MOJOK.CO – Sistem noken merupakan metode yang dipakai saat proses pemungutan suara di pemilu wilayah Papua. Sistem ini, dianggap ideal karena beberapa faktor seperti kondisi geografis hingga budaya. Lantas, bagaimana cara pelaksanaannya?
Pada dasarnya, sistem noken berkaitan langsung dengan para pemimpin tradisional. Sebab, warga Papua masih menjadi bagian dari masyarakat yang mempercayakan keputusan pada tetua atau pemimpin suku.
Dalam pemilu, sistem noken pertama kali dilaksanakan pada tahun 2004 di 16 kabupaten di Provinsi Papua. Meski demikian, ia baru dilegitimasi pada 2009 melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009. Dengan demikian, melalui putusan ini, sistem noken dianggap konstitusional dan hasilnya bersifat sah.
MK juga menegaskan bahwa dalam kebudayaan asli masyarakat Papua, noken menjadi kantong khas yang memiliki fungsi dan makna yang luhur bagi masyarakat di sana. Sehingga, negara pun menghormati kebudayaan setempat dengan melegitimasi noken sebagai sistem pemungutan suara yang sah menurut hukum.
Cara pelaksanaan sistem noken
Sistem noken disebut juga “sistem ikat”. Bagi masyarakat Papua, sebenarnya noken sendiri merupakan sejenis tas khas wilayah pesisir terbuat dari serat kayu dan bertekstur keras.
Meski demikian, noken bukan sekadar tas. Bagi masyarakat Papua, noken merupakan identitas dan memiliki peran sentral dalam kehidupan sehari-sehari. Tercatat ada 250 suku di Papua yang menggunakan tas noken.
Mengutip penelitian Ignatius Y. Nugraha berjudul “Legal Pluralism, Human Rights and the Right to Vote: The Case of the Noken System in Papua” dalam konteks Pemilu, penamaan noken dipakai saat proses pemungutan suara. Secara umum, ada dua cara pemungutan suara dalam sistem ini, yakni noken bigman dan noken gantung.
Dalam noken bigman, seluruh suara diserahkan atau diwakilkan oleh ketua adat. Dalam artian, pilihan suara seluruh anggota suku, didasarkan oleh keputusan kepala sukunya masing-masing.
Fenomena ini terjadi pada masyarakat pegunungan tengah, yang dalam antropologi disebut “tipe big man”. Dalam bahasa lokal Menagawan, bigman punya arti “orang berwibawa”.
Orang berwibawa ini meraih statusnya sebagai pemimpin bukan melalui turun-temurun, melainkan diaraih atas perilaku, tindakan, dan usaha. Di Papua, seorang pemimpin di sebuah kampung belum tentu dianggap pemimpin di kampung lain.
Dalam sistem noken bigman, warga sepenuhnya menyerahkan pilihan kepada pemimpin sebagai bentuk ketaatan.
Sistem noken gantung
Sementara dalam noken gantung, bigman bersama dengan masyarakat akan melakukan musyawarah atau dialog untuk menentukan bagaimana mereka akan memilih dalam Pemilu. Berdasarkan hasil kesepakatan tersebut, pada hari pemilu, masyarakat akan hadir di tempat pemungutan suara.
Noken-noken kemudian akan digantung di kayu yang telah ditancapkan di tanah—atau bisa juga dikenakan oleh sejumlah individu. Di sini, noken berperan sebagai pengganti kotak suara.
Adapun jumlah noken yang digantung disesuaikan dengan jumlah caleg atau kandidat, dan masing-masing noken mewakili satu calon. Biasanya setiap noken dilengkapi dengan nama dan gambar calon.
Ada beberapa variasi yang dipakai untuk menentukan pilihan. Salah satunya pemilih akan berbaris di hadapan noken yang mewakili calon pilihan mereka, dan petugas KPPS kemudian akan menghitung jumlah mereka.
Atau berdasarkan variasi lain, pemilih akan memasukkan surat suara yang belum dicoblos ke dalam noken yang melambangkan calon pilihan mereka. Petugas KPPS kemudian akan mencoblos surat suara tersebut untuk mereka.
Mengapa dilaksanakan di Papua?
Melansir laman malangkota.bawaslu.go.id, ada tiga alasan yang mendorong mengapa sistem noken dilaksanakan di Papua saat pemilu. Antara lain:
#1 Faktor Geografis
Penyelenggara pemilu seringkali mengalami kesulitan dalam mendistribusikan logistik ke wilayah pedalaman. Hal ini mengingat topografi daerah yang mayoritas bergunung terjal dengan jurang tajam, serta terbatasnya akses transportasi di wilayah tersebut.
Imbasnya, karena logistik seringkali terlambat, pemilu seringkali batal terlaksana dan berdampak pada agenda nasional. Sehingga, sistem noken akhirnya dipakai sebagai cara paling mudah dan ideal.
#2 Sumber Daya Manusia
Sebagian masyarakat di wilayah pegunungan Papua belum tersentuh pendidikan. Oleh karena itu, sistem noken menjadi pertimbangan.
Masyarakat di Papua masih hidup secara tradisional dan belum memahami pemilu konvensional secara maksud, tujuan, dan manfaat pemilu itu sendiri.
Oleh karena itu, masyarakat perlu diarahkan melalui sebuah proses musyawarah bersama mengambil keputusan dalam memilih. Bigman, tetua, atau pimpinan suku dilibatkan dan dijadikan tokoh sentral dalam pemilu mengingat ia jadi orang yang paling dihormati.
#3 Sosial Budaya
Secara sosial budaya, masyarakat di pedalaman Papua menganut sistem politik tradisional yang dikenal dengan bigman atau tetua adat.
Setiap keputusan dalam komunitas dilaksanakan dengan bermusyawarah, dan setiap ide tersebut dikumpulkan menjadi keputusan mutlak dan dinyatakan secara resmi oleh tetua adat mereka.
Dengan demikian, sistem noken pun diadopsi untuk mengakomodasi dan menghormati budaya leluhur tersebut tanpa menghilangkan esensi pemilu.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda