MOJOK.CO – Partai Golkar kerap dilanda friksi internal yang berujung pada penggulingan ketua umumnya. Terbaru, Airlangga Hartarto disebut-sebut bakal segera diganti. Lantas, apa sebenarnya yang bikin partai ini kerap mengalami “kudeta”?
Nama Airlangga Hartarto jadi perbincangan akhir-akhir ini. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu, sedang diterpa angin kencang. Mulai dari dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah, desakan bikin poros baru pilpres, hingga isu “kudeta” atas dirinya sebagai ketua umum Partai Golkar.
Namun, berbicara soal pergantian pemimpin Golkar via musyawarah luar bisa (Munaslub), sebenarnya ini bukan hal baru. Sejak reformasi, partai ini memang kerap digoncang friksi internal yang berujung pelengseran ketua umumnya.
Lantas, apa yang sebenarnya bikin Golkar kerap dan rawan mengalami kudeta terhadap ketumnya?
Dominasi ‘nama besar’
Pakar politik UGM Arga Pribadi Imawan menjelaskan, salah satu penyebab mengapa Partai Golkar kerap berganti ketum di tengah jalan adalah karena adanya dominasi nama-nama besar yang berada di internal partai—selain ketua umum itu sendiri.
Sebagaimana yang telah diketahui, jika partai-partai lain cenderung hanya punya satu “raja” dalam diri ketua umum, Golkar justru kebalikannya. Partai ini, memiliki nama besar lain, yang hegemoninya bisa saja melebihi ketum mereka sendiri. Mayoritas dari mereka berlatar belakang pengusaha.
Misalnya, Golkar punya Agung Laksono yang menjabat Ketua Dewan Pakar, Akbar Tandjung (Dewan Kehormatan), Aburizal Bakrie (Dewan Pembina), Ketua MPR Bambang Soesatyo yang menjabat Wakil Ketua Umum, hingga Luhut Binsar Pandjaitan yang saat ini berposisi sebagai Ketua Dewan Penasihat.
Hal ini, tentu jauh berbeda dengan Golkar di era Orde Baru. Saat itu, Golkar terkesan stabil; tak pernah mengganti ketum melalui Munaslub, dan konsisten menempatkan orang kuat berlatar belakang tokoh militer sebagai nahkodanya.
Namun, kata Arga, pergeseran memang terjadi. Khususnya kala dimulainya gelombang Reformasi 1998.
“Pada 1998, ada tuntutan kepada Golkar untuk mengubah wajahnya dengan cara mengganti ketum dari kalangan nonmiliter,” kata Arga kepada Mojok, Rabu (2/8/2023).
“Saat itu pun muncul tokoh reformis sekaligus pengusaha, Akbar Tandjung, yang diangkat sebagai ketum pertama Golkar setelah reformasi dan jadi tonggak baru Golkar. Pola itu pun berlanjut, karena pengusaha lain seperti Jusuf Kalla, ARB, hingga Airlangga bergantian jadi pemimpinnya,” sambungnya.
Halaman selanjutnya…
Suara merosot bikin masalah
Suara merosot bikin masalah
Setelah mereformasi partai, masalah baru justru menghampiri Golkar. Sejak reformasi, partai ini terus mengalami penurunan suara pada tiap pemilu.
Kendati masih termasuk tinggi, kursi yang diperoleh Golkar di parlemen makin menurun. Pada 1999, mereka meraup 29,5 persen suara (120 kursi), presentasenya kemudian terjun bebas menjadi 23,1 persen (2004), 18,9 persen (2009), 16,3 persen (2014), dan 14,8 persen pada 2019 lalu.
Masalah yang sama tiap pemilu inilah yang pada akhirnya bikin anggota partai lain yang punya power kemudian berusaha mengambil alih kepemimpinan. Mereka merasa ketum yang lama telah gagal memimpin partai dan harus diganti, meski masih di tengah jalan.
“Bahkan, mereka sampai mengalami dualisme partai pada 2014 hingga 2016 lalu,” jelas Arga.
Menurutnya, dualisme tersebut merupakan imbas dari banyaknya orang-orang powerfull di tubuh Golkar tadi. Dua “raja” saat itu, Aburizal Bakrie dan Agung Laksono—yang berbeda visi—sama-sama menggelar munas yang akhirnya melahirkan dua Golkar.
Situasi itu sempat redam setelah pengusaha lain, Setyo Novanto, terpilih menjadi ketua umum via Munaslub (lagi). Namun, situasi itu tak bertahan lama karena Setyo Novanto tersandung kasus korupsi e-KTP. Ia pun diganti Airlangga Hartarto melalui Munaslub 2017, yang menjabat ketum hingga hari ini.
Golkar bisa balik ke Orba?
Arga menegaskan, dengan banyaknya desakan para politisi cum pengusaha Golkar untuk melengserkan Airlangga, potensi partai ini kembali era Orba makin besar.
Pasalnya, nama yang santer dihubungkan mengganti Airlangga adalah Luhut Binsar Pandjaitan, pengusaha yang punya latar belakang militer.
“Dalam sejarah pergantian ketum di Golkar, yang paling di luar dugaan itu ya sekarang ini, yang mana ada kemungkinan Golkar mengangkat ketum berlatar belakang TNI,” kata Arga.
“Setelah reformasi, Golkar ‘kan berusaha demokratis dengan membatasi peran militer dalam tubuh partai seperti pada saat Orba. Jika Luhut menjadi ketum, Golkar mungkin sedang gambling karena tak sesuai semangat reformasi,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Menurut 3 Tokoh Ini, Anies Jadi Capres yang Bisa Memajukan Bangsa Indonesia
Cek berita dan artikel lainnya di Google News