Di zaman serba digital, seorang kakek berusia 73 tahun masih setia jualan kliping koran. Selama hampir 40 tahun ia menggantungkan hidupnya dari jualan “Sumber Ilmu Pengetahuan”.
***
Waktu menunjukkan pukul 18.36 WIB saat saya tiba di stasiun Purwosari, Jumat 10 Maret 2023. Tak lama berselang kawan saya datang menjemput. Motor kami mengambil jalan memutar di lampu merah perempatan Slamet Riyadi ke arah Pasar Senggol Purwosari, menuju angkringan langganan teman saya ini.
Kami duduk di ujung trotoar setelah memesan teh dan mengambil beberapa bungkus nasi dan gorengan. Saya mengamati sekitar dan terpaku pada gerobak yang terletak persis di samping tempat duduk kami. Lebih tepatnya pada gerobak tua bertuliskan Kliping Sumber Ilmu Pengetahuan. Karena rasa penasaran yang membuncah saya pun menghampiri kakek penjaga gerobak.
Di sudut tumpul bangunan tak terawat itu Harsoyo (73) membuka lapak klipingnya. Saya sebenarnya setengah tak percaya ketika membaca tulisan “Kliping” di muka gerobak birunya.
Di bawah tulisan itu tertulis “Sumber Ilmu Pengetahuan”. Agak sulit membayangkan berjualan kliping di tengah majunya perkembangan media digital saat ini apalagi dengan gerobak kaki lima.
Harsoyo menyusun bahan-bahan klipingnya di dalam amplop-amplop coklat yang ia tempatkan dalam gerobak. Bahan kliping yang bisa dibeli eceran itu sudah ia kelompokkan berdasarkan tema. Harsoyo menyodorkan satu amplop bertuliskan penegakan HAM, di dalamnya ada beberapa judul potongan koran dengan tema serupa.
“Lima ribu per judul mas,” begitu jawabnya ketika saya menanyakan harga satu amplop coklat berisi lima judul tersebut. Sedangkan, untuk satu kliping jadi, ia jual dengan harga Rp60 ribu rupiah hingga Rp80 ribu rupiah, tergantung tingkat kesulitan mencari bahan.
Harsoyo mempersilakan saya datang ke kediamannya jika ingin bercakap-cakap panjang. Pukul sembilan malam, sang empunya gerobak kliping itu mendorong untuk pulang. Dari kejauhan tampak ia berbelok di perempatan pertama belakang pasar.
Dari Perhutani jualan kliping di Pasar Senggol Purwosari
Saya mendatangi kediaman Harsoyo esok harinya. Letaknya tak jauh dari tempat ia membuka lapak, persis di belakang pasar Senggol Purwosari. “Asli mana mas? Kok pakai montor Pati?”, tanya Harsoyo seraya bangkit dari kursi panjang di belakang gerobak.
“Kula saking Pati, mbah,” ujar saya. Dari obrolan kecil lah cerita Harsoyo di mulai. Harsoyo sempat bekerja di Perhutani Pati setelah menamatkan studinya di Jogja. “Saya bekerja di Perhutani Pati sejak tahun 1970 sampai 1987 kemudian pindah ke Sala sampai pensiun tahun 2004,” ujarnya.
Bisnis kliping ia rintis pada tahun 1984, saat masih berdinas di Perhutani Pati. Bermula dari tugas kliping salah satu anaknya yang saat itu duduk di bangku kelas enam sekolah dasar, Harsoyo mulai memberanikan diri membuka lapak kliping di Pasar Senggol Purwosari yang bertahan hingga saat ini
“Dulu itu tugas kelompok 3 orang, 2 orang bayar. Kemudian, satu sekolah disuruh membuatkan. Lalu saya mulai dorong (buka lapak) di Pasar Purwosari,” terangnya. Awal berjualan, Harsoyo dibantu oleh mendiang istrinya membuka lapak saat akhir pekan karena masih berdinas di Pati pada saat itu. Lapak klipingnya mulai buka setiap hari setelah ia pindah dinas ke Solo.
Berjaya saat kliping jadi tugas wajib
Tahun-tahun itu, banyak orang mencari kliping karena tugas untuk membuat kliping masuk dalam kurikulum. Sepanjang ingatan Harsoyo, Menteri Pendidikan Fuad Hasan, saat itu memasukkan kliping ke dalam kurikulum. Harsoyo sendiri hafal di luar kepala tema-tema kliping apa saja yang biasanya siswa sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA) cari.
Mayoritas konsumen kliping datang dari kalangan terpelajar untuk memenuhi kebutuhan akademik seperti tugas sekolah dan skripsi. Namun, tak jarang juga datang dari luar kalangan tersebut seperti ibu-ibu PKK, pamong desa, sampai jaksa. Tema penghinaan pada peradilan menjadi yang paling sering dicari dua tahun belakangan.
Pesanan terakhirnya datang dari kelompok PKK yang meminta untuk dibuatkan empat kliping dari empat tema pokja PKK.
Bisnisnya belakangan terhitung sepi jika dibandingkan dengan berpuluh tahun yang lalu. Setiap hari ada saja yang membeli, tapi tak seramai dahulu sebelum tahun 2010. Sekolah negeri di Solo juga sekarang jarang yang memberikan tugas kliping ke anak didiknya.
“Ramainya itu setelah pak Harto turun sampai 2010”, terangnya. Bahkan Harsoyo bisa membeli rumah dari hasil penjualan kliping di tahun 2001. Pesatnya persebaran informasi di internet setelah tahun 2010 juga sedikit banyak mempengaruhi bisnisnya.
Punya dua gelar sarjana, hobi nulis dan motret
Harsoyo lahir dari keluarga pegawai, bapaknya pegawai Perhutani dan ibunya guru. Harsoyo sudah mulai aktif menulis di koran sejak SMP. Awalnya hanya menulis puisi kemudian mengirimkan artikel. Ia mendapatkan honor sebesar lima puluh rupiah untuk puisinya.
“Lima puluh rupiah itu kalau dulu bisa beli dua celana panjang,” jelasnya. Ia juga masih aktif mengirimkan artikel ke media cetak saat sudah bekerja. Tulisannya tentang proses pengolahan benang sutra pernah dimuat di Panjebar Semangat tahun 1977.
Harsoyo menamatkan pendidikan tingginya di Yogyakarta. Istilah yang kita kenal saat ini, double degree, S1 Elektronika dan S1 Komunikasi Massa di dua kampus yang berbeda. Lulus di tahun yang sama dan lanjut bekerja di Perhutani
Bermodalkan ilmu yang ia dapatkan semasa kuliah di Jogja, Harsoyo berkeliling menjajakan jasa foto dari rumah ke rumah. “Kalau cuma mengandalkan gaji dari Perhutani ndak cukup untuk sewa rumah dan kebutuhan sehari-hari,” ucap Harsoyo.
Ingatannya masih segar menyusuri jalananan yang jadi tempat jelajahnya dahulu. “Saya tinggal di Pati kota. Sepulang kerja keliling sampai Juwana, Wedarijaksa”. Jarak yang lumayan jauh jika ditempuh menggunakan sepeda kayuh di zaman itu.
Obrolan kami sempat terhenti saat Harsoyo harus melayani pembeli yang mampir ke warungnya. Di bawah kanopi yang menaungi warungnya tersemat dua papan bertuliskan “Kliping” dan “Naptol”. Entah apa itu naptol, saya tak sempat menanyakan lebih lanjut.
Prediksinya soal apa yang trending selalu jitu
Harsoyo sesekali masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan contoh koran dan kliping yang ia maksud dalam obrolan. Kami mengobrol secara mengalir begitu asyik dengan pembahasan yang beragam. Kesamaan latar belakang pernah menjadi penduduk Pati membuat obrolan kami mengalir begitu saja.
Ia sepertinya tak pernah ketinggalan berita terbaru karena kesenangannya membaca koran dan menonton berita di televisi. “Kasus pegawai pajak itu nanti ramainya tiga bulan lagi setelah proses persidangan,” kata Harsoyo mengira-ira.
Media cetak dan elektronik yang selalu kalah cepat dengan pemberitaan di sosial media hari ini menawarkan kedalaman yang lebih. Berbekal informasi yang ia dapatkan dari koran dan televisi Harsoyo bisa menjelaskan pasal apa saja yang kiranya akan menjerat Mario Dandy dan Shane di kemudian Hari.
Ia juga memprediksi kiranya tema perintangan terhadap penyidikan juga akan menjadi trending beberapa bulan ke depan. Saat tulisan ini saya buat, Kamis 4 Mei 2023, Roy Rening, pengacara Lukas Enembe ditangkap karena kasus perintangan penyidikan, persis seperti ramalan Harsoyo.
Harsoyo kembali bangkit dan masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan koleksi tustelnya karena saya yang tak kunjung paham dengan Kodak yang ia maksud. “Oalah, kamera analog”, saya membatin saat ia menunjukkan koleksi kamera yang ia letakkan acak dalam sebuah keranjang plastik. Koleksi yang cukup memikat bagi saya karena terlihat beberapa kamera profesional yang pasti cukup mahal di zamannya.
Setelah puas mengobrol selama dua jam dengannya saya pun berpamitan dan meminta izin untuk memotret halaman rumahnya untuk dokumentasi tulisan. Saya lalu pamit undur diri setelah berterima kasih telah dijamu dengan obrolan hangatnya sore itu.
Reporter: Muhammad Fais Halim Jauzi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Rahasia Larisnya Warung Soto Bu Kini, Langganan Utang Mahasiswa UIN Jogja