelokan tapi juga nyaris semua tumbuhan yang ada di sana. Bahkan dengan nama latinnya.
Langkah kaki Musimin sesekali berhenti saat menjumpai sebuah tumbuhan yang menarik perhatian. Ia mengenalkan tumbuhan itu, lengkap mulai dari nama lokal, nama latin, hingga kegunaannya bagi kehidupan.
Namun sebelum itu, ia selalu melontarkan pertanyaan, “Ada yang tahu nama tumbuhan ini?”
Masing-masing di antara kami melayangkan jawaban yang nyaris selalu salah. Paling hanya Mas Agung Purwandono, Pemimpin Redaksi Mojok.co yang bisa menjawab benar sesekali. Ia memang penyuka tumbuhan dan gemar bercocok tanam sehingga punya cukup pengetahuan. Sementara yang lain hanya manggut-manggut ketika mendengarkan penjelasan.
Kami menggelengkan kepala, takzim, terhadap pengetahuan Musimin pada tumbuhan di setiap sudut hutan. Beberapa flora yang tampak seperti rerumputan biasa ternyata punya segudang manfaat, salah satunya sebagai obat-obatan tradisional.
Kadang ia memberikan tebak-tebakan agar kami bisa menjawab. Misalnya, saat menemukan sebuah tanaman, ia memberikan clue. “Tanaman yang paling bodoh,” katanya menunjuk sebuah tanaman sambil meminta kami menebak.
“Namanya kalau di penjual tanaman hias itu begonia,” katanya saat melihat kami tidak ada yang bisa menjawab tebakannya.
Hutan Turgo memang salah satu area paling subur di lereng Merapi. Abu vulkanik yang menghujani kawasan ini hamper 30 tahun lalu masih menyisakan sejumlah berkah yang bisa terus warga nikmati hingga saat ini.
Masyarakat yang kian paham mitigasi bencana
Pada beberapa erupsi besar Merapi terakhir, Turgo memang selalu aman. Namun pada 1994, dusun ini pernah menjadi daerah dengan dampak erupsi terparah. Petaka awan panas yang meluncur sejauh 6,5 kilometer dari puncak Merapi menghantam kampung ini.
Padahal, dulunya, warga percaya bahwa Turgo akan selalu aman. Ada kisah yang mereka percaya bahwa Bukit Turgo merupakan bibi dari Gunung Merapi sehingga bisa terhindar dari marabahaya. Namun, kejadian itu menyadarkan mereka akan pentingnya mitigasi bencana.
Salah satu momen paling nahas terjadi di sebuah hajatan pernikahan pada 1994. Saat itu pesta tak berhenti meski Merapi sudah menunjukkan tanda-tanda erupsi besar. Akhirnya, puluhan orang tewas di acara pernikahan itu.
Kini yang tersisa dari erupsi 1994 adalah suburnya hutan dan kesadaran warga Turgo tentang mitigasi bencana. Musimin adalah salah satu saksi sejarah yang membawa kami masuk semakin dalam mendekati Merapi yang belakangan sedang batuk ini.
“Dulu area ini sempat gersang setelah letusan. Pohon-pohon dulu kering, daunnya terbakar tersisa batang saja. Tapi sekarang sudah tumbuh subur,” katanya.
Perjalanan menurun kini telah beralih menjadi tanjakan konstan dan panjang. Mata kami dimanjakan oleh vegetasi pepohonan yang silih berganti. Kami menjumpai salah satu area penuh beragam jenis bambu.
Musimin dengan cakap menjelaskan beragam jenis bambu di tempat itu. Mulai dari bambu yang batangnya seperti tongkat atau bambu cendani (Phyllostachys aurea) hingga bambu kecil yang merumpun seperti pagar hutan bernama bambusa multiplex.
“Itu ada juga bambu petung,” kata Musimin sambil menunjuk bambu berbatang besar.
Konon, sebagian bambu di area ini sengaja warga tanami sebagai bentuk bela sungkawa terhadap korban erupsi Merapi.
Semakin masuk ke dalam, dari ketinggian terdengar pekik elang jawa yang nyaring. Saya mengemati ke langit, menembus celah rimbunnya pepohonan namun sosok burung gagah itu tak terlihat.
Taman Nasional Gunung Merapi memang masih menjadi rumah bagi elang jawa (Nisaetus bartelsii). Burung yang kini semakin langka jumlahnya itu.
Sebuah kampung yang hilang
Langkah kami berlanjut dan mulai memasuki area Hutan Pinus Ngandong. Seperti namanya, hutan ini dipenuhi pohon pinus yang tinggi menjulang dengan usia puluhan tahun.
Beberapa pohon miliki batang yang lebih besar dari pelukan orang dewasa. Mas Agung dengan badan gempalnya mencoba memeluk salah satunya, namun tangannya tak mampu merengkuh keseluruhan batang.
Jauh di dalam gelapnya hutan, ternyata pernah ada sebuah permukiman warga. Kami tak bisa mengindentifikasi sisa-sisa bangunan di sekitar. Namun, Musimin menerangkan kalau di sekitar Hutan Pinus Ngandong pernah ada dusun bernama Kumpul Rejo.
Permukiman yang pernah ada di dalam hutan pada masa lalu itu, sudah kosong sejak era 1970-an. Musimin berujar bahwa program bedol deso membuat dusun tersebut pindah.
“Jadi saat itu satu dusun benar-benar pergi semua. Jadi kosong tempat ini,” terangnya.
Dusun itu terletak cukup jauh ke dalam hutan dari Dusun Turgo. Saya terbayang bagaimana jika tempat itu masih bertahan sampai sekarang. Seperti apa kondisi para warga pada erupsi 1994 mengingat aksesnya hanya jalan setapak tanah yang sulit untuk evakuasi.
Syekh Jumadil Qubro di puncak Turgo
Setelah menikmati pemandangan di hutan pinus sekaligus mengambil jeda istirahat, kami melanjutkan langkah ke arah timur. Menuju vegetasi yang lebih rapat. Jalanan sempit tertutupi rerumputan tinggi yang basah.
Kabut tipis turun di hutan saat kami sedang melewati beberapa pohon puspa yang indah dan berbunga. Jam sudah menjelang pukul sepuluh dan tanda-tanda akan turun hujan mulai terlihat. Kami pun mempercepat langkah.
Di jalan terdapat sejumlah persimpangan. Ada rute menuju puncak Bukit Turgo yang merupakan tempat petilasan sosok ulama besar bernama Syekh Jumadil Qubro. Letaknya agak ke timur dari posisi kami berada.
Syekh Jumadil Kubro disebut sebagai salah satu sesepuh dari wali sanga. Nama Syekh Jumadil Qubro bisa ditemukan di silsilah Syekh Maulana Magribi sebagai kakek dari mubalig dengan makam di Mancingan, Parangtritis ini. Silsilah tersebut disusun pihak Kraton Yogyakarta.
“Tapi kayanya kita nggak bisa lewat jalur ke sana ya,” cetus Musimin. Tanda-tanda hujan sudah semakin nyata sehingga kami harus memangkas jarak.
Hutan Merapi sumber kehidupan warga
Sisa perjalanan kami melewati trek menurun yang cukup licin. Kami juga melewati lokasi konservasi anggrek di Hutan Merapi dan berhenti sejenak di sana. Hujan benar-benar turun di tengah istirahat kami.
Kami pun bergegar melangkah di tengah basah. Melewati hutan pinus kembali sampai akhirnya tiba di kebun belakang rumah Pak Musimin. Total perjalanan kali itu memakan waktu sekitar dua setengah jam. Berangkat pukul setengah sembilan pagi dan sampai di titik mula jam sebelas.
Sesampainya di sana kami beristirahat di kedai kopi. Betapa senang, saat kami tiba istri Pak Musimin telah menyiapkan teh hangat untuk kami.
Perjalanan ini membuat perut kami juga lapar. Beruntung di tempat itu kami bisa memesan makanan. Nasi dengan lauk sayur gori yang pedas hasil petik buah nangka di kebun.
Buat Pak Musimin dan istrinya, Merapi telah memberikan segala hal untuk hidup. Nyaris setiap hari mereka memasak olahan dari kebun dan hutan. Mulai dari nangka, rebung, hingga beberapa jenis sayur yang tertanam di pekarangan rumah.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Mengenal Musimin, Petani Lereng Merapi yang Menolak Pesanan Kopi dari Jepang
Cek berita dan artikel lainnya di Google News