Daftar caleg karena ingin memperbaiki ekonomi, tapi berujung cerai dengan istri
Kisah Tio hanya satu cuplikan dari banyak kegagalan caleg yang berujung petaka bagi keluarga. Tini (45)*, seorang ibu asal Banjarnegara juga menceritakan pengalamannya bercerai dengan suami di momen kampanye pemilu 2014.
Sejak awal, Tini mengaku menolak dengan tegas keputusan mantan suaminya untuk menjadi caleg. Alasannya sederhana, menjadi anggota dewan butuh modal, sedangkan kondisi keluarga mereka saat itu banyak terlilit utang.
“Nggak masuk akal mau jadi caleg dengan motivasi memperbaiki ekonomi keluarga,” katanya.
Namun, suaminya keras kepala dan tak mengindahkan saran istrinya. Ia maju lewat partai yang menurut Tini kurang menjanjikan yakni Hanura.
Ia tak mengetahui bagaimana cara suaminya mendanai kampanye. Satu hal yang jelas, saat itu sang suami tidak punya usaha dan pekerjaan tetap.
Sebenarnya, jauh sebelum pendaftaran caleg, hubungan keduanya sudah di ujung tanduk. Sehingga, Tini memutuskan untuk membawa anaknya pergi dari rumah selama proses kampanye. Ia tak ingin anaknya terdampak situasi buruk yang mungkin terjadi saat suaminya bermasalah selama proses.
Pada awal 2014 di saat suaminya sedang sibuk berkampanye dan nyaris tak pernah menemui anaknya, Tini mengajukan perceraian. Prosesnya terus berjalan sampai akhirnya pemilu berlangsung dan suaminya benar-benar tidak terpilih.
“Satu hal yang bikin saya nggak pernah menyesal, beberapa waktu setelah pengumuman pemilu mantan suami saya digelandang ke polsek karena kasus penipuan motor. Dugaan saya, uang menipu itu ya untuk biaya kampanye,” ungkapnya.
Jangan korbankan keluarga untuk ambisi tanpa persiapan matang
Tio dan Tini adalah contoh anggota keluarga yang terdampak ambisi seseorang untuk menjadi caleg tanpa persiapan yang matang. Tidak dimungkiri, uang menjadi motor penggerak seseorang untuk maju menjadi wakil rakyat. Nominalnya mulai dari ratusan juta hingga belasan miliar untuk level DPRD Kabupaten/Kota sampai DPR RI.
Tio bercerita, saat ayahnya maju menjadi caleg, ia yang masih duduk di bangku SMP membaca buku biografi Prof Amien Rais berjudul Memipin dengan Nurani. Di salah satu bagian buku itu ia menyadari bahwa langkah bapaknya untuk menjadi wakil rakyat memang belum terlalu tepat.
“Aku ingat di salah satu bagian buku itu, Amien Rais menulis bahwa salah satu fundamental sebelum masuk politik adalah harus mantap secara ekonomi. Itu yang bapakku belum punya, usaha saat itu memang sedang berkembang, tapi jauh dari cukup untuk jadi modal. Pertaruhannya terlalu besar,” pungkasnya.
*Bukan nama sebenarnya. Identitas narasumber disamarkan untuk menjaga privasinya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News