MOJOK.CO – Populisme menjadi salah satu istilah yang kerap kita dengar menjelang Pemilu 2019 silam. Populisme ini meskipun sekilas terkesan baik, dalam praktiknya belakangan sering dianggap teman baik politik identitas. Jadi, apa sebenarnya populisme itu?
Sejak terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS pada 2017 lalu, diskursus mengenai populisme menjadi sering dibahas. Trump, yang dianggap sebagai figur rasis, antimuslim, dan xenofobik, justru dipilih untuk memimpin negeri yang jadi “kiblat” demokrasi modern itu.
Alhasil, banyak pakar pun khawatir bahwa gelombang populisme mulai menjangkiti negara-negara Barat. Khusunya di Amerika Serikat dan Eropa.
Apa yang dikhawatirkan para pakar pun memang benar-benar kejadian. Selepas dipilihnya Trump, negara-negara Barat lain menyusul dengan memilih pemimpin-pemimpin populis. Sebut saja Boris Johnson di Inggris, Victor Orban di Hungaria, Jair Bolsonaro di Brazil, hingga di Asia, India memilih pemimpin ultranasionalis Hindu Narendra Modi.
Pemimpin-pemimpin tersebut, pada dasarnya punya banyak kesamaan yang mencirikan karakteristik populisme: cenderung rasis, antipluralitas, xenofobik, dan punya pandangan nasionalisme fanatik alias fasis.
Populisme dan kecenderungannya
Mendefinisikan populisme harus hati-hati dan teliti, karena jika keliru bakal bikin rancu. Secara terminologi, populisme sendiri merujuk pada “paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil”.
Dengan demikian, secara terminologi ia terlihat positif, mengingat populisme menjadi paham yang bertujuan menyejahterakan masyarakat, utamanya rakyat kecil. Namun, dalam ilmu politik, populisme agaknya dilihat sebagai ancaman karena ia bisa menimbulkan perpecahan, polarisasi, dan mengikis nilai-nilai demokrasi.
Pakar politik Belanda Cas Mudde, misalnya, menyebut bahwa populisme punya tendensi memecah belah. Dalam bukunya, Populism: A Very Short Introduction (2017), ia menyebut bahwa populisme punya kecenderungan membagi masyarakat ke dalam dua kelompok: pure people (“kelompok kita” alias “rakyat) dan corrupt elite (penguasa).
Masalahnya, dalam politik modern, pembagian ini amat rancu dan didefinisikan secara sembrono sesuai kemauan tokoh populis. Pun, rakyat juga mendefinisikan para populis biasanya hanya merujuk pada kelompok tertentu saja, seperti berdasarkan agama, etnis, atau ras tertentu.
Pemimpin populis, biasanya punya komitmen secara moral untuk jadi wakil “rakyat yang ia wakili”—pure people yang tadi. Ini bahaya, karena dengan mudahnya, ia bisa mengubah sistem pemerintahan menjadi otoriter dengan mengecualikan orang-orang yang tidak dianggap menjadi bagian dari “rakyat” tersebut.
Ini seperti disampaikan Benjamin Moffit dalam bukunya The Global Rise of Populism (2016), yang menyebut pemimpin populis biasanya memang berperilaku buruk. “Perilaku buruk” di sini, lebih ke sifat-sifat yang antipluralitas, seperti rasis, xenofobik, hingga anti-imigran, karena melihat perbedaan adalah ancaman.
Ini pernah kejadian di era fasisme Partai Nazi Jerman, di mana Adolf Hitler mendefinisikan “rakyat” sebagai ras Arya, yang berarti luar itu “bukan rakyat”. Imbasnya, orang-orang yang tidak dianggap sebagai rakyat harus disingkirkan.
Sementara hari ini, banyak pakar menyebut Donald Trump adalah tokoh populis terbesar abad ke-21. Ini terlihat dari perilaku-perlikaunya, misalnya, di masa kepemimpinannya selalu mengklaim bahwa pendapat yang berseberangan dengannya adalah “musuh besar”.
Bahkan, berita-berita yang berisi kritik ia klaim sebagai fake news. Kebijakan-kebijakannya pun cenderung diskriminatif, seperti anti-imigran, anti terhadap warga kulit berwarna, dan antimuslim.
Populisme bukanlah ideologi
Namun, yang harus dipahami, meskipun terdapat kata “isme”, populisme bukanlah ideologi. Ilmuwan politik Belgia Chantal Mouffe dalam bukunya Populisme Kiri (2018), menyebutkan bahwa populisme bukanlah ideologi dan tidak bisa diatribusikan pada program-program tertentu. Bahkan, ia tidak bisa dibilang rezim. Pendeknya, populisme adalah “corak politik”.
“Populisme adalah cara berpolitik yang bisa mewujud pada pelbagai bentuk ideologi (baik kiri maupun kanan), tergantung pada waktu dan tempatnya,” jelasnya, menegaskan bahwa populisme tak selalu dari ekstrim kanan, tapi juga bisa dari spektrum kiri.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda