Lima Klub Sepak Bola yang Suporternya Selalu Menyebalkan

Lima Klub Sepak Bola yang Suporternya Selalu Menyebalkan

Musim kompetisi di Eropa sudah dimulai sejak beberapa pekan ini. Aksi saling nyolot antar suporter pun mulai panas lagi. Wajar, beberapa klub besar yang punya basis suporter di Indonesia cukup banyak yang menjalani musim dengan kekalahan. Padahal tidak sedikit yang sudah jor-joran menghabiskan dana transfer. MU kalah, Juventus kalah (dua kali beruntun malah), Liverpool dibantai. Praktis, hanya Real Madrid dan Barcelona yang punya langkah mendingan—meski tidak bisa dibilang cukup bagus juga.

Melihat kondisi tersebut, beberapa komunitas suporter langsung gerak cepat dengan mempersiapkan pledoi beserta bukti-bukti, sambil tak lupa menyerang klub rival di linimasa. Ini sebetulnya trik usang: agar tak diserang, seranglah lebih dulu. Mempan atau tidak serangannya, itu persoalan nanti.

Tentu saja tingkah-tingkah menyebalkan mereka tersebut membuat kebisingan tersendiri, meski tak jarang juga mengundang tawa. Fans Arsenal, misalnya, lantaran begitu kebelet punya striker kelas wahid, mereka sampai menginterpretasikan salah satu selebrasi gol Edinson Cavani di PSG—jari yang dibalik seperti huruf “A”—sebagai kode yang berarti (ia ingin bermain untuk) Arsenal. Aduh, Dek. Selain hal konyol macam itu, masih banyak lagi tingkah menyebalkan para suporter sepak bola.

Fans lima klub ini di antaranya:

Madrid-Barcelona

Fans kedua klub ini bisa dibilang yang paling jemawa kalau lagi berhadapan sama pendukung-pendukung klub lain. Bagi Madridista dan Cules, pendukung klub-klub lainnya adalah jenis pendukung partikelir, proletar, kafir, PKI, miskin, pengemis, dan mati masuk neraka.

Sesuai dengan glamornya Madrid, para Madridista ini adalah jenis suporter parlente. Kalau cewek biasanya cakep-cakep, yang cowok padahal nggak, dan suka sekali membanggakan rekor-rekor transfer pemain. Di saat klub-klub lain memamerkan gelar apa saja yang sudah dicapai di akhir musim, Madridista justru sibuk dengan isu pemain mana yang bakalan datang dan pergi. Bagi mereka: gagal dapat piala tak apa, yang penting kedatangan pemain mahal.

Bagi Madrid dan Madridista, yang mahal pasti bagus dan bermutu. Padahal belum tentu, lho. Pacar sewaan juga mahal, tapi kualitasnya tidak sebagus pacar betulan (ya tergantung pacarannya sama siapa juga, sih, kalau sama Agus Mulyadi ya mending sewa).

Barcelona sebenarnya hampir-hampir mirip. Cuma Barca ini lebih suka diam-diam kalau beli pemain dengan harga fantastis. Fans Barca kan selalu bangga dengan pemain-pemain lulusan La Masia, malu dong kalau ketahuan memboyong Luis Suarez atau Neymar dengan angka gila-gilaan seperti waktu Madrid mendatangkan James Rodriguez atau Gareth Bale. Biasalah, mental aktivis. Sok ogah-ogahan disamakan dengan penguasa. Wong sugih macak kere. Orang kaya berlagak miskin.

Yang mengerikan dari Barca adalah perkembangbiakan fansnya yang secepat amoeba. Terutama sejak Pep Guardiola mengamuk dengan meraih semua gelar di musim 2008/2009. Sampai-sampai orang yang tadinya tidak suka bola tahu-tahu mendadak fanatik dengan Barca. Cih.

Juventus

Apa yang bikin Serie A membosankan sepanjang empat musim ini jawabannya jelas: Jupentus. Ibarat Raffi Ahmad yang selalu nongol di tipi dari pagi ketemu pagi, tifosi Serie A telah muak dengan Jupe yang gak punya pesaing di liga dari tahun ke tahun. AS Roma yang di beberapa musim belakangan coba-coba iseng berhadiah mengganggu dominasi Jupe juga akhirnya keok lagi, keok lagi. Kehadiran AS Roma tersebut macam biskuit kelapa di meja tamu: tersedia, tapi bukan pilihan pertama, lama-lama mending dibuang saja.

Namun, pandangan itu mendadak sirna tatkala klub zebra cross ini terjengkang di dua partai perdana liga. Apa yang terjadi dengan Jupe ini sebenarnya sudah bisa diprediksi jika Anda mengamati track record sang pelatih, Massimiliano Allegeri. Bukan apa-apa, Allegri ini memang punya rekor yang absurd tiap musim keduanya melatih. Polanya hampir mirip seperti saat dia melatih AC Milan. Di musim kedua setelah meraih scudetto, Milan kehilangan pemain-pemain kunci macam Andrea Pirlo, Ronaldinho, Ibrahimovic, Thiago Silva. Hasilnya, klub peraih gelar Liga Champions terbanyak di Italia tersebut jadi pecundang.

Nah, situasi di Jupe setali tiga uang: Pirlo akhirnya mengakhiri karier di Amerika, Carlos Tevez pulang kampung, dan Arturo Vidal diboyong FC Bayern Muenchen. Hasilnya? Ya nanti jadi pecundang juga, pasti.

Walaupun begitu, Jupentini banyak yang meyakini hal kondisinya bakal berbeda. Kata mereka tidak mito to mito. Milan waktu itu kan kere, Jupe tidak. Jupe masih kaya-raya. Stadion punya sendiri dan secara finansial jadi klub yang paling sehat. Tentu saja itulah alasan kenapa cuma Jupe klub Italia yang mampu bayar wasit. Jadi mungkin musim ini mereka menargetkan tak dapat scudetto tak apa, yang penting bisa bicara banyak di Liga Champions lagi. Ulangi ya: “bicara banyak”. Tidak perlu sampai juara.

Maklum, sebagai jago kandang, Jupe masih gagap kalau harus melaju sampai final Liga Champions. Langkah kecil bagi klub macam Real Madrid, AC Milan, atau Barcelona, tapi langkah besar bagi Jupe. Pesan saya bagi Jupentini: Kalian jangan tamak. Sudahlah, atmosfer Liga Champions tidak cocok sama klub kesayangan kalian.

Wasit Eropa emang begitu orangnya, susah disuap. Lebih baik kalian konsentrasi di liga saja deh, biar bisa empat sehat lima sempurna. Ingat, home sweet home.

Manchester United

Sudah jadi rahasia umum di kelompok suporter klub manapun, bahwa jika ada fans klub sepak bola yang sering dicap arogan dan sok-sokan, maka itu adalah fans Emyu. Fans Emyu adalah jenis yang paling menyebalkan di antara fans sepak bola yang lain. Bukan apa-apa, slogan mereka saja “Not arrogant, just better”. Just better, ndasmu.

Memangnya berapa kali, sih, Emyu juara? Paling banyak di liga Inggris, iya, tapi kalau disandingkan dengan klub lain di Eropa, masih bejibun klub lain yang punya rekor lebih banyak di kompetisi lokal. Juventus, Real Madrid, Bayern Muenchen, misalnya, tapi entah kenapa Emyu selalu dicitrakan seolah-olah sebagai klub satu-satunya paling mentereng, penting, dan hebat di Eropa.

Bicara gelar lokal okelah, tapi bicara gelar Eropa? Emyu ini malah belum ada apa-apanya dengan seteru mereka Liverpool. Apa, mau bilang ini soal sejarah? Cih.

Fans Emyu itu ya, sini saya kasihtau, adalah jenis suporter yang selalu sok bijak menasehati fans klub lain agar jangan cuma membanggakan sejarah belaka. Plis deh, Emyu juara Liga Champions terakhir itu tahun 2008, Bung. Itu hampir tujuh tahun yang lalu, yang tentu saja sudah jadi bagian dari sejarah. Paham? Mereka sepertinya lupa, bahwa Emyu (terutama saat ini) sedang memasuki masa-masa peralihan susah move on dari mantan pelatih.

Coba kita cek satu-satu. Semua kebanggan Emyu sudah jadi masa lalu semua; Era Cantona, Class of ’92, keajaiban final Champions di Nou Camp 1999, dan yang sedang menjangkiti para Emyu-Nista saat ini: post-fergie-syndrome. Sampai-sampai muncul meme Opa Fergie dengan kata-kata yang legendaris itu: “Piye kabare? Penak jamanku to?”.

Saran saya, mending Emyu-Nista bikin bisnis MLM saja mulai dari sekarang. Dengan mental yang sudah kebentuk seperti itu, yakin deh, dalam tempo singkat kalian semua tak cuma bisa dapat kapal pesiar, tapi juga bisa dapat kapal induk. Kelompok suporter kok ya mirip downline

Liverpool

Nah ini nih. Kalau ada klub paling PHP sepanjang masa buat para fans-nya, tak lain dan tak bukan itu adalah eng-ing-eng: (tak perlu saya tulis, di atas udah ada tulisannya).

Bayangkan, rentang waktu klub ini terakhir juara liga Inggris sampai sekarang, kalau diibaratkan manusia, maka dia itu sudah lulus kuliah S2. Bahkan mungkin sekarang sudah punya anak lima! Amit-amit, naudzubillahimindzalik.

Bayangkan saja bagaimana perasaan para Liverpudlian, terutama yang masih kinyis-kinyis itu, ketika mereka nyaris juara (2013/2014), saat Steven Gerrard terpeleset dan Manchester City dengan tanpa merasa berdosa main telikung di menit-menit akhir. Coba bayangkan pedihnya. Sudah capek-capek PDKT gelar liga sejak awal musim, eh, ini si City langsung main ng(l)amar saja.

Itu baru gelar, belum lagi soal pembelian pemain-pemain berharga mahal, tapi ternyata kualitasnya murahan. Dari Andy Carrol, Ricky Lambert, sampai Mario Balotelli.

Meski demikian, sejatinya pendukung Liverpool tidak layak masuk di daftar ini. Sebab mereka menjadi menyebalkan bukan karena mereka songong atau arogan, tetapi justru kesabaran, ketahanan batin, dan mental bajanya. Kesabaran fans Liverpool ini sudah masuk kategori yang cukup perlu dikasihani karena kelewat bebal. Mungkin perlu dibikinkan #KoinUntukLiverpool.

Exit mobile version