Pengumuman penerimaan mahasiswa baru di UGM, salah satu kampus paling didambakan di Indonesia, jadi kebahagiaan sementara. Sebab, sebagian mahasiswa baru Kampus Kerakyatan ini langsung menghadapi fakta biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di luar kemampuan keluarga mereka. Kondisi yang membuat mereka nyaris rela meninggalkan kuliah.
***
Beberapa waktu lalu, saat pelaksanaan UTBK-SNBT, saya datang ke UGM untuk melihat prosesi ujian. Di jalanan kampus, tampak wajah-wajah antusias menenteng tas dan berkas ujian dengan asa yang besar.
Di tengah waktu ujian, saat para peserta sedang tegang menghadapi soal-soal yang menentukan, di luar ada orang tua yang menunggu dengan sabar. Kehadiran mereka membawa dukungan moral tersendiri.
Saat itu, saya berjumpa dengan sejumlah orang tua yang datang dari luar provinsi bersama anaknya. Ada seorang ibu dari Ngawi yang sedang mengantar anaknya mengecek lokasi ujian. Mereka hanya berdua berangkat dari daerah asalnya.
Masuk UGM, perjuangan yang tak mudah
Saya juga menemui Kholik Ahmad dan Siti Mahmudah, sepasang suami istri dari Nganjuk yang sedang duduk di bawah rindang pohon depan Gedung Fisipol sembari menunggu anaknya ujian. Mereka datang menggunakan bus sehari sebelum pelaksanaan ujian pada Jumat (12/5/2023).
Masa-masa penerimaan mahasiswa baru menyimpan banyak kisah tentang perjuangan dan pengharapan. Hal itu juga diamini oleh Yusup Sunaryo, seorang petugas keamanan di UGM. Profesi itu, membuat Yusup menjadi saksi perjuangan calon mahasiswa dan orang tua mereka demi bisa masuk kampus impian.
Yusuf berujar, beberapa kali para satpam menjumpai peserta ujian dan orang tuanya yang kebingungan setibanya di UGM. Satu dua di antara mereka datang mepet waktu ujian dan justru tak mengetahui lokasi persis tempat ujian.
Bagi Yusuf, para peserta yang datang dari jauh ini memang menjadi perhatian khusus. Hal itu karena mereka kerap bingung dengan denah lokasi UGM.
Perjuangan itu, membuat info diterima di UGM merupakan kebahagiaan yang mendalam. Namun, suka cita itu bagi sebagian mahasiswa baru terpaksa berubah menjadi khawatir dan kebimbangan.
Belum lama ini, beberapa cerita dari mahasiswa yang baru saja diterima di UGM mencuat di media sosial. Sebagian di antara mereka mengeluhkan besaran biaya UKT yang mereka dapatkan. Nominalnya jauh dari yang mereka ekspektasikan dan bisa orang tua mereka jangkau.
Biaya kuliah jauh di luar ekspektasi dan kemampuan
Kelompok mahasiswa yang paling awal mendapat informasi besaran UKT berasal dari Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB). Salah satunya Ani* (18), lulusan salah satu SMA negeri di Jogja ini sebelumnya resmi lolos di Fakultas Biologi UGM.
Lolos di pilihan pertamanya saat SNPMB tentu membawa kebahagiaan bagi Ani dan keluarganya. Bapak dan ibunya yang merupakan pedagang sembako di pasar bisa bernafas lega, anak terakhir mereka akhirnya masuk ke jenjang pendidikan tinggi.
“Aku anak ketiga dan tiga bersaudara,” katanya saat Mojok hubungi Kamis (27/5).
Sebenarnya, Nia awalnya punya impian untuk masuk ke Fakultas Kedokteran. Namun, mimpi itu sudah ia benamkan jauh-jauh hari lantaran menyadari besaran biaya yang dibutuhkan untuk menjalani sekolah medis.
Akhirnya, ia memilih untuk masuk biologi yang menurutnya masih ada irisan dengan dunia anotomi dan fisiologi. Mengingat nilai rapor selama SMA yang tergolong bagus, akhirnya perempuan ini pun bisa lolos jalur SNPMB.
Awalnya Ani memperkirakan biaya kuliahnya tidak akan jauh dari kedua saudaranya. Kakak pertama Ani merupakan lulusan UGM sedangkan kakak keduanya berkuliah di UIN Sunan Kalijaga. Keduanya mendapat biaya UKT sebesar Rp3 jutaan.
Namun, yang terjadi, saat besaran UKT keluar, jumlahnya jauh dari bayangan Ani. Ia mendapatkan kategori UKT Pendidikan Unggul Bersubsidi 25% sebesar Rp9.225.000 per semester.
View this post on Instagram
Sebagai informasi, pada tahun akademik 2023/2024, mahasiswa UGM sudah tidak mendapat UKT berdasarkan golongan seperti tahun-tahun sebelumnya. Sistemnya berubah menjadi dua kategori yakni UKT Pendidikan Unggul dan UKT Pendidikan Unggul Bersubsidi 25%, 50%, 75%, dan 100%.
Angka UKT itu membuat Ani kaget. Kedua orang tuanya pun langsung mengarahkan untuk mengajukan banding karena jumlah tersebut di luar kemampuan mereka.
Gagal ajukan banding UKT, kuras tabungan
Orang tua Ani membuka usaha di pasar dengan pendapatan yang menurut sang anak tak menentu. Saat mengisi kelengkapan administrasi ia mencantumkan pendapatan kedua orang tuanya sebesar Rp3 juta per bulan.
“Orang tua selain membiayai anak juga mengurus kakek dan nenek saya. Kebetulan kami masih satu rumah. UKT sebesar itu di luar kemampuan,” keluhnya.
Proses mengajukan banding pun ia lakukan. Setelah menerima sejumlah informasi simpang siur, akhirnya ada kabar resmi dari fakultas. Prosedur pengajuan banding menurut Ani awalnya menghubungi email fakultas.
“Setelah itu ada proses uji keabsahan data. Nanti jika acc akan dapat token yang bisa digunakan untuk masuk website Simaster. Lalu ada berkas yang bisa kami isi,” paparnya.
Namun sayang, setelah melakukan pengajuan sesuai prosedur ternyata ia mendapat penolakan dari sistem. Ia mendapat kabar kalau ada sejumlah mahasiswa baru yang berhasil mendapat keringanan setelah mendatangi fakultas langsung.
Sayangnya, informasi itu terlambat ia dapatkan. Terlebih lagi pihak fakultas memang hanya mengabarkan satu mekanisme pengajuan banding seperti yang telah Ani jalani.
Ani terbentur kondisi. Orang tuanya tak mampu untuk membayar biaya UKT pertama kali. Perempuan ini pun akhirnya menguras tabungan yang telah ia kumpulkan sejak masih duduk di bangku SMP. Nominalnya sebesar Rp5,6 juta.
“Ya bagaimana, tidak ada jalan lagi. Pakai uang tabungan, sisanya orang tua menambahkan. Itu tabungan dari uang Lebaran sampai hadiah lomba saat SMA,” curhatnya.
Kuliah belum berjalan, namun Ani sudah terpikir untuk mencari pekerjaan sampingan demi bisa meringankan beban orang tuanya kelak. Sembari terus mencoba mengajukan keringanan UKT saat kesempatan kembali datang.
Anak buruh nyaris gagal kuliah
Cerita lain datang dari mahasiswa baru bernama Zidni* (18). Ia lolos D4 Perbankan UGM lewat jalur SNBMP.
Awalnya, Zidni mengaku ingin masuk ke Program Studi Akuntasi UGM, tapi mengingat persaingan ketat akhirnya ia memilih program lain yang masih beririsan. Sayang, kabar bahagia kelolosan hanya bertahan sebentar buatnya.
“Orang tua saya bekerja sebagai buruh. Saat pengumuman UKT keluar itu saya langsung disuruh mundur,” kenangnya.
Zidni mendapat biaya UKT sebesar Rp8.550.000 atau kategori Pendidikan Unggul Bersubsidi 25%. Ketidakmampuan orang tua membuat perempuan ini bingung. Dulu ia mengaku sempat mendatangi guru BK sekolahnya untuk berkonsultasi mengenai kemungkinan mundur dari kuliah.
“Kalau mengundurkan diri bisa berdampak buat adik kelas nanti. Guru BK memberi solusi supaya saya ikut banding dulu. Kalau misal UKT ga turun, saya diperbolehkan keluar,” ujarnya.
Ia mengikuti prosedur pengajuan banding dengan harapan mendapat kategori subsidi 75% dengan besaran Rp2.850.000. Kategori ini menurutnya yang masih paling rasional untuk orang tuanya penuhi.
“Tapi ternyata hanya bisa turun sampai 50%,” keluhnya.