Sebanyak 95 persen lahan pertanian di Dusun Ketingan, Sleman hilang kena jalan tol. Selain itu pohon-pohon di kawasan tersebut juga banyak yang ditebang. Burung kuntul yang selama ini jadi identitas dusun tersebut terancam kehilangan rumah.
***
Dusun Ketingan, Desa Tirtoadi, Kabupaten Sleman sudah identik dengan burung kuntul. Burung-burung yang datang secara misterius di tahun 1990-an itu akan bersarang di musim hujan.
Saat kemarau seperti sekarang ini mereka meninggalkan sarangnya di Dusun Ketingan untuk mencari tempat makan di luar daerah. Sebagau burung migran mereka akan pergi untuk mencari tempat yang ada makanan dan kembali lagi pada saatnya.
Ada cerita sedih dari burung-burung kuntul di Dusun Ketingan yang mungkin mereka juga belum menyadarinya. Tempat makan dan sebagian pohon-pohon yang biasa mereka jadikan sarang, hilang ketika mereka sedang pergi dari rumah.
Wajah dusun yang sudah berubah
Hari masih pagi. Selasa (22/8/2023) sekitar pukul 07.15 saya tiba di jalan masuk ke Dusun Ketingan dari arah Selokan Mataram. Wajah Dusun Ketingan, terutama sawah-sawahnya sudah sangat berubah dibanding saat saya datang beberapa tahun silam.
Saya melewati sawah-sawah kering yang selain karena musim kemarau, juga dalam proses pengeringan sebelum menjadi jalan tol.
Satu dua burung kuntul terlihat ada di lahan kering itu. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Saya melihat 3 atau empat burung yang sepertinya mencari makan. Jumlah ini sangat lah sedikit saat musim hujan mulai datang.
Dari seorang warga setempat, saya tahu kalau burung-burung itu tidak pergi migrasi karena punya anak burung yang masih kecil di sarang. Sebagai induk, mereka memilih menemani anak-anak mereka, meski harus mencari makan di lahan-lahan sawah yang sudah mengering.
Semakin mendekat ke permukiman, lahan pertanian itu tak lagi berbentuk sawah. Namun, berganti dengan tanah-tanah uruk yang yang membentuk bentang jalan.
Debu-debu beterbangan. Embun menguap lebih cepat. Di ujung persawahan, alat berat tampak terparkir diam. Pekerja jalan tol terlihat mulai berdatangan.
Burung kuntul yang pergi di musim kemarau
Setelah bertanya ke warga, saya menuju rumah Dukuh Ketingan, Suparti (56). Ia menjadi dukuh sejak 2008. “Burung-burung kalau musim kemarau seperti ini pergi, Mas. Nanti awal musim hujan itu mereka pasti kembali lagi,” kata Suparti yakin.
Di kediamannya saya melihat foto-foto kunjungan wisatawan yang ramai ke Dusun Ketingan. Ribuan burung kuntul yang tinggal di Ketingan pernah menjadi daya tarik tersendiri bukan hanya bagi wisatawan, tapi juga peneliti baik dari dalam negeri dan luar negeri.
Suparti mengakui, kondisi Dusun Ketingan sudah berbeda dengan kondisi dulu. Saat ini pohon-pohon yang disukai oleh burung kuntul untuk bersarang sudah sangat jauh berkurang.
“Dulu itu mereka suka di pohon melinjo dan bambu, tapi karena sekarang sudah banyak yang ditebang, mereka mau bersarang di mana saja. Pohon yang nggak tinggi juga mereka mau. Itu di pohon kedondong depan rumah, mereka juga mau-mau saja,” kata Suparti menunjuk pohon kedondong yang tak seberapa tinggi di depan rumahnya.
Jalan tol yang menghabisi tanah pertanian di Dusun Ketingan
Suparti lantas menyarankan saya untuk bertemu dengan Giyarto, Ketua Desa Wisata Ketingan yang belum lama menjabat.
Rupanya Giyarto sudah pergi meninggalkan rumah. Kata istrinya, ia tengah memberi makan ikan-ikan peliharaannya di pinggir dusun. Kedatangan saya yang tak membuat janji cukup mengagetkannya, tapi juga melegakannya.
Ada beban pikiran dan keprihatinan yang ingin ia sampaikan ke media. Namun, ia bingung harus menghubungi siapa.
“Sebanyak 95 persen lahan pertanian di Ketingan itu hilang kena tol. Nggak ada sawah lagi, otomatis lahan untuk mencari makan burung kuntul juga berkurang,” kata Ketua Desa Wisata Ketingan Giyarto saat berbincang dengan Mojok.
Menurut Giyarto, besarnya lahan pertanian yang terdampak tol karena Dusun Ketingan menjadi titik persinggungan atau junction antara tiga tol, yaitu tol Jogja-Bawen, Jogja Solo, dan Jogja-NYIA (Bandara Yogyakarta).
Yang lebih sedih itu burung kuntulnya
Menurut Giyarto, sebagai kawasan yang terkenal dengan burung kuntulnya, Dusun Ketingan menghadapi dua masalah serius. Pertama, kondisi sosial masyarakat yang berubah. Hal ini disebabkan lahan pertaniannya habis hingga 95 persen. Artinya banyak petani kehilangan pekerjaannya karena nggak ada lagi sawah.
Persoalan kedua, ekosistem sebagai tempat tinggal kuntul di musim hujan sudah berubah. Sawah-sawah yang menjadi daya dukung tempat mencari makan hilang, pohon-pohon untuk bersarang juga berkurang banyak.
“Kalau menurut saya yang sedih itu bukan orangnya, tapi pasti burungnya,” kata Giyarto.
Menurut Giyarto, Dusun Ketingan itu sudah dapat anugerah yang luar biasa karena dipilih oleh burung kuntul sebagai tempat tinggal di musim penghujan. Padahal, kalau dipikir-pikir, kondisi alam, suhu, makanan di Ketingan tidak berbeda dengan dusun-dusun lain di sekitarnya. Namun, burung kuntul memilih tinggal di dusun mereka.
“Ada yang mengatakan ratunya burung kuntul ada di Ketingan. Tapi kalau penelitian, burung kuntul itu insting sebagai burung migrannya sangat kuat, kalau dari mereka pernah ke suatu tempat, mereka akan ingat dan biasanya kembali ke situ lagi,” kata Giyarto.
Datang selepas Sultan HB X meresmikan jalan dusun
Yang jelas, peristiwa ribuan burung kuntul yang memilih Dusun Ketingan sebagai tempat tinggal di musim hujan, tidak lepas dari kedatangan Sultan Hamengku Buwono X di tahun 1993, tepatnya bulan September. Saat itu, Sri Sultan HB X meresmikan jalan desa yang dibangun secara swadaya oleh warga. Tiga hari setelah acara tersebut, burung kuntul mulai berdatangan ke Dusun Ketingan.
“Mulanya cuma sedikit, 3, 7, lama-lama banyak,” kata Giyarto. Burung-burung itu datang tanpa diundang. Dari awalnya warga menolak karena kotoran yang bau dan ketakutan akan penyakit yang bisa menular ke manusia, hingga warga kemudian melindungi keberadaan burung tersebut di kampung mereka.
Giyarto mengatakan, saat itu burung yang datang bersarang di Dusun Ketingan tidak hanya burung kuntul, tapi banyak jenis bangau lainnya. “Sekarang paling cuma jenis kuntul kerbau dan blekok. Dulu itu bangau besar yang kayak pelikan banyak yang datang. Yang besar-besar seperti itu biasanya bersarang di pohon paling tinggi dan paling besar,” kata Giyarto.
Burung kuntul yang terusik ketika pohon-pohon hilang
Hidup damai antara burung kuntul dengan warga di Ketingan mulai terusik seiring makin banyak lahan-lahan yang menjadi rumah di dusun tersebut. Masyarakat memilih untuk menebang pohon-pohon besar dan tinggi yang jadi favorit burung kuntul. Sebagai gantinya, mereka mendirikan rumah-rumah bertingkat yang mengalahkan tingginya pohon.
“Dulu itu pohon-pohon tinggi di tengah kampung masih banyak. Awalnya burung-burung itu maunya bersarang di pohon melinjo dan bambu yang ada di tengah kampung. Namun, karena kebutuhan masyarakat akan lahan untuk rumah, ya pohonnya makin sedikit,” kata Giyarto.
Meski tak lagi banyak pohon tinggi dan besar, burung-burung kuntul masih enggan meninggalkan Ketingan. Mereka justru beradaptasi dengan tidak lagi pilih-pilih jenis pohon. Bahkan pohon rendah pun mereka jadikan sarang.
Kuntul-kuntul yang tempat makannya kena jalan tol
Tahun 1998, warga menanam pohon mahoni karena ternyata juga disukai oleh burung kuntul. Pohon itu bantuan dari UGM. “Pohonnya itu yang Mas, lihat di sepanjang jalan dusun. Sudah bagus membentuk lorong,” kata Giyarto.
Tahun 1998 itu, ada sekitar 5.000 pohon mahoni yang tumbuh di sepanjang jalan. Ketika proyek jalan tol itu datang, sekitar 100 pohon yang kena terjang jalan tol. “Selain itu ada juga yang berada di depan rumah orang kemudian ditebang. Padahal sudah kita kenakan denda 500 ribu kalau ada yang nebang, tapi yang menurut saya itu terlalu sedikit, sehingga orang lebih memilih untuk menebangnya,” kata Giyarto.
Menurut Giyarto, keberadaan burung kuntul yang datang selepas Raja Keraton Yogyakarta datang meresmikan jalan, bisa jadi ironi ketika burung-burung itu pergi justru karena adanya jalan tol dan pohon-pohon yang hilang.
“Mereka datang tanpa diundang dan bisa saja pergi begitu saja,” kata Giyarto.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin