Pengalaman pertama kali ke Semarang memberikan kesan tidak menyenangkan. Terutama di Terminal Terboyo.
***
Sebagai ibu kota Provinsi Jawa Tengah, Semarang menjadi pusat perputaran ekonomi yang memberikan harapan hidup bagi orang-orang Jateng. Kota ini juga menjadi jujukan anak-anak muda karena menawarkan banyak kampus—baik negeri maupun swasta—dan beragam kawasan wisata.
Hanya saja, di sisi lain Semarang, ada situasi meresahkan yang memberi kesan tidak menyenangkan pada orang-orang yang pertama kali singgah di kota ini.
Terminal Terboyo Semarang: jebakan untuk pendatang
Februari 2025 adalah kali petama saya merasakan suasana di Terminal Terboyo, Semarang. Waktu itu saya sedang dalam perjalanan ke Jogja.
Karena saya belum pernah sama sekali pakai bus dari Semarang ke Jogja, dengan sengaja saya mencoba bertanya pada seseorang yang tampak mencari-cari penumpang. Besar kemungkinan memang calo.
Saya sebenarnya sudah siap kalau akan dikenai tarif lebih mahal dari harga normal. Yang penting saya lekas dapat bus arah Jogja. Setelahnya saya bisa tanya-tanya langsung ke kondektur bus: bus apa saja dengan rute Jogja dan harus menunggunya di mana?
Saya memang diminta bayar lebih mahal. Calo Terminal Terboyo itu lantas mengajak saya ke seberang jalan. Di seberang, alih-alih memastikan saya naik bus sesuai jurusan, calo tersebut justru melempar saya ke calo lain.
Calo lain itu meminta tambahan uang dari saya. Sontak saja terjadi pisuh-pisuhan antara saya dan si calo. Bukan semata persoalan uang, tapi karena si calo mengarahkan saya untuk masuk ke bus jurusan Pekalongan. Cerita lengkapnya bisa dibaca di tulisan Calo Terminal Terboyo Semarang Lebih Kejam dari Calo Bungurasih, Mau ke Jogja Malah Dinaikkan Bus ke Pekalongan.
Pemaksaan yang tidak bisa dilawan (1)
Ternyata tidak cuma saya yang pernah mengalami hal tidak menyenangkan di Terminal Terboyo, Semarang. Kejadian serupa juga pernah dialami oleh Selia (26), perempuan asal Tuban, Jawa Timur.
Selia pertama kali ke Semarang pada 2017 untuk perjalanan ke Solo, seminggu sebelum masa orientasi mahasiswa baru di kampus yang dia tuju. Dari Tuban Selia naik bus Surabaya-Semarang yang tentu akan berhenti di Terminal Terboyo.
Bedanya dengan saya, Selia sebenarnya sudah tahu harus naik bus apa untuk rute Semarang-Solo. Hanya saja, para calo di Terminal Terboyo sangat jeli melihat gelagat orang yang baru pertama kali menginjakkan kaki di terminal tersebut.
“Aku baru turun dari bus, terus celingak-celinguk kan. Terus satu orang laki-laki beperawakan kumal menghampiri sambil nanya, ‘Mau ke mana?’. Kujawab saja aku mau ke Solo,” tutur Selia, Jumat (18/4/2025).
Langsung saja si calo mengeluarkan lembar-lembar karcis. Mencoret-coretnya. Lalu menyobek satu kertas untuk diserahkan pada Selia.
“Ini, Mbak…,” ujar si calo sambil menyebut sejumlah angka.
Baca halaman selanjutnya…
Pemaksaan yang tidak bisa dilawan (2)
“Loh, nggak bisa, Pak. Saya cari agen resmi,” jawab Selia.
“Mau ke Solo kan?”
“Iya, mau ke Solo.”
“Lah iya, ini tiket ke Solo. Mau di agen, mau di saya, sama saja.”
Perdebatan itu memancing perhatian. Seorang laki-laki lain lantas datang menghampiri Selia dan si calo. Awalnya, Selia merasa lega karena bisa jadi laki-laki itu akan membelanya.
Akan tetapi dia salah. Laki-laki yang baru datang justru turut “memaksa” Selia membayar uang karcis ke si calo. Sialnya lagi, orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar mereka tampak acuh. Hanya menatap sejenak, lantas berlalu tidak peduli.
Karena merasa terdesak dan mulai diserang rasa takut, Selia pun memberi uang karcis pada si calo. Dia lantas diminta mengikuti langkah si calo.
“Untungnya memang diantar ke bus jurusan Solo. Cuma ketika karcisku yang dari calo tadi dicek kondektur, si kondektur bilang kalau calo Terminal Terboyo, Semarang, memang brutal-brutal. Dia lalu ngasih tau beberapa tips biar aku lolos dari paksaan-paksaan calo situ,” bebernya.
Persoalan calo yang terasa seperti perampok tidak hanya saya dan Selia keluhkan. Di laman LaporGub Jateng, tercatat banyak aduan dari orang-orang yang menjadi korban calo di Terminal Terboyo.
Modus operasinya pun, meminjam istilah para korban, seperti perampokan. Para korban berharap, ada tindakan dari aparat untuk menertibkan calo-calo tersebut demi menjaga kenyamanan pendatang yang datang ke Semarang.
Menghadapi ego para pengendara
Sejak 2017 hingga 2022 tinggal di Semarang, Jazeela (26) belum pernah merasakan betapa ngerinya berhadapan dengan para calo di Terminal Terboyo. Wajar saja, dari Tuban (tempat asalnya) dia membawa motor sendiri.
Hanya saja, hari-hari pertamanya di Semarang terasa tidak begitu menyenangkan lantaran suasana di jalanan.
“Orang-orang di jalan seperti nggak mau ngalah. Terutama di jam-jam macet (pulang kerja),” tuturnya.
Misalnya, di sejumlah ruas jalan di Semarang tidak memiliki zebra cross. Alhasil, para pejalan kaki akan kesulitan untuk menyebarang.
“Dan sialnya, para pengendara seperti nggak mau ngasih kesempatan buat pejalan kaki untuk nyeberang. Padahal nyeberang cuma berapa detik sih,” katanya. “Ada zebra cross aja sering kali pengendara-pengendara, terutama motor, main serobot, nggak mau ngalah. Kan bikin jantungan orang yang nyeberang ya.”
Sejak hari-hari pertamanya di Semarang, Jazeela tentu saja merasa kesal. Hanya saja, dia mengakui tidak bisa berbuat banyak. Bertahun-tahun setelahnya, dia hanya bisa mengelus dada tiap kali mendapati pemandangan semacam itu di jalanan kota berjuluk “Kota Lumpia” ini.
Orang-orang baik di Semarang
Meski begitu, Semarang bukannya tidak memiliki orang-orang baik. Saya merasakannya sendiri.
Pada Juli 2024 lalu, saya kehabisan bus untuk jurusan Semarang-Jogja lantaran dari Rembang saya berangkat agak terlambat. Beruntungnya, di Jalan Baru (tempat agen bus) saya bertemu dengan seorang agen yang sekaligus sampingan sebagai driver ojek online (ojol).
Driver ojol itu mengantarkan saya ke garasi travel di daerah kota—berjarak 20 menitan. Driver ojol itu bahkan tidak meminta bayaran kendati mengantar saya sampai tujuan. Alasannya, rumahnya tidak jauh dari garasi travel itu. Dia mengantar saya sekaligus karena sudah hendak pulang. Jadi sekalian.
Istri saya pun pernah mengalami hal yang sama. Dia dan sejumlah temannya pertama kali ke Semarang pada 2018-an untuk jalan-jalan di kota tersebut.
Turun di Terminal Terboyo, mereka sempat kebingungan akses menuju daerah kota bagaimana. Ketika memberanikan diri bertanya ke seorang tukang ojek pangkalan, mereka lantas diantar untuk menuju ke halte BRT, alih-alih si tukang ojek menawarkan jasanya dengan mematok harga tinggi.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Berhenti di Terminal Pati Langsung Disuguhi Kekacauan dan Nasib Nelangsa Orang Pantura yang Bikin Iba atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
