MOJOK.CO – LSM Perempuan sejak lama telah menjadi wadah bagi kaum perempuan untuk belajar berorganisasi. Tak sampai di situ, sebenarnya ia juga dapat menjadi tempat bagi parpol dalam mendapatkan kader perempuan potensial untuk maju ke tahap politik elektoral. Bagaimana caranya?
Sejak lama, LSM Perempuan telah berperan penting dalam mendorong dan mempersiapkan perempuan sebagai sumber daya potensial untuk bersaing dalam Pemilu. Misalnya, di Indonesia ada Koalisi Perempuan Indonesia, Muslimat NU, hingga Aisyiyah yang siap menempa para perempuan dengan pendidikan politik.
Akan tetapi, menurut survei daring bertajuk Masyarakat Sipil Setara Gender (MSSG) yang terbit di Newsletter Gender dan Politik BRIN, sebanyak 57,81 persen LSM perempuan di Indonesia tidak mempersiapkan perempuan yang menjadi pengurus organisasinya untuk ikut menjadi bakal caleg di tingkat kabupaten, kota, provinsi, maupun nasional pada Pemilu 2024.
Selain itu, sebanyak 51,56 persen LSM lainnya juga tidak mempersiapkan perempuan anggota organisasinya untuk ikut menjadi bakal caleg tingkat manapun di kontes politik lima tahunan tersebut.
Bahkan, ketika ditanya apakah LSM perempuan tersebut membuat program khusus bersama mitra (lembaga nonpemerintah ataupun lembaga pemerintah) dan berlokaborasi dengan partai politik untuk menjaring perempuan bakal caleg, mayoritas menjawab “tidak”.
“64,06 persen menjawab ‘tidak’, dan hanya 29,69 persen yang menjawab ‘iya’,” tulis laporan itu, dikutip Kamis (2/3/2023).
Padahal, LSM bisa lahirkan politisi perempuan ideal
Hasil survei tersebut cukup disayangkan. Hal ini mengingat bahwa melalui LSM, sebenarnya politisi atau calon legislatif perempuan yang ideal dapat muncul. Ideal di sini diartikan sebagai politisi yang punya perspektif perempuan dan kesetaraan gender.
Menurut riset Kurniawati H. Dewi berjudul “Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender and Networks in Post-Suharto Indonesia” (2015), tiga perempuan kepala daerah yang memenangkan pilkada langsung pertama pada 2005, menunjukkan bahwa politikus perempuan yang lahir dari organisasi perempuan, cenderung lebih memiliki perspektif perempuan dan kesetaraan gender dalam kerja-kerja kepemimpinannya.
Selain itu, perempuan dari jejaring LSM juga memiliki kesempatan lebih besar untuk memenangkan pemilu karena mereka dekat dengan akar rumput, seperti kelompok perempuan buruh, perempuan nelayan, perempuan petani, perempuan adat, dan sebagainya.
“Dengan demikian, itu menjadi modal kuat yang biasanya tidak dimiliki oleh caleg yang mengandalkan politik uang maupun yang berasal dari dinasti politik,” sebut Kurniawati.
Meski demikian, berkaca dari Pemilu 2019, menurut Kurniawati justru terjadi perpecahan di kalangan aktivis LSM perempuan di Indonesia. Perpecahan ini terjadi karena para aktivis perempuan jsutru secara terbuka menjadi bagian tim pemenangan kedua calon presiden kala itu, dan pada akhirnya menimbulkan polarisasi politik.
“Ditambah dengan tidak adanya figur yang mampu menyatukan kedua kubu,” tegas peneliti senior BRIN ini.
Apa yang perlu dilakukan?
Supaya perpecahan pada 2019 tidak terjadi lagi, menurut Kurniawati ada tiga hal yang harus dilakukan untuk menghadapi Pemilu 2024 mendatang. Dalam paparannya di The Conversation, upaya pertama adalah konsolidasi nasional LSM perempuan.
LSM perempuan, kata Kurniawati, perlu melakukan sinergi dan konsolidasi nasional guna memperkuat soliditas antarjaringan. Upaya ini, sebaiknya juga difasilitasi oleh lembaga yang netral dan tidak memiliki kepentingan.
Kedua, lanjutnya, LSM perempuan perlu memperkuat kolaborasi dengan partai politik (parpol). Kurniawati menyadari, bahwa memang ada dua jenis keyakinan yang dipegang oleh LSM perempuan terkait interaksi dengan parpol.
Di satu sisi, ada LSM perempuan yang meyakini bahwa bersinergi dengan parpol adalah cara paling efektif untuk mempromosikan kepentingan perempuan, karena perubahan harus dilakukan dari dalam sistem.
Namun, di sisi lain, ada juga LSM yang percaya bahwa perubahan yang sesungguhnya hanya dapat dilakukan dari luar sistem parpol, karena keterlibatan di dalamnya hanya akan melegitimasi dan memperkuat relasi kuasa patriarki.
“Namun demikian, bagaimanapun juga partai politik tetap menjadi pintu masuk utama dalam proses pencalonan kandidat legislatif,” jelas Kurniawati.
Sementara yang ketiga, LSM perempuan bersama dengan parpol perlu menyiapkan dukungan guna membantu kaderisasi perempuan yang memiliki potensi untuk maju ke ranah politik.
“Misalnya, dengan memanfaatkan dana bantuan keuangan partai politik (banpol) untuk program pengembangan potensi perempuan di LSM,” jelasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda