Buang Sampah di Kota Jogja Harus Bayar Tak Bikin Masalah Kelar, Malah Datangkan Masalah Baru

Buang Sampah di Kota Jogja Harus Bayar Tak Bikin Masalah Kelar, Malah Datangkan Masalah Baru MOJOK.CO

Ilustrasi - Buang sampah di Kota Jogja harus bayar bisa timbulkan masalah baru. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Sistem sampah berbayar (harus bayar saat buang sampah) di Kota Jogja memang diniatkan untuk mengurangi volume sampah yang masuk ke depo. Namun, sistem ini terbilang rentan menimbulkan masalah baru: makin banyak sampah-sampah liar yang berserakan di jalanan.

Masa uji coba sistem sampah berbayar di Kota Jogja baru saja berakhir setelah berlangsung dalam kurun 29 Oktober hingga 7 November 2024.

Kini, Pemerintah (Pemkot) Jogja melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH)-nya mulai bersiap menyusun mekanisme pembuangan sampah berbayar tersebut.

Niat baik kurangi sampah di Kota Jogja

Usai melakukan uji coba selama 10 hari, DLH Kota Jogja terlihat serius untuk menerapkan sistem buang sampah berbayar. Niatnya tentu sangat baik.

Melalui sistem tersebut, DLH Kota Jogja berharap mulai tumbuh kesadaran dari masyarakat dalam hal pengelolaan sampah. Sebab, asumsinya, masyarakat tentu akan pikir-pikir dulu jika merogoh uang banyak hanya untuk keperluan buang sampah.

“Karena kalau sampah banyak yang dibuang ke depo, maka uang yang dibayarkan juga banyak. Sementara kalau sampah yang dibuang sedikit, pasti keluar biaya sedikit,” jelas Kabid Pengelolaan Persampahan DLH Kota Jogja, Rabu (6/11/2024).

Jika begitu, maka (lagi-lagi asumsi dari DLH Kota Jogja), masyarakat mau tidak mau akan melakukan pengelolaan mandiri sampah-sampahnya sejak di rumah. Motif awalnya memang agar tidak keluar uang banyak saat membuang sampah ke depo.

Namun, jika sudah menjadi kebiasaan, lama-lama juga akan tumbuh kesadaran perihal pentingnya memilah sampah: mana yang bisa dimanfaatkan lagi (didaur ulang) dan mana yang layak dibuang.

“Uji coba ini maksudnya untuk melihat volume sampah yang masuk sekaligus penentuan tarifnya bagaimana. Kalau mekanisme bayarnya, mungkin akan menggunakan sistem non tunai. Misalnya pakai QRIS,” jelas Haryoko.

Potensi sampah berserakan di jalanan Kota Jogja

Entah kenapa DLH Kota Jogja tampak bulat menerapkan sistem sampah berbayar tersebut. Haryoko memang menegaskan masih akan berkonsultasi dengan beberapa pihak sebelum “ketok palu” nantinya.

Akan tetapi, dari penjelasan-penjelasan yang dia berikan pasca uji coba berakhir, tampak betul dia ingin merealisasikannya. Namun, Haryoko sepertinya perlu menimbang pendapat dari Baharuddin Kamba, salah satu anggota Forum Pemantau Independen (Forpi) Kota Jogja.

Pada prinsipnya, Kamba membaca niat baik dari DLH Kota Jogja. Yakni upayanya mengedukasi masyarakat dalam mengelola sampah sekaligus untuk mengurangi tumpukan sampah di depo.

Hanya saja, bagi Kamba, sistem sampah berbayar justru bisa jadi bumerang bagi Kota Jogja dengan menimbulkan masalah baru, yakni penumpukan sampah-sampah liar di jalanan.

“Karena jika masyarakat keberatan, tentu akan lebih memilih membuang sampah sembarangan di jalanan atau di sungai-sungai. Ini jadi masalah baru,” tutur Kamba.

“Apalagi masih banyak masyarakat yang belum punya kesadaran memilah sampah dari rumah sebelum dibuang ke depo sampah,” sambungnya.

Maka, sebelum sibuk menyiapkan mekanisme pembayaran dan besaran tarif sampah berbayar, DLH Kota Jogja agaknya perlu mengkaji bagian yang diutarakan Kamba dan menyiapkan langkah-langkah antisipasinya.

Masyarakat memang sudah harus sadar

Sebelumnya, Mojok sempat memuat pernyataan dari Prof. Chandra Wahyu Purnomo, dosen di Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik UGM.

Chandra menyebut, sebenarnya peraturan terkait sampah sudah cukup banyak. Mulai dari Undang-Undang hingga Peraturan Daerah (Perda). Akan tetapi, Jogja bakal tetap dalam situasi darurat sampah jika segala peraturan tersebut tidak dibarengi dengan kesadaran masyarakat.

“Harusnya sampah sudah terpilah di hulu, mulai dari rumah tangga, kantor, pabrik atau industri, dan kampus. Karena kalau di hulu saja sudah tercampur, proses pengolahannya akan menjadi berat,” ujar Chandra.

Chandra berharap partisipasi masyarakat dalam mengelola sampahnya sendiri setidaknya mencapai 30 persen. Sedangkan 70 persen sisanya biar ditangani oleh fasilitas-fasilitas yang disediakan pemerintah daerah.

Bagi Chandra, Perlu ketelatenan memang dalam proses mengedukasi masyarakat Jogja perihal pentingnya memilah sampah sejak dari rumah.

“Kita harus terus mengedukasi masyarakat agar memiliki komitmen untuk memilah sampah. Kalau perlu ada sanksi sosial seperti di negara maju,” tegasnya.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Iuran Sampah di Pasar Condongcatur Sleman bikin Pedagang Tombok, Bayar Terus tapi Pemkab Ogah Urus

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

 

 

Exit mobile version