Antropologi dan Magi Melihat Santet yang Diduga Menyasar Seorang Bapak 

Santet jadi salah satu tradisi yang dipercaya oleh masyarakat di Indonesia. Foto ilustrasi oleh Agung P.

Kena santet atau penyakit biasa? Sebuah pertanyaan yang sampai sekarang juga belum bisa dijawab dengan pasti oleh keluarga Ibu Rahayu dan Pak Bagas. Penyakit yang berkali-kali kambuh ini kemudian menimbulkan kecurigaan kalau ini bukan penyakit biasa.  

***

Penyakit yang muncul di bulan suro

Awalnya saya mendapat cerita dari seorang driver rental yang mengantarkan seorang pasien yang sakit misterius. Bahkan keluarga itu menyimpulkan bahwa penyakit itu ada hubungannya dengan santet. Pengalaman sopir ini menggelitik saya hingga kemudian saya menghubungi keluarga yang bersangkutan. 

Saya kemudian menghubungi sebut saja, Ibu Rahayu (36) dan Pak Bags (42). Dua nama tadi yang jelas nama samaran. Ibu Rahayu menceritakan awal mula keluarga mereka harus menerima musibah. “Fenomena ini mulanya terjadi tahun 2018,” katanya saat saya hubungi untuk kesekian kali, Minggu (25/10/2021). 

Bu Rahayu dan Pak Bagas tinggal di desa di wilayah Provinsi DIY bersama anak semata wayang yang tahun ini berusia 16 tahun. 

Sehari-hari Bu Rahayu dan Pak Bagas disibukkan dengan aktivitas usahanya. Usaha mereka cukup berkembang dan mampu memberi penghidupan bagi keluarga kecilnya. 

“Sekitar tahun 2018, Bagas merasakan badannya tak enak. Setelah beberapa hari, muncul sebuah luka benjolan seperti melepuh di tumit kaki sebelah kiri,” katanya. Ibu Rahayu baru ngeh kalau sakit suaminya itu menjelang 1 Suro. Bulan yang dianggap sebagai bulan sakral, khususnya orang Jawa.

Awalnya, Rahayu mengira bahwa Bagas menderita asam urat karena gejalanya yang mirip. Namun, selang beberapa hari, luka tersebut terasa makin gatal dan panas. Luka yang tadinya hanya benjolan kecil, semakin hari semakin membesar dan akhirnya memecah. Dari luka itu, keluar nanah yang mengeluarkan bau tak sedap. Lambat laun, luka itu semakin meluas ke bagian tubuh yang lain.

Keadaan itu tentunya mengganggu aktivitas Bagas dan keluarga. Pekerjaan yang sebelumnya digeluti, berhenti total. Bagas hanya terbaring lemah di kasur karena luka yang dideritanya memberikan rasa sakit yang luar biasa.

Rahayu lalu memutuskan untuk memeriksakan keadaan suaminya ke dokter. Ia pergi ke sebuah rumah sakit. Bagas dirawat beberapa hari dan ditunjang dengan obat-obatan yang harganya bisa dibilang tak murah. Namun, Bagas tak kunjung membaik.

Rahayu kemudian membawa ke rumah sakit lainnya. Namun hasilnya tetap sama. Keadaan Bagas tak berubah. Dari rumah sakit yang terakhir dikunjungi, Bagas didiagnosis menderita penyakit Infeksi Kulit Merata atau pyoderm gangrenosum. Saya mencoba mencari tahu jenis penyakit apa ini. 

Penyakit ini merupakan jenis penyakit dimana jaringan dan kulitnya membusuk karena ‘dimakan’ bakteri. Pyoderm gangrenosum ini masuk kategori sebagai penyakit autoimun  yang menyerang satu dari 100 ribu orang. 

Menghadapi keadaan yang demikian, batin Rahayu cukup terguncang. Obat-obatan dan tindakan medis dinilai tak berhasil. Bahkan, luka di tubuh Bagas semakin menjalar dan juga memberikan rasa sakit yang luar biasa.

Ibu Rahayu sangat bingung. Ia tak tahu apa yang menimpa suaminya. Sempat terpikir bahwa ini bukanlah suatu penyakit biasa. Sebab, obat-obatan medis, tak berdampak apapun terhadap Bagas. Pada suatu kesempatan, Rahayu dan keluarga akhirnya memutuskan membawa Bagas ke pengobatan alternatif.

Ibu Rahayu menduga suaminya kena santet. Berbekal informasi dari tetangga, Ibu Rahayu membawa Bagas ke lokasi pengobatan yang letaknya tak jauh dari kediaman orangtua Bagas. Kunjungan Rahayu ini merupakan kunjungan yang kesekian kalinya setelah banyak pengobatan alternatif yang ia kunjungi tak juga menunjukkan hasil positif. 

santet
Dunia magi tidak bisa dilepaskan dari masyarakat di Indonesia. Foto ilustrasi oleh Agung P/Mojok.co

Di Tabib Sri, Bagas diberikan air putih, dibacakan sesuatu dan dimandikan di sebuah sumur. Setelah terapi beberapa waktu, Bagas mulai menunjukkan perubahan.

“Sudah mulai bisa makan dan lukanya mengering,” tutur Rahayu. Bagi Rahayu, itu sedikit menjadi penjelasan baginya bahwa penyakit yang diderita Bagas adalah suatu penyakit non-medis atau kena santet.

Pada saat konsultasi, Rahayu diberikan beberapa wejangan, di antaranya adalah selalu berdoa dan ibadah, jangan mengarah ke wilayah timur, dan pada waktu tertentu memandikan Bagas dengan air laut.

 Melihat Bagas membaik, keduanya pun merasa kembali bersemangat. Bagas mulai dapat melakukan kegiatan kecil di masa pemulihannya. Dan hingga pada akhirnya, setelah penyembuhan selama tiga bulan, Bagas sembuh sama sekali dan dapat beraktivitas seperti sedia kala.

 Rahayu dan Bagas bahagia. Keduanya hampir tak percaya karena penyakit yang diderita Bagas berlangsung cukup lama dan keduanya sudah pasrah atas kondisi tersebut.

 Keduanya kembali merajut kehidupan mereka yang sempat terputus. Mereka sempat membeli tanah dan membangun sebuah rumah. Namun, kebahagiaan itu hanya sebentar. Di pertengahan tahun 2019, gejala penyakit yang sama kembali kambuh.

 “Soalnya waktu (bulan) munculnya penyakit berdekatan (jelang bulan Suro),” jelasnya.

 Kali ini, luka muncul di belakang dengkul dan perut bagian bawah. Luka itu terlihat berlubang dan membentuk garis. Luka-luka itu kembali memecah dan mengeluarkan nanah. Sebagaimana sebelumnya, luka itu mengakibatkan rasa ngilu dan sakit yang luar biasa. Dan, luka itu juga kembali menjalar ke seluruh tubuh.

 Ibu Rahayu menuturkan, keadaan ini kembali membuatnya putus asa dan pasrah. Melihat Bagas terbaring lemah dan merintih kesakitan, hatinya pun serasa tersayat-sayat. Namun, ia menuturkan bahwa ia selalu berupaya tegar dan senantiasa mengharapkan keajaiban dari Tuhan.

 Ibu Rahayu memutuskan untuk kembali membawa Bagas ke rumah sakit. Sebab, ia berharap Bagas dapat diberikan perawatan karena kondisi tubuhnya sangat lemah.

 Dalam perawatan, pihak rumah sakit sempat mengambil tindakan biopsi (diambil sampel kulitnya) dan menyuntikkan obat di luka-lukanya dengan tujuan agar tidak menjalar ke bagian lain. Di rumah sakit ini pun, Bagas kembali didiagnosis terjangkit Infeksi Kulit Merata seperti diagnosa sebelumnya.

 Namun, pengobatan medis tak memberi dampak signifikan. Justru di tubuh Bagas muncul luka lain. Rahayu sangat bingung karena dihadapkan pada kondisi ini. Ia tidak memiliki jaminan apapun. Dan akhirnya, ia membawa pulang Bagas karena tak ada perkembangan dan juga membutuhkan biaya cukup banyak.

 Setelah dibawa pulang, Ibu Rahayu kembali membawa Bagas ke berbagai pengobatan alternatif, termasuk kembali ke Tabib Sri.

 Di tengah ceritanya, Rahayu mengungkapkan bahwa luka ini tak hanya menggerogoti tubuh Bagas, melainkan juga menggerogoti semangat hidup mereka. ”Ini mungkin adalah ujian yang diberikan Tuhan bagi keluarganya agar menjadi manusia yang lebih baik,” kata Ibu Rahayu dengan suara yang bergetar.

 Dengan kondisi dan pengobatan yang sama, Bagas lambat laun menunjukkan progres yang positif. Luka-luka di tubuh Bagas terlihat mengering dan tidak terasa sakit seperti sebelum diobati. Hingga akhirnya, luka-luka itu semakin mengecil dan sembuh

Ibu Rahayu teringat pada suatu perbincangan bahwa ini adalah penyakit gaib yang dikirimkan seseorang atau santet. Adanya dugaan itu membawa ingatan Rahayu ditarik kembali jauh ke belakang. Ia menyadari bahwa Bagas, meski memiliki maksud yang baik, terkadang berbicara dengan bahasa dan nada yang tidak mengenakkan bagi orang lain. “Kami menduga bahwa penyakit ini dikirimkan oleh orang yang merasa sakit hati akibat dari tutur suami saya,” ujarnya.

Setelah Pak Bagas sembuh untuk kedua kalinya, mereka perlahan memulai kembali usaha kecil mereka. Namun, adanya pandemi Covid-19 membuat usaha mereka meredup. Meski demikian, mereka tetap berupaya bangkit dan berikhtiar.

Pada tahun 2020, keduanya hidup normal tanpa gangguan. Namun, kebahagiaan itu seperti kembali tersedot habis ke kehampaan. Pada tahun 2021, jelang bulan Suro, di tangan Pak Bagas, kembali muncul luka seperti luka melepuh.

Foto ilustrasi from freestocks on unsplashl.com

Di peristiwa ketiga ini, Rahayu kembali mengikuti arahan dari Tabib Sri; mengambil air laut untuk disiramkan ke tubuh Bagas. Di tengah terapi itu, Rahayu memutuskan untuk mencoba membawa sang suami ke wilayah Jawa Timur setelah melihat konten YouTube yang menyajikan kemampuan pengobatan seseorang. Namun, sesampainya di sana, tabib tersebut memintanya untuk mengambil tindakan medis seraya berdoa kepada Tuhan untuk kesembuhan sang suami.

Di tengah kekecewaannya, Rahayu akhirnya mengunjungi Tabib Sri. Adapun pada masa ini, Bagas kembali ditempatkan di kediaman keluarganya yang dekat dengan kediaman tabib tersebut. Bagas dirawat oleh orangtuanya. Sementara Rahayu berupaya membantu mencari nafkah untuk tetap menghidupi keluarga mereka.

Sampai dengan cerita ini ditulis, Bagas masih berjuang menjalani perawatan. Di akhir ceritanya, Rahayu menitipkan pesan semoga kejadian ini bisa menjadi pelajaran supaya dirinya lebih berhati-hati dalam berhubungan sesama manusia. Ia juga berharap kejadian ini dapat menghapus dosa-dosa keluarganya sekaligus mendekatkan dirinya kepada Tuhan.

Penyakit yang diderita oleh Pak Bagas, bisa jadi menjadi perdebatan apakah memang jenis penyakit yang secara medis bisa dijelaskan atau masuk sebagai jenis santet atau magis yang di luar nalar manusia. 

Antropologi melihat santet

Saya menganggap, dalam beberapa konteks, tradisi ilmu pengetahuan medis tidak dapat memberi eksplanasi detail terkait kondisi medis tertentu. Maka untuk mengurai persoalan tersebut, diperlukan pendekatan yang dapat menjembatani antara keduanya. Salah satu pendekatan yang dinilai relevan adalah pendekatan antropologi. Sebab, antropologi mengulas tentang manusia sebagai sumber ilmu pengetahuan.

Maka saya menghubungi  Prof. Drs. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil., Ph.D.,  Guru Besar Antropologi UGM ini  menerangkan bahwa jika ditinjau dari bidang studi antropologi, peristiwa yang menimpa Bagas bisa disebut sebagai bagian dari magis.

“Magi itu adalah hasil dari upaya manusia memanfaatkan kekuatan-kekuatan supranatural untuk mempengaruhi sesuatu,” tutur beliau. 

Terkait dengan kondisi yang dialami Bagas, Prof Heddy menilai magi adalah sesuatu yang ada dan dapat termanifestasikan, tentunya dalam sudut pandang mereka yang mempercayainya. Lantas, yang membedakannya dengan ranah ilmu pengetahuan/sains adalah sains tidak berbicara supranatural dan magi hanya didefinisikan sebagai suatu energi.

“Di non-sains, biasanya dibubuhi personifikasi, seperti menyebut jin, demit, dan sebagainya,” lanjut beliau.

Terkait dengan dugaan bahwa penyakit yang diderita Bagas adalah suatu kiriman (santet), Prof. Heddy mengutip pendapat Claude Lévi-Strauss yang mendefinisikan adanya dua pola perilaku (the bricoleur and the engineer).

“Beberapa individu terkadang mengandalkan unsur magi karena perilaku dan pengalamannya erat dengan pola pikir tersebut.”

Adapun berkenaan dengan fenomena santet sendiri, Prof Heddy menyebutkan bahwa dalam sains, santet juga bisa didefinisikan. Namun, tentu dengan istilah yang berbeda. Sebagai contoh, Prof. Heddy mengambil objek alat komunikasi. Bagi perspektif tertentu, handphone dan fitur yang terkandung di dalamnya mungkin tidak dapat dijelaskan secara gamblang. Namun, secara faktual itu adalah bentuk pemanfaatan energi.

Sebagai penutup, Prof. Heddy menilai bahwa magi dalam tradisi ilmu antropologi benar adanya. Ia memiliki mekanisme yang sama dengan sains, seperti objek, prosedur, sarana, dan dramatisasinya. Adapun yang dinilai menjadi pembeda antara lain adalah tentang cabang keilmuan yang berada di jalur berbeda, penyematan istilah dan personifikasi, serta keterbukaan informasinya, di mana sains bersifat inklusif sementara magi bersifat eksklusif.

BACA JUGA Menemukan Diri yang Hilang Usai Lepas dari Toxic Relationship dan liputan menarik lainnya di Susul.

 

 

Exit mobile version