Pantai Watu Kodok Gunungkidul Jogja: Pantai Indah, Serba Murah, dan Tak Terlalu Terjamah. Tapi Hati-hati “Jebakan” di Sini

Ilustrasi - Pantai Watu Kodok, Gunungkidul, wisata indah di Jogja yang sunyi, murah, tapi "menjebak". (Ega Fansuri/Mojok.co)

Menempuh jarak 70 kilometer (hampir dua jam) dari Sleman, saya langsung terpukau ketika melihat lanskap biru laut—yang benar-benar biru—dari Jalan Watu Kodok, Kelor Kidul, Kemandang. Itulah Pantai Watu Kodok, salah satu destinasi wisata pantai di Gunungkidul, Jogja.

Ada banyak daftar nama wisata pantai di Jogja. Yang paling sering terdengar mesti Pantai Parangtritis. Maklum, dari pusat Kota Jogja, jarak tempuhnya tidak se-effort kalau hendak ke Gunungkidul.

Sementara di Gunungkidul, dari sekian nama pantai, Pantai Drini adalah satu yang sering tersorot. Setidaknya begitu dari kacamata saya sebagai pendatang di Jogja.

Saya sudah beberapa kali ke Pantai Parangtritis—sekaligus Parangkusumo. Pantai yang selalu ditumpahi manusia. Sementara kalau ke Drini, saya memilih menghindari juga dengan asumsi: akan sangat ramai di akhir pekan.

Maka pada Sabtu (12/4/2025), saya memutuskan mengajak istri wisata ke Pantai Watu Kodok. Menjauh dari yang riuh-riuh.

Jalan hijau dan menantang menuju Pantai Watu Kodok, Gunungkidul, Jogja

Berangkat pukul 08.30 WIB, saya mengambil rute Imogiri-Panggang-Pulebener. Menjadi perjalanan yang seru karena melintasi jalanan naik-turun-berkelok.

Sudah lama saya tidak membawa motor dengan jarak jauh. Pagi itu saya merasakan kembali kepuasan seperti masa-masa kuliah dulu: motoran menyisir jalanan Jawa Timur.

Sepanjang jalan itu pula, hamparan hijau tersaji di kanan-kiri: pohon-pohon dan persawahan.

Di Sleman sebenarnya tidak kurang-kurang pemandangan serba hijau. Namun, bagi saya, rasanya berbeda. Sleman terasa masih “agak kota”. Sementara kehidupan di sepanjang jalan menuju Pantai Kodok, Gunungkidul itu menyajikan hawa kehidupan pedesaan yang sunyi.

Jalanan yang saya lewati pun terbilang mulus. Itu membuat motor saya terasa berjalan halus, tidak geronjal-geronjal. Walaupun ada beberapa bagian jalan tambalan, tapi tidak begitu dominan.

Pantai pasir putih, laut biru, dan jauh dari keriuhan

Sekitar jam 11 saya tiba di Pantai Watu Kodok, Gunungkidul, Jogja. Ada dua lapis registrasi yang saya lalui.

Pertama, ketika memasuki pintu masuk kawasan wisata pantai-pantai di Gunungkidul. Per orang dikenai retribusi sebesar Rp15 ribu.

Lalu kedua, ketika memasuki wisata Pantai Watu Kodok. Hitungannya per kendaraan. Untuk motor, saya membayar Rp5 ribu.

Jalanan menuju area wisata pantai di Jogja itu adalah jalan cor-coran tak rata dan menurun. Dikelilingi oleh perkebunan dan persawahan.

Manakala motor sudah turun dan terparkir, pemandangan yang tersaji adalah hamparan pasir putih dan laut berwarna biru.

Pantai Watu Kodok, Gunungkidul, wisata indah di Jogja yang sunyi tapi menjebak MOJOK.CO
Suasana Pantai Watu Kodok, Gunungkidul, Jogja. (Aly Reza/Mojok.co)

Siang itu, suasana di sana memang tak terlalu riuh. Tepian pantai tak sepenuh misalnya di Parangtritis. Beberapa orang tampak menikmati bermain air di bibir pantai. Ombak di sana—sebagaimana ombak-ombak pantai selatan—memang sangat besar. Apalagi ada rambu-rambu “Area tak aman untuk berenang”. Sehingga tidak ada yang berani berenang-renang di sana.

Sisanya berfoto ria di bawah tebing, berteduh di bawah kanopi-kanopi yang berderet di pantai, atau sekadar menikmati kuliner+es degan di warung-warung yang buka.

Apalagi ada warung yang membuat dak di atasnya. Pengunjung bisa menikmati kuliner sekaligus pemandangan pantai dari atas situ.

Baca halaman selanjutnya…

Harga makanan murah, tapi hati-hati “jebakan” di sini

Harga makanan murah?

Tak langsung ke pantai, saya memilih berteduh dulu di salah satu warung dengan dak atas. Istri saya agak kaget ketika melihat daftar menu yang disodorkan kepadanya.

“Kok harganya masih standar ya? Murah,” katanya.

Harga makanan berat paling murah masih ada di angka Rp10 ribu. Karena biasanya, tempat-tempat wisata akan menjual makanan di harga yang lebih mahal dari harga normal. Itupun biasanya dengan porsi kecil.

Sementara di salah satu warung di Pantai Watu Kodok, Jogja itu, porsinya terhitung mengenyangkan.

Sampah-sampah yang merusak lembutnya pasir putih

Lembut sekali ketika kaki mulai menyentuh pasir putih di Pantai Watu Kodok. Wajar jika alih-alih bermain air, anak-anak yang sedang wisata di sana lebih banyak yang tampak bermain pasir.

Bermain-main di pasir putih Pantai Watu Kodok pun terasa aman-aman saja. Tidak seperti di Parangtritis-Parangkusumo yang harus waswas dengan lalu-lalang Jeep, atv, dan motor trail.

Hanya saja, sayang sekali, masih banyak wisatawan tak bertanggung jawab di wisata pantai Jogja itu. Setidaknya di area barat (area yang saya pijaki), saya menemukan banyak plastik makanan berserekan. Puntung dan bungkus rokok pun tak kalah banyak.

Bahkan saya menyaksikan sendiri seorang wisatawan yang baru saja memakan sebungkus sosis, lalu plastiknya dilempar begitu saja, alih-alih memasukkannya dalam kantong plastik pribadi untuk nanti dibawa naik: dibuang di tempat sampah yang sudah disediakan. Sayang sekali.

Hati-hati “terjebak” payung kanopi

Sepasang muda-mudi yang sempat berteduh di bawah payung kanopi kaget ketika dihampiri oleh seorang ibu-ibu.

“Bayar, Mas, kan sudah duduk di sini,” ujar si ibu-ibu.

“Loh, ini bukan fasilitas umum? Harus bayar? Kok nggak ada tandanya?” Sanggah si cowok.

“Ini disewakan, Mas. Kalau duduk, ya harus bayar. Rp30 ribu,” jelas si ibu-ibu.

“Kami kan cuma sebentar,” sangkal si cowok.

“Tetep saja, Mas. Ini disewakan. Kalau duduk, ya bayar sewanya,” si ibu-ibu kembali menegaskan.

Dengan menggerutu, si cowok langsung merogoh dompetnya. Lalu menyerahkan tiga lembar uang Rp10 ribuan dengan enggan.

Wisatawan berteduh di bawah payung kanopi. (Aly Reza/Mojok.co)

“Nah, karena sudah bayar, silakan dipakai lagi. Sudah nggak masalah,” ucap si ibu-ibu setelah menerima uang sewa. Akan tetapi, muda-mudi itu tampak sudah kesal. Mereka memilih acuh dan pergi ke bibir pantai. Mungkin juga karena malu sebab perdebatan itu disaksikan oleh banyak orang di sekitar payung kanopi.

“Nggak tahu e kalau harus bayar. Nggak ada keterangannya kalau duduk harus bayar. Kan kayak jebakan ya. Karena aku ngiranya itu fasilitas pantai yang gratis,” jawab si cowok saat saya iseng bertanya: “Duduk di bawah payung kanopi ternyata harus bayar ya?”

Tapi bisa jadi muda-mudi itulah yang salah paham. Sebab, sejumlah wisatawan yang duduk di bawah payung kanopi tidak ada yang bermasalah. Karena penjelasan mengenai persewaan payung kanopi itu bisa diketahui kalau lewat sisi tengah Pantai Watu Kodok. Sementara kalau masuk dari sisi barat—seperti saya dan sepasang muda-mudi itu—memang tidak ada yang memberi penjelasan seputar persewaan tersebut.

Sengketa di Pantai Watu Kodok, Gunungkidul, Jogja

Wisata Pantai Watu Kodok, Gunungkidul, Jogja, juga punya cerita sebagaimana di Parangtritis. Melansir berbagai sumber, selain untuk wisata, pantai ini juga menjadi pusat ritual warga setempat di setiap Suro.

Selain itu, wisata pantai ini juga memiliki sisi historis di era penjajahan. Dari cerita tutur yang beredar, dulu kawasan pantai ini menjadi tempat sembunyi sisa-sisa tentara Belanda dari kejaran warga Gunungkidul.

Para tantara itu bersembunyi di balik-balik batu sambil ndodok koyok kodok (duduk seperti kodok alias jongkok). Dari situlah muasal nama Watu Kodok.

Wisatawan bermain di bibir Pantai Watu Kodok. (Aly Reza/Mojok.co)

Meski ada cerita lain yang menyebut, penamaan pantai berkaitan dengan keberadaan batu mirip katak di sana. Sehingga diberi nama Watu Kodok (batu katak).

Sejak 2013, pantai ini menjadi sengketa antara warga setempat dengan pemodal yang hendak mambangun resort di kawasan pantai.

Warga setempat merasa dirugikan karena tidak dilibatkan. Warga merasa tanahnya akan dirampas sehingga membuat aksi perlawanan.

Salah satu bentuk perlawanan simbolis warga adalah dengan adanya Festival Kathok Abang (celana merah). Warga mengenakan seragam SD dan menggelar upacara di kawasan pantai.

Gambaran sengketa di Pantai Watu Kodok bisa dibaca lebih utuh di tulisan Wisata Gunungkidul: Warga Membangun, Pemodal Menggusur.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Angkringan Penuh Cerita di Parangtritis Jogja: Tertipu, Kemalingan Gorengan, hingga Menolong LC Kelaparan dan Kucing-kucing Liar atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

Exit mobile version