MOJOK.CO – Dalam politik elektoral, biasanya terdapat tiga segmen pemilih. Pertama, pendukung fanatik yang pasti akan memberikan suara mereka ke kandidat tertentu. Kedua, pendukung lawan politik kelompok pertama, yang tidak akan sudi memberikan suara mereka. Ketiga, massa mengambang, yang masih ada potensi menjadi salah satu dari dua kategori tadi.
Kelompok pertama, yakni pendukung fanatik, dalam bahasa politik disebut The Saint. Kelompok ini merupakan massa yang secara tradisional pasti bakal memilih partai tertentu.
Misalnya, di AS para golongan konservatif pasti akan memilih Partai Republik, begitupun sebaliknya. Atau, di Indonesia, masyarakat yang terafiliasi dengan Nahdatul Ulama (NU), misalnya, secara tradisional akan memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) karena alasan kultural.
Sementara kelompok kedua, atau yang “mustahil” memberikan suara mereka, merupakan antitesis dari segmen politik sebelumnya. Dalam bahasa politik, ia disebut The Sinner atau pendosa.
Kelompok ini, karena alasan ideologis maupun kultural dapat dipastikan bakal dihindari partai politik tertentu karena sudah pasti tak akan memberikan suara mereka. Misalnya, secara ideologis kelompok Islam tidak akan memberikan suara mereka pada Partai Komunis.
Atau, secara umum, kelompok kiri Eropa tidak akan memilih kandidat asal partai kanan atau ultranasionalis, begitu juga sebaliknya.
Adapun, kelompok ketiga adalah massa mengambang atau floating mass. Ia seringkali disebut sebagai The Savable, atau “orang yang bisa diselamatkan”.
Secara terminologi, ia diartikan sebagai bagian dari masyarakat yang bukan (belum) jadi pendukung suatu subyek pilihan, tapi bukan pula termasuk dalam golongan putih (golput) yang tidak ikut menentukan suatu pilihan. Biasanya, kelompok ini tidak terikat di partai politik tertentu ataupun ideologi tertentu.
Di Pemilu AS, kelompok ini disebut “swing voters” karena tiap edisi pilpres bisa jadi akan mengubah pilihan politiknya. Kelompok ini, pada akhirnya menjadi rebutan karena selain “masih mungkin untuk dipengaruhi”, jumlahnya juga besar. Bahkan, seringkali menjadi kunci kemenangan dalam pemilu.
Lantas, bagaimana gambaran fenomena ini di Indonesia?
Massa mengambang, awalnya dibidani Suharto
Peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute, Made Supriatma, menyebut bahwa dalam konteks sosio-politik di Indonesia, massa mengambang sebenarnya merupakan warisan Orde Baru.
Made memaparkan, pada awal 1990-an, masyarakat mulai mempertanyakan kapan Suharto akan meletakkan jabatannya. Hal ini mengingat sudah 25 tahun lamanya sang jenderal berkuasa.
Suharto, yang masih ingin berkuasa lebih lama, menanggapinya dengan manuver merangkul kekuatan-kekuatan politik Islam—yang pada dekade sebelumnya ia tindas.
Ia juga menjalankan politik massa-rakyat, yang kata Made, sejak awal berdirinya Orde Baru, corak ini sebenarnya amat dihindari.
“Orde Baru punya pandangan tersendiri terhadap apa yang namanya ‘rakyat.’ Bagi para ideolog Orde Baru, rakyat adalah massa mengambang,” tulis Made.
“Massa ini tidak punya ideologi atau keyakinan, tidak punya imajinasi tentang masa depan,”sambungnya.
Menurut Made, massa ini tidak pernah bisa membayangkan masyarakat macam apa yang hendak dicapai sebagai sebuah bangsa. Massa, ini hanya “membebek” pada apa yang diputuskan oleh pemerintah.
“Mereka tidak boleh melawan. Orde Baru ingin menciptakan masyarakat tanpa perbedaan SARA, tanpa konflik, dan tanpa perdebatan,” paparnya.
Pendeknya, Suharto ingin bikin masyarakat kerdil alias apolitis dengan menjadikan mereka sebagai massa mengambang. Ia ingin memastikan rakyat tidak punya fanatisme politik atau dukungan ke spektrum politik manapun—selain ke pemerintah, namun tetap aktif memberikan suara mereka saat pemilu.
Cerminan hari ini, artis dan massa mengambang
Di seluruh penjuru dunia, dalam menarik massa mengambang, seorang kandidat atau parpol biasanya akan menjanjikan program yang relevan dengan segmen masyarakat tersebut.
Misalnya, ketika AS dilanda ketidakmenentuan krisis ekonomi akibat Covid-19, Donald Trump berjanji akan memprioritaskan pembangunan ekonomi bagi masyarakat Hispanik di AS bagian selatan.
Selama bertahun-tahun, masyarakat di sini—yang merupakan swing voters—menjatuhkan pilihannya ke Partai Liberal. Namun, karena janji manis tersebut, pada Pilpres 2020 lalu mereka memenangkan Trump.
Secara teori, masyarakat mengambang memang sulit digaet menggunakan pendekatan idelogis. Bahkan, menurut penelitian John Street berjudul “Celebrity Politicians” (2004) menyebut bahwa popularitas publik figur-lah yang kerap dipakai untuk mendekati suara massa mengambang.
Hal serupa, juga berlaku di Indonesia. Publik figur, dalam hal ini artis, berada di daftar paling atas untuk menggaet massa mengambang. Daripada rayuan ideologi, program-program parpol, atau perdebatan politik yang menjenuhkan, popularitas artis dianggap jadi cara instan untuk menarik suara massa mengambang.
Parpol, memanfaatkan popularitas artis untuk menarik massa. Langkah pragmatis ini tepat untuk pemilih di Indonesia yang sebagian besar adalah pemilih tidak rasional.
Partai Amanat Nasional (PAN) bisa dibilang jadi parpol paling banyak “memakai jasa artis” ini. Bahkan, nama PAN sempat diplesetkan jadi “Partai Artis Nasional” lantaran ada banyak artis yang jadi kader. Mulai dari Eko Patrio, Desi Ratnasari, Pasha Ungu, hingga terbaru Verrell Bramastha.
Kendati dianggap jalan instan, kehadiran artis sebenarnya juga menunjukkan bahwa parpol telah gagal dalam mengangkat kadernya menjadi tokoh yang populer.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda