Dari Pantai Parangtritis, saya berjalan terus ke arah barat, menuju Pantai Parangkusumo yang juga merupakan salah satu spot wisata andalan di Bantul, Jogja.
Pantai Parangtritis dan Parangkusumo dipisah sebuah garis anak sungai. Setelah menyeberangi anak sungai itu, suasananya benar-benar berbeda sama sekali.
Riuh suara wisatawan di Pantai Parangtritis tinggal samar-samar. Dari tempat saya berdiri, wisatawan di sana hanya terlihat seperti bintik-bintik kecil.
Tapi Pantai Parangtritis bukannya tanpa peminat. Sebagai salah satu wisata di Bantul, Jogja, yang namanya sangat sohor, masih ada sejumlah orang yang bermain air di sana. Ada setidaknya 15-an orang yang saya lihat. Juga satu-dua pedagang pentol yang tampak berdiri menanti pembeli.
Mencari suasana damai di Pantai Parangkusumo
Ulfatun (36) adalah satu dari 15 orang tersebut. Dia duduk ngiyup di bawah payung kanopi yang sudah agak compang-camping. Di sebelahnya ada bekas dupa lidi merah.
Bekas-bekas dupa dan perapian memang sangat mudah dijumpai di spot wisata Bantul, Jogja, ini. Sedari saya berjalan dari arah Pantai Parangtritis, sudah tak terhitung saya melihatnya.
Ulfatun dari Salatiga, Jawa Tengah. Dia datang ke Pantai Parangkusumo bersama suami dan dua anaknya (laki-laki dan perempuan). Bukan untuk ritual. Tapi untuk wisata akhir tahun.
“Awalnya tadi mau ke Parangtritis saja. Cuma kok ramai banget. Jadi ke sini. Ke pantai kalau seramai itu kurang bisa dinikmati,” katanya saat saya ajak berbincang, Sabtu (29/4/2024).
Memang, jika dibandingkan dengan Pantai Parangtritis, suasana Pantai Parangkusumo cenderung lebih “tenang”. Debur ombaknya terdengar. Tidak seperti di Pantai Parangtritis yang debur ombaknya sudah tertelan keriuhan suara-suara manusia.
Ya walaupun di Pantai Parangkusumo pun sebenarnya tak hening-hening amat. Karena ada deru Jeep yang terus berlalu-lalang.
Suasana sakral
Berada di Pantai Parangkusumo rasanya memang seperti di “dimensi lain”. Maklum, karena memang selain dikenal sebagai spot wisata, pantai di Bantul, Jogja, itu juga sangat kental dengan cerita mistis dan kesakralan.
Alih-alih untuk wisata, banyak orang datang ke Pantai Parangkusumo memang untuk menjalani ritual-ritual tertentu. Sebab, konon, di Pantai Parangkusumo lah kerajaan Ratu Pantai Selatan berada.
Hal tersebut tidak lepas dari cerita masyhur pendiri Mataram Islam, Danang Sutawijaya (bergelar Panembahan Senopati), yang sempat bertemu—dan bahkan bercinta—dengan Nyi Roro Kidul di sana.
Barangkali, residu dari ritual-ritual yang kerap dilakukan di sana membuatnya memiliki suasana yang berbeda—untuk tidak menyebut “suasana yang lebih mencekam”—dari Pantai Parangtritis.
“Rasanya memang seperti itu, Mas. Sejak tadi di sini kok singup dan wingit hawanya. Tapi ya semoga nggak ada apa-apa lah,” ujar Ulfatun.
Baca halaman selanjutnya…
Yang tidak orang sadari saat bermain di Pantai Parangkusumo
Ketika saya lanjut berjalan, pandangan saya tercuri oleh seorang laki-laki bermantel plastik warna biru. Dia tampak meletakkan karung berisi sampah-sampah plastik pantai, lalu berjalan agak tergesa mendekati bibir Pantai Parangkusumo.
Saya terus memerhatikannya dari jarak yang tidak begitu jauh. Dia berjalan ke arah empat orang yang sedang bermain-bermain agak ke tengah.
Langkah laki-laki itu terhenti saat mendapati empat orang tadi bergegas ke tepi pantai. Setelahnya, laki-laki bermantel biru itu lanjut berjalan menyisir tepian pantai.
“Saya tinggal di Kalimati (salah satu perkampungan di seberang Pantai Parangkusumo),” ujar laki-laki itu saat saya dekati sembari menyesap sebatang rokok kretek yang saya beri.
Laki-laki itu bernama Tawi (60), asli Purworejo, Jawa Tengah. Sudah lama dia tinggal di Kampung Kalimati.
Sebagaimana umumnya warga Kampung Kalimati, sehari-hari Tawi mencari sampah-sampah botol plastik di pesisir dua wisata pantai di Bantul, Jogja, itu: Parangtritis dan Parangkusumo. Hanya saja memang lebih sering di Parangkusumo yang sampahnya seolah tak habis-habis.
“Saya bukan penjaga pantai. Tapi kalau saya sedang di sini, lihat ada yang terancam bahaya (terseret ombak), saya bantu,” ungkapnya.
Terjawab sudah. Langkah tergesanya sebelumnya ternyata adalah reaksi spontan karena mengira empat orang yang bermain air akan terseret ombak jika terus-menerus ke tengah.
Kerap menolong orang terseret ombak
Sebelum ke Pantai Parangkusumo, saya sempat ikut patroli tim SAR Parangtritis. Belajar banyak juga perihal zona-zona bahaya di pantai. Laporannya sudah tayang lebih dulu sebelum tulisan ini.
Dalam patrol itu saya dibersamai oleh Komandan Regu (Danru) Regu II SAR Parangtritis, Suranto.
Suranto menyebut, patroli di Pantai Parangkusumo memang tidak terlalu intens. Menimbang, jumlah pengunjungnya tak semembludak di Pantai Parangtritis.
Meski begitu, Suranto merasa berterimakasih karena warga di sekitar Pantai Parangkusumo punya inisiatif besar untuk membantu tugas tim SAR. Ya orang-orang seperti Tawi itu lah yang Suranto maksud.
“Kalau masih di pinggir-pinggir, saya masih bisa bantu sendiri. Tapi kalau sudah ke tengah, itu harus lapor penjaga (tim SAR),” kata Tawi.
“Karena kalau sudah—dibawa ombak—ke tengah, itu harus pakai alat bantu (pelampung atau perahu). Kalau berenang biasa (tanpa perlengkapan), bisa-bisa malah saya ikut keseret,” imbuhnya.
Tawi biasanya ada di pantai dari siang sampai sore hari, untuk mengumpulkan sampah-sampah botol plastik—dan lain-lain yang bisa dijual. Dan selama itu pula, dia akan nyambi: selain memulung, jika ada orang yang terseret ombak, maka dia akan ambil tindakan.
Obrolan kami berlangsung singkat. Tawi mengeluhkan perutnya yang mulai keroncongan. Dia pamit pulang untuk menyantap masakan sang istri.
Perut saya pun ternyata juga mulai keroncongan, maka saya mengikuti langkah Tawi dari belakang.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Cepuri Parangkusumo, Saksi Cinta Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan