Mari Kembali ke Tujuan Mulia MBG Alih-alih Memberikan Solusi yang Tak Substansi seperti Penambahan CCTV

ilustrasi - sejumlah orang tua menolak MBG. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Badan Pangan Gizi Nasional masih getol melanjutkan program Makan Bergizi Gratis (MBG), meski ada kejadian luar biasa (KLB) yakni ribuan siswa keracunan massal. Sejumlah aliansi meminta program tersebut dihentikan sementara dan dievaluasi menyeluruh.

Bahan MBG yang tak sesuai standar 

Vio (40) bersikeras menolak program MBG, setelah tahu menu yang diberikan oleh pemerintah itu membahayakan anaknya yang berkebutuhan khusus (ABK). Dokter mengimbau agar anak Vio yang berusia 11 tahun menjauhi makanan yang mengandung gluten maupun monosodium glutamat (MSG).

“Hampir tiga minggu menu MBG yang diberikan adalah biskuit warung, kacang koro, sama susu kotak yang isinya gluten, gula, preservative, MSG, casein,” kata Vio saat dihubungi Mojok, Minggu (28/9/2025).

“Itu racun buat anak saya, masak pagi-pagi sudah dikasih terigu, sugar spike,” lanjutnya.

Vio yang tak bisa memantau anaknya secara langsung, juga tidak bisa mempercayai guru di sana. Alih-alih melarang anaknya makan, sang guru malah membiarkan hal itu terjadi. Belum lagi, mereka sudah terlalu sibuk menghitung food tray.

Padahal selama ini Vio sudah lebih dari mampu memberikan anaknya sarapan yang sehat. Misalnya, brokoli, telur rebus dan ayam. Sayurnya pun masih segar, tidak seperti menu MBG. 

“Saya bahkan memfoto menu MBG tersebut. Yang saya lihat, sayurnya sudah layu dan hanya dikasih beberapa lembar. Ampuun!” Kata Vio.

Menu tidak lengkap program MBG. MOJOK.CO
ilustrasi paket MBG di salah satu sekolah Sleman, Jogja. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Mojok juga pernah menyambangi langsung salah satu SD di Sleman, Jogja dan melihat menu MBG di sana. Isinya sepotong tahu goreng, telur rebus, nasi, dan sekepal oseng putren. Bahkan, terdapat menu MBG yang hilang sebelum dibagikan, seperti telur rebus di salah satu tray milik siswa.

Keracunan massal tidak bisa dielak

Tak hanya Vio, kebijakan MBG juga ditolak oleh para ibu rumah tangga. Baru-baru ini, sekelompok ibu di Jogja melakukan aksi dengan membunyikan panci di bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM). Mereka memprotes rentetan kasus keracunan massal akibat MBG yang terjadi di berbagai daerah.

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mencatat ada 7.368 korban keracunan MBG per Jumat (25/9/2025). Terbanyak ada di Kabupaten Bandung Barat yang jumlahnya melebihi 500 orang.

Atas peristiwa tersebut, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana dipanggil oleh Presiden Prabowo Subianto. Dalam pertemuan itu, Prabowo menginstruksikan Dadan untuk meningkatkan tata kelola SPPG guna mencegah keracunan berulang. Prabowo juga meminta koki yang sudah terlatih serta melengkapi alat seperti rapid test, sterilisasi food tray, filter air, dan CCTV.

MBG seharusnya khusus kelompok menengah ke bawah

Di sisi lain, Praktisi Kesehatan Masyarakat Dokter Ngabila Salama turut menyorot kasus keracunan MBG. Ia menyebut jumlah itu terlalu banyak dan harus segera dievaluasi.

“Dua kasus orang dengan gejala keracunan makanan di suatu tempat sudah harus dikatakan kejadian luar biasa,” kata Ngabila melalui keterangan tertulis, Jumat (26/9/2025).

Ngabila sendiri tidak menolak program MBG karena memiliki tujuan yang baik. Pertama, memberi gizi atau nutrisi anak sekolah agar siap menghadapi puncak bonus demografi tahun 2030 dan Indonesia Emas 2045. Kedua, menyediakan fisik dan mental calon orang tua khususnya ibu hamil.

Cara unik ibu-ibu di Bundaran UGM Jogja memprotes program MBG dengan pukul panci. Sederhana tapi pesannya dalam dan ironis. (Khatibul Azizy Alfairuz/Mojok.co)

“Saya tidak setuju dana MBG diberikan ke orang tua, saya khawatir dibelanjakan rokok. Sebaiknya, prioritaskan betul MBG untuk kelompok paling membutuhkan,” kata Ngabila.

Ngabila menjelaskan prioritas MBG seharusnya diberikan kepada masyarakat dengan kelompok ekonomi menengah ke bawah. Tidak perlu ke sekolah elit sesuai dengan konsep isi piringku milik Kemenkes RI. 

“Isi piringku adalah setengah piring sayur dan buah, makin berwarna-warni makin bagus, setengah piring lainnya karbohidrat dan lauk tinggi protein hewani,” ujar Ngabila.

Tujuan mulia yang perlu dievaluasi menyeluruh

Kita tak bisa mengelak, jika tujuan MBG memang bagus. Bahkan membantu para siswa. Nevan (8) misalnya. Ia jarang sekali membawa bekal untuk makan siang atau sekadar sarapan di rumah. 

“Ibu sibuk kerja,” ucapnya, Selasa (21/9/2025) di SD Negeri Sinduadi Timur, Sleman, Jogja.

Bahkan, siswa di SD Negeri Sinduadi Timur itu mengaku uang sakunya lebih kecil dibanding teman-teman selainnya. Sehari-hari, ia hanya diberi uang Rp4 ribu per hari. Tidak cukup untuk membeli makanan berat di kantin.

Tak hanya Nevan, Nindi–teman sekelas Nizam juga mengaku tak pernah membawa bekal ke sekolah karena ada alasan tertentu yang melatarbelakanginya. Cerita lengkapnya bisa dibaca di sini.

Pada akhirnya, pemerintah tak perlu menghentikan program MBG secara permanen, tapi melakukan mekanisme pengawasan yang transparan. Sejumlah aliansi seperti Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) hingga Forum Komunikasi dan Informasi Gizi (FORKIZI) sepakat, agar pemerintah menghentikan sementara program MBG dan mengevaluasi program secara menyeluruh.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: MBG, Hidangan Negara yang Bikin Anak-Anak Tumbang: Gratis di Piring, Mahal di Nyawa atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version