MOJOK.CO – Kabar buruk datang dari dunia kerja di Indonesia. Secara tiba-tiba, PHK massal terjadi di dunia startup atau akrab disebut perusahaan rintisan.
Zenius, startup berbasis tech-education dan LinkAja, yang notabene adalah anak usaha dari Telkomsel, melakukan PHK cukup masif di dalam perusahaannya.
Zenius jadi yang cukup terbuka tentang isu sensitif ini. Dalam keterangan resminya, mereka menyebut telah melakukan PHK kepada 25 persen total karyawannya atau sekitar 200an pegawai. Manajemen menyebut, kondisi makro ekonomi yang memburuk jadi alasan utama. Poin utama yang ditekankan Zenius, perusahaan kini mencoba berkonsolidasi dan melakukan sinergi untuk menjamin keberlanjutan atau sustainability.
Alasan tak jauh berbeda juga terjadi di LinkAja. Meski tak blak-blakan merinci berapa jumlah PHK yang dilakukan, mereka menyebut tindakan ini harus diambil karena kebutuhan dan fokus bisnis perusahaan yang mulai berubah.
Jadi sebenarnya, ada apa ini?
Makro ekonomi tengah bergejolak di dunia
Pertama-tama, saya bukan pakar ekonomi. Tapi kalau boleh sedikit berbagi opini dari hal dasar yang sedikit saya pahami, kondisi makro ekonomi yang genting seperti klaim Zenius memang nyata adanya. Kondisi makro ekonomi di global kini terancam dengan adanya inflasi tinggi yang berimbas kepada kenaikan suku bunga.
Startup, yang mayoritas didominasi tech-based company, tentu harus berhitung cermat dan sedikit mengerem cost yang harus dikeluarkan. Salah satu yang krusial, tentu saja memperlambat perekrutan karyawan dan memangkas proyeksi laba ke level paling rendah.
Yang jadi acuan adalah, per 5 Mei 2022, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau akrab disebut The Fed, resmi mengumumkan kenaikan suku bunga sebesar 50 basis poin. Ini kenaikan angka yang cukup agresif, yang dilakukan The Fed sejak terakhir tahun 2000. Dari berita Bloomberg, The Fed menyebut terpaksa menempuh kebijakan ini untuk menetralisir kondisi inflasi di Negeri Paman Sam.
Angka inflasi di AS sendiri memang mengkhawatirkan. Per Maret 2022, kenaikan year on year inflasi di negara yang dipimpin Joe Biden ini mencapai angka 8,4 persen. The Fed menyebut ini adalah angka inflasi tertinggi dalam 41 tahun terakhir, sejak Desember 1981!
Inflasi ini pun sebabnya beragam, tak hanya melulu kondisi dunia pasca-Corona. Yang paling utama, The Fed meyakini bahwa di dunia global saat ini masih banyak ketidakpastian yang mempengaruhi kondisi ekonomi di banyak negara. Salah satu yang paling banyak disorot tentu saja perang Rusia-Ukraina yang menimbulkan tekanan bagi perekonomian AS.
Namun tak hanya di Amerika Serikat saja, ancaman inflasi ini juga memberikan butterfly effect ke dunia usaha di Indonesia.
Efek inflasi berimbas secara langsung di Indonesia
Seperti sudah dijabarkan di atas, inflasi bikin banyak pihak was-was dan jadi penuh perhitungan. Kondisi yang bikin perusahaan rintisan atau startup di Indonesia, mulai bersiap dengan kemungkinan terburuk.
Salah satu kemungkinan terburuk yang bisa terjadi adalah aliran modal dari investor yang akan terganggu bahkan terhenti, karena ketidakpastian ekonomi di kancah global.
Bukan rahasia umum, startup di Indonesia umumnya bergantung pada pendanaan investor luar negeri. Yang jadi soal, beberapa investor kini mulai masuk ke mode wait and see. Modal atau pendanaan mungkin tak sepenuhnya kosong, tapi belum bisa dicairkan untuk pendanaan startup terkait, sementara perusahaan rintisan itu harus tetap jalan dan melanjutkan bisnis demi pertumbuhan.
Kondisi-kondisi ini yang bikin startup lokal, mungkin termasuk Zenius dan sejenisnya, mulai memutar otak. Perusahaan rintisan tak hanya bisa diam dan pasif menanti dana investor. Imbas dari memutar otak itulah, keputusan paling pahit yakni PHK, tak pelak jadi solusi akhir yang diambil.
Penyesuaian bisnis, salah satunya, memang berimbas pada efisiensi. Ini adalah keniscayaan. Apalagi, kondisi pandemi di Indonesia sudah menuju fase relaksasi dan Presiden Joko Widodo beberapa kali menyebut, bersiap menuju endemi.
Perubahan pasca-pandemi inilah yang membuat model bisnis di era pandemi, beberapa di antaranya menjadi tak relevan lagi bagi beberapa startup. Hal seperti ini sejatinya hal biasa di dunia bisnis, karena bisnis selalu coba beradaptasi dengan zaman. Namun, suasana berbeda terjadi di startup karena pergerakan mereka memang cenderung fast-paced dibanding perusahaan lain, sehingga PHK kerap jadi jalan terakhir yang dipilih.
Logika sederhananya begini. Startup acap melakukan rekrutmen dengan masif, terutama di fase awal berdiri. Sayangnya, beberapa startup kadang memang tidak cukup luwes untuk langsung menjadi perusahaan yang berkelanjutan alias sustain. Di era digital, ide kecil bisa jadi cikal bakal berdirinya sebuah startup. Namun, satu yang acap dilupakan, perusahaan rintisan adalah mereka tak hanya harus hidup selama satu sampai tiga tahun, namun juga untuk 10 bahkan 50 tahun. Sustainability memang masih jadi pekerjaan rumah besar untuk dunia startup.
Jadi, apa yang harus kita lakukan sebagai pekerja di situasi seperti ini?
Prinsip standar saya adalah lakukan yang terbaik dan selalu bersiap untuk hal terburuk. Kebetulan, saya juga karyawan swasta… hahaha!
Satu yang utama, perhatikan tabungan, dana darurat, dan arus keuangan pribadi. Di dunia yang tak menentu seperti ini, kurangi sikap konsumtif. Kalau bisa juga, nih, hindari punya tagihan atau utang.
Kedua, tata suasana hati dan tetap bekerja dengan baik. Berita PHK massal ini memang mengerikan. Saya yang nggak terdampak saja, ikut merasakan pedihnya menjadi karyawan yang terkena efisiensi. Namun, bukan berarti kita harus murung dan tidak mood kerja. Meski kondisi penuh ketidakpastian dan ancaman inflasi, namun, beberapa pakar masih melihat aliran modal untuk startup di Indonesia relatif masih aman, meski tak bisa dibilang bakal 100 persen aman sejahtera.
Solusi ketiga dan yang terakhir, bersiap ikut tes CPNS. Tidak ada pekerjaan paling aman dari ancaman PHK selain jadi Pegawai Negeri Sipil. Kalau kamu termasuk yang gentar dengan kondisi tak menentu ini, jadi PNS adalah jalan yang wajib kamu pertimbangkan. Setidaknya, itulah jaring pengaman terbaik di kondisi tak menentu seperti sekarang. Tapi ya balik lagi, masuk jadi PNS itu sama susahnya dengan masuk ke startup yang bonafit dan bergaji tinggi. Rumit!
BACA JUGA Alasan Kebanyakan Orang Tua Pakai Telkomsel dan analisis menarik lainnya di rubrik KONTER.
Penulis: Isidorus Rio Turangga Budi Satria
Editor: Yamadipati Seno