Rebahan di Karpet Masjid: Sepele tapi Beri Kedamaian Batin dari Dunia yang Penuh Standar, Tuntutan, dan Mengasingkan

Ilustrasi - Menemukan kedamaian batin dari rebahan di karpet masjid. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Kala jidat dan telapak tangan menyentuh karpet masjid, ada rasa lembut yang menyenangkan. Lalu seperti ada energi damai yang tiba-tiba terserap dalam pikiran dan batin. Energi damai itu bertambah besar setelah salat selesai ditunaikan: Ketika rebahan dan merasakan kelembutan dari karpet yang tergelar di dalam masjid. Kira-kira begitu yang dirasakan banyak orang ketika singgah di sebuah masjid saat dalam perjalanan atau di perantauan.

***

“Rebahan di karpet masjid ternyata bisa jadi healing terbaik.”

“Kok bisa ya, masjid orang (di perjalanan atau perantauan) terasa begitu menenangkan.” Begitu suara-suara yang belakangan riuh di lini masa media sosial saya.

Sebenarnya sudah sejak lama saya merasa begitu. Saat singgah di sebuah masjid dalam suatu perjalanan, ada sensasi sejuk dan damai dalam hati. Itu membuat saya kerap berlama-lama duduk bersila atau menyelonjorkan kaki di karpet masjid yang berbulu lembut.

Tiba-tiba rasa lelah hilang. Tiba-tiba saja lebih siap melanjutkan perjalanan dan hidup dengan segala ketidakpastiannya. Ternyata banyak orang yang merasa serupa.

Seperti masuk ke dimensi lain

Misalnya yang diungkapkan oleh Muammar (26), pemuda asal Madiun, Jawa Timur.

Sensasi semacam itu sudah ia rasakan sejak masa kuliah dulu. Jika sedang pulang ke Madiun yang berjarak sekitar 4 jam dari Surabaya, ia biasanya akan berhenti di masjid-masjid yang ia temui di jalan.

Awalnya memang hanya sekadar untuk menunaikan salat lima waktu. Namun, kadang dia bisa lebih lama berhenti di masjid karena seperti tak ingin lepas dari kedamaian tersebut.

“Sekarang pun masih. Kalau perjalanan jauh, entah kenapa singgah di masjid itu bikin recharge banyak hal. Recharge energi fisik dan batin,” ungkapnya, Selasa (11/11/2025).

Menemukan kedamaian batin dari karpet masjid MOJOK.CO
Ilustrasi – Menemukan kedamaian batin dari rebahan di karpet masjid. (Alim/Unsplash)

Lelah itu sebenarnya masih terasa menimpa punggungnya saat di tempat wudlu. Namun, saat kaki melangkah ke dalam masjid, dia seperti tersedot di dimensi lain. Dimensi yang berbeda sama sekali dari dunia luar.

“Hiruk-pikuk dunia di luar masjid penuh tekanan, bikin stres dan overthinking. Misalnya, beban kerja yang nggak sebanding dengan gaji. Bertemu dengan orang-orang licik, dan kekecewaan-kecewaan duniawi lain,” kata Muammar.

Dunia di luar masjid, kata Muammar, dipenuhi standar-standar duniawi yang membuatnya acap merasa terasing dan teralienasi. Sementara di dalam masjid, orang-orang hanya fokus pada satu hal: Menghadap pencipta-Nya.

Masjid dan kontemplasi

Hakikat masjid seharusnya memang menenangkan dan memberi energi damai. Baik masjid yang dijumpai di perjalanan atau perantauan maupun yang dekat di lingkungan sendiri. Persis seperti yang diungkapkan Azzahra Kamila Cahyani Masdar dkk dalam jurnal “Masjid Sebagai Ruang Kontemplasi: Menemukan Kedamaian di Tengah Kesibukan.”

Membaca jurnal tersebut, rasa-rasanya wajar jika sekarang banyak orang merasa isi kepalanya yang penuh dan jagat batinnya yang sumpek bisa terurai pelan-pelan ketika sekadar berdiam diri di masjid.

Kehidupan modern memaksa orang-orang menjadi amat sibuk dangan capaian-capaian tertentu. Membuat mereka terasing dan tersisih kala tak bisa mengikuti ritme hidup yang serba cepat. Sehingga mereka butuh katarsis dan ruang yang memberi mereka titik untuk menemukan makna hidup kembali.

Ilustrasi – Menemukan kedamaian batin dari rebahan di karpet masjid. (Abu Mikayla/Unsplash)

“Sebagai ruang kontemplasi, masjid memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk berhenti sejenak dari rutinitas yang melelahkan, duduk diam, dan merenungkan makna hidup mereka,” tulis Azzahra dkk.

“Kontemplasi di tempat ibadah seperti masjid dapat menurunkan tingkat stres secara signifikan. Dengan suasana yang hening dan penuh kekhidmatan, jamaah dapat fokus pada doa dan zikir, yang pada gilirannya membawa ketenangan batin,” sambungnya merujuk penelitian Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI).

Terlebih, masjid memungkinkan adanya pertukaran energi positif antar-jemaah. Obrolan dengan sesama jemaah, meski tidak mengenal satu sama lain, sering kali memberi banyak instight. Mungkin hanya insight sederhana, tapi siapa tahu justru itu menjadi nilai bermakna bagi seseorang.

Energi spiritual memberi energi hidup

Energi spiritual itu bisa memberi suntikan energi hidup, loh. Sementara begitu yang diungkapkan Lobna Cherif dkk dalam jurnal “Character Stengths and Inner Peace”.

Kata Lobna, spiritualitas menjadi salah satu faktor manusia untuk menemukan inner peace (kedamaian diri). Sebab, spiritualitas membuat seseorang memiliki keyakinan kuat pada makna atau tujuan hidup yang lebih tinggi.

Dalam konteks masjid sebagai salah satu pusat spiritual (khususnya bagi umat Islam), seperti juga dipaparkan Azzahra, orang akan sadar kalau hidup akan terasa tidak bermakna, sumpek terus, karena orang tidak menyadari hakikat dirinya sendiri.

Masjid mengingatkan bahwa dunia bukan akhir. Melainkan tidak lebih dari sebatas tempat singgah. Ada tujuan puncak bernama “Ilahi”. Dari situ, akan muncul penerimaan-penerimaan diri.

Tapi kok masjid sering dikunci?

Ya. Bertahun-tahun isu ini menjadi keresahan publik. Jika masjid adalah pusat spiritual, kenapa banyak masjid yang hanya dibuka ketika waktu salat saja? Sisanya selalu terkunci rapat. Malah ikut mengasingkan orang-orang yang sedang mencari kedamaian batin. Rasa-rasanya para pengurus masjid yang masih menerapkan manajemen semacam itu perlu melakukan refleksi.

Untungnya, belakangan banyak tumbuh masjid-masjid dengan konsep “pelayan umat” atau “pelayan tamu Allah”. Karena jika masjid dibahasakan sebagai “rumah Allah”, maka yang datang adalah tamu-Nya. Dengan begitu, para takmir atau pengurus masjid adalah “pelayan tamu Allah”. Misalnya yang pakai konsep itu adalah Masjid Sejuta Pemuda di Sukabumi Jawa Barat.

Menyenangkan sekali jika melihat masjid yang dikelola oleh para pemuda itu. Para musafir diberi ruang untuk istirahat (sekadar rebahan atau tiduran) di dalam masjid. Kalau ada jemaah yang tampak keleleran di teras, malah dipersilakan istirahat di dalam, dikasih banta. pula. Masih diajak makan dan ngopi gratis pula.

Masjid Sejuta Pemuda juga terbuka untuk siapa pun. Anak-anak kecil yang kerap dianggap sebagai perusuh hinggga kelompok-kelompok yang dimarjinalkan dari lingkungan sosial juga diterima.

“Selama itu tidak melanggar syariat, dikerjakan di luar waktu salat, sah-sah saja untuk melayani tamu Allah. Yang tidur (khusunya di Sejuta Pemuda) itu mereka bukan di jam salat, tapi saat trefik orang salat sedang rendah (misalnya jam delapan malam ke atas,” terang Ustaz Anggy dalam podcast di kanal YouTube Kasisolusi.

“Silakan nginep. Tapi wajib ikut salat, wajib ikut ngaji,” sambungnya. Prinsipsnya, orang akan merasa nyaman lebih dulu di masjid. Lalu mereka lambat-laun juga akan semakin tekun dalam beribadah.

Toh tidak ada ajaran Nabi Muhammad yang melarang seseorang tidur di masjid. Sejak zaman Nabi dulu sudah ada ahlu al-shuffah (mereka yang tidur di serambi-serambi masjid). Prinsipnya, mereka tidak melakukan maksiat, mengotori masjid, dan tentu mengikuti salat berjemaah.

Kata Ustaz Anggi, setidaknya ada empat pilar yang dibangun di Masjid Sejuta Pemuda, dan semestinya dibangun di masjid-masjid lain:

  1. Pilar Baitullah: Memfungsikan masjid sebagai tempat ibadah.
  2. Baitul Qur’an (pilar pendidikan): Masjid memiliki aktivitas pendidikan
  3. Baitul Amal (pilar kepedulian): Masjid harus menjadi jembatan amal saleh orang baik ke orang membutuhkan
  4. Pilar Muamalah (pilar kemandirian): Masjid harus memberdayakan umat.

Rasa-rasanya memang akan lebih baik jika umat Islam (khususnya) mencari kedamaian di masjid ketimbang lari ke hal-hal yang jauh dari syariat, bukan? Sehingga penting juga ketika masjid sengaja didesain dengan manajemen dan fasilitas untuk memanjakan umat. Lantas, mau sampai kapan mengunci masjid dan mengusir orang yang sekadar rebahan di dalam rumah Allah itu?

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Mengupas Misi Masjid Deresan Sleman yang Suka Borong Sayur dari Petani, Punya Banyak Gebrakan yang Layak Ditiru Masjid Lain atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version