MOJOK.CO – Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, Jumat (30/12/2022) lalu. Perppu ini menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law Ciptaker) yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Dengan keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini diharapkan kepastian hukum bisa terisi dan ini menjadi implementasi dari putusan MK,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Setelah Perppu ini sah ditandatangani presiden, sejumlah kritik pun bermunculan, terutama untuk klaster ketenagakerjaan. Hal ini mengingat secara prosedur, undang-undang ini dibuat secara terburu-buru, penuh malapraktik, dan tanpa melibatkan publik.
Bahkan, secara substansi, Omnibus Law UU Ciptaker juga dianggap terlalu pro-investasi: memanjakan investor dan pengusaha, tapi merugikan buruh. Misalnya, seperti perubahan skema upah, hingga kebijakan terkait jam kerja dan libur.
Di waktu yang sama, bagi para pekerja perempuan, UU Ciptaker juga dianggap memberikan kerugian signifikan. Lantas, apa saja dampak pengesahan Perppu tersebut bagi keberlanjutan para pekerja perempuan di Indonesia?
Anggota Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (Sindikasi) Luviana menjelaskan, ada beberapa impak negatif dari diloloskannya undang-undang sapu jagad tersebut bagi pekerja perempuan.
Secara umum, Luviana menggarisbawahi bahwa substansi UU Ciptaker merugikan semua pekerja, terlepas dari gender apapun. Namun, mengingat posisi perempuan berada di lapisan sosial yang rentan, dampak negatif dari undang-undang ini akan jauh lebih merugikan.
Salah satunya terkait kebijakan untuk memperpanjang waktu kerja dan lembur, serta di saat bersamaan memangkas waktu libur. Sebagaimana diketahui, pekerja perempuan punya peran ganda dalam keluarga: melakukan pekerjaan produksi dan domestik.
Maka, dengan adanya kebijakan tersebut, kata Luviana, waktu dan tenaga perempuan akan benar-benar tereksploitasi. Belum lagi jika perempuan bekerja di sektor informal, yang mana tidak ada kepastian hukum dalam undang-undang tersebut.
Selain itu, ada pula dampak-dampak lain, seperti berubahnya skema perhitungan upah (upah minimum dihapus), cuti panjang dipangkas, PHK dipermudah, dan pesangon dihilangkan.
Akan tetapi, dari semua itu, yang paling merugikan perempuan adalah kebijakan anyar menyoal cuti haid dan cuti melahirkan. Ini menjadi penting mengingat haid dan melahirkan merupakan bawaan biologis perempuan yang tidak mungkin dihilangkan.
“Ketentuan UU Cipta Kerja memang tidak menghilangkan pasal dalam UU No 13 tahun 2003 mengenai cuti haid dan cuti melahirkan,” kata Luviana, dikutip Selasa (3/1/2023).
“Akan tetapi, substansi tentang upah per jam menghilangkan esensi dari cuti haid dan cuti melahirkan karena jika pekerja perempuan menjalani cuti tersebut, otomatis tidak dihitung bekerja, sehingga tidak mendapatkan upah cuti,” tegasnya.
Hal serupa juga disampaikan Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani. Menurutnya, UU Cipta Kerja sama sekali tidak memberi perlindungan hukum pada pekerja migran perempuan Indonesia (PMI).
Padahal, PMI—yang jumlahnya mendominasi—masih berada pada posisi rentan dan kondisi kerja yang buruk di Indonesia. Seperti sulitnya mengakses layanan kesehatan, buruknya kondisi kerja, tingginya angka kekerasan, hingga munculnya rekrutmen ilegal.
“Hal ini disebabkan oleh migrasi tenaga kerja yang cenderung berorientasi pada bisnis dan mengabaikan kepentingan subyek utamanya yaitu pekerja migran itu sendiri,” papar Tiasri.
“Perizinan usaha berbasis resiko, yang diamatkan dalam UU No.11 Tahun 2021 Tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021, secara total mengubah Perizinan Berusaha Berbasi Lisensi P3MI yang diatur dalam UU PPMI,” lanjut Tiasri, menjelaskan mengapa UU Cipta Kerja rentan pada perempuan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi