Kita Memang Harus Protes Sama Harga Tiket Pesawat Mahal

tiket pesawat mahal Harga Tes PCR Terbaru Rp275 Ribu, Kenapa Nggak dari Kemarin-kemarin? mojok.co

MOJOK.COYang bilang kalau tiket pesawat mahal itu wajar dan masuk akal untuk jaminan keselamatan mungkin otaknya nggak pernah sampai untuk mikirin kalau murah-mahal itu perihal untung rugi perusahaan, sementara keselamatan, bukan sesuatu yang bisa ditawar-tawar! 

Sahabat Celenger yang gemar ngecek harga tiket pesawat ke tempat piknik, tapi lebih gemar membatalkan beli,

Beberapa waktu ini, selain ribut pemilu yang begitu-begitu saja, energi publik juga tumpah ruah dalam meributkan harga tiket pesawat yang kenaikannya dipandang tidak masuk akal. Kenyamanan angkutan udara dengan harga relatif terjangkau, nyaman dan mendukung mobilitas masyarakat mendadak jadi terganggu dengan kenaikan harga. Kelompok masyarakat paling terdampak pastilah mereka yang karena kesibukannya, melakukan sarapan di kota X, pipis di kota Y, dan tidur di kota Z. Keren banget.

Apa yang sesungguhnya terjadi, benarkah hal tersebut murni dipicu kenaikan bahan bakar pesawat ataukah ada kemungkinan maskapai tertentu berusaha menangguk untung setelah perang tarif memaksa banyak maskapai penyokong  low cost carrier (LCC) banyak yang rontok? Hmmm entahlah. Sering kali kita diharuskan percaya oleh satu faktor (kenaikan avtur), sementara di masa lalu faktor tersebut terjadi dan tidak mengakibatkan lonjakan harga tiket pesawat.

Seorang pejabat pemerintah saat diwawancarai terkait masalah tersebut mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa memaksa maskapai menurunkan harga. Jika dipaksakan turun, justru dikawatirkan akan mengakibatkan turunnya kualitas pelayanan dan kemanan. Ngeri banget.

Di satu masa, jauh sebelum keberadaan taksi sebanyak saat ini, apa lagi model ride sharing seperti Gojek.  Ada seorang ibu yang hendak menggunakan becak sebagai moda transportasi untuk membawa dirinya beserta belanjaan ke rumah. Lazim di masa itu, tawar menawar tak terhindaran lagi.

“Jalan Cinta 5ribu ya, Pak”

“Itu namanya aja Jalan Cinta, Bu. Kalau 5ribu, bagi saya jadi Jalan Derita. 9 ribu deh, selamat sampe tujuan.”

“Ya wis, 6ribu aja. Kalau nggak mau saya pake becak lain aja. Masih banyak yang mau.”

Singkat cerita harga tersebut disepakati dengan rasa jengkel. Pengemudi segera bergegas mengayuh pedal becak sekuat dia mampu. Biar cepat selesai segala urusan. Masalah terjadi kemudian saat si ibu histeris ketakutan mendapati becaknya melaju begitu cepat.

“Pak… Pak… pelan saja. Pak pleaseee… saya pingin selamat. Bulan depan saya mantuuuu!”

“Bayar 6ribu saja kok minta selamat, Bu”

Itu anekdot sangat terkenal di masa itu. Apa yang disampaikan pejabat pemerintah di atas, terkandung, kurang lebih sama dengan yang disampaikan pengemudi becak. Murah kok minta selamat. Padahal logikanya, murah itu kaitannya dengan untung dan rugi. Sementara keselamatan, merupakan harga yang tidak bisa ditawar. Keliru persepsi bahwa maskapai bisa menyelenggarakan penerbangan murah, karena memangkas biasa keselamatan.

Ambil contoh Lion. Maskapai tersebut menjadi pemain utama penerbangan dengan biaya rendah karena memangkas sekian item biaya operasional. Standar kebutuhan eksklusif dimana dulu sifatnya “wajib ada”: penyediaan katering, koran, hiburan (in flight entertainment), kelimpahan bagasi, dan lainnya tidak saja dipangkas tapi dihilangkan. Begitu biaya tersebut dibongkar, harga tiket menjadi sangat kompetitif dengan moda angkutan udara.

Dalam satu dekade ini, “nuansa monopoli” oleh Lion seperti sudah tercipta. Seberapa buruk layanan Lion menurut kita, dan seribu janji diucapkan untuk tidak menggunakan Lion saat terkendala layanan di lapangan, tetap saja di kesempatan berikutnya mengunakan maskapai tersebut. Lion selalu memberikan banyak pilihan waktu dan harga yang relatif lebih murah dari maskapai berbiaya rendah lainnya.

Tidaklah mengherankan kalau pada akhirnya Lion memenangi pertarungan dan berdiri sejajar dengan Garuda untuk menciptakan duopoli. Sangat mungkin pertarungan tarif satu dekade ini sangat melelahkan dan membuang banyak potensi keuntungan. Begitu harga naik dari 40% hingga kisaran 120%, sudah tidak ada lagi pesaing.

Prinsip, untung tipis tapi jumlah penumpangnya banyak seperti hendak dieliminasi. Padahal itu yang membuat mereka dulu berjaya.  Slogan yang dikembangkan pun ngena banget. We Make (poor) People Fly. Hahaha soal poor tambahan saja. Tapi itu lumayan serius. Naik pesawat bukan lagi milik kaum bangsawan lagi. Kaum sudra dengan sandal jepit dan tidak harus wangi pun bebas melenggang masuk.

Dulu, sebelum kehadiran LCC, bepergian jauh banyak ditangguhkan karena moda angkutan udara terhitung sangat mahal jika dibandingkan dengan moda angkutan darat dan laut. Sementara jika menggunakan bus, kereta atau kapal laut, tahan bayarnya tapi belum tentu dengan daya tahan tubuh dan pikirannya. Kisah perantau yang puluhan tahun tidak mudik jauh melebihi Bang Thoyib tak terhitung jumlahnya.

Cerita mudik 3 hari 3 malam oleh mahasiswa perantauan di pulau Jawa, hingga tahun 1990an bukanlah cerita istimewa. Itu biasa sekali. Tidak sedikit yang harus menyediakan waktu satu minggu atau bahkan lebih untuk sampai di kampung halamannya di daerah yang namanya susah untuk diucapkan kembali. Saking nestapanya selama perjalanan, ada saja mahasiswa yang telat kembali ke kampus untuk mengurus kuliah, hingga berakibat sejumlah mata kuliah didrop pihak fakultas karena telat mengurus Kartu Rencana Studi (KRS).

Saya yang penduduk asli saja mules membayangkannya lamanya perjalanan mahasiswa perantauan jika mudik. Coba pikirkan, mau melakukan apa saja selama di perjalanan, ngobrol? 30 menit juga semua bahan sudah selesai dibahas. Tebak-tebakan? Sumpah, itu bisa kesel sendiri nantinya.

Sebelum tidur melihat dia, bangun tidur wajah kita saling menatap. Cieee. Begitu terus hingga satu minggu. So sweet banget kalau kemudian tumbuh benih-benih cinta selama di atas bus dan kapal. Lha kalo malah tumbuh benih-benih benci dan dendam karena kepalanya tergolek di pundak kita dalam keadaan ngiler dan ngorok?

Masih maksain mau bilang, “You’re so damn cool?”

Hal yang paling mengherankan di era keterbukaan ini sebenarnya justru munculnya banyak buzzer gratisan yang mengatakan kalau situasi yang terjadi saat ini situasi normal. “Mahal untuk angkutan udara itu wajar dan masuk akal, Bro dan Sis. LCC memang disruptif, sekilas keren tetapi bisa jadi mengorbankan keselamatan kita.”

Mereka ini yang menggerogoti pikiran kritis masyarakat dan mengabaikan fakta bahwa LCC turut memajukan perekonomian nasional dengan cara meningkatkan mobilitas penduduk dalam melakukan kegiatan ekonominya. Secara data pun selama beberapa bulan ini jumlah penumpang menunjukkan penurunan. Di awal tahun BPS mencatat ada penurunan penumpang sebanyak 13%.

Dampak ikutannya pun melebar kemana-mana. Turunnya jumlah penumpang mengakibatkan jumlah kunjungan wisatawan ke daerah turun, turunnya wisatawan sudah berimbas pada turunnya juga jumlah hunian maupun belanja wisatawan. Juga turunnya jumlah barang karena masyarakat mengirit jumlah bagasi. Nilainya berapa? Perlu studi khusus untuk menghitungnya. Tapi satu yang pasti, negara lebih dirugikan dibandingkan maskapainya yang masih mendapatkan untung.

“Makanya nabung, biar bisa beli tiket di masa-masa sulit begini”

Aduh. Begini, harga tiket pesawat merupakan kebutuhan harian penduduk di sebuah negara. Ingat, tidak semua hal bisa dijangkau dengan tol dan jaraknya pendek. Juga bukan pengeluaran yang sifatnya insidentil: liburan, undangan, melawat yang mau tidak mau harus diambil. Beragam keperluan mobilitas yang menggerakkan kegiatan perekonomian lebih perlu diperhatikan.

“Ingat, harga berbanding lurus dengan keselamatan. Pesawat bukanlah seperti angkot yang jika kehabisan bensin cuma mogok di jalan”

Hmmm, tambah disudutkan masyarakat tambah berpikir ada hal yang tidak beres. Harga tiket tujuan luar negeri dibandingkan tujuan domestik dengan jarak dan waktu tempuh kurang lebih sama, jauh lebih murah. Mengapa bisa begitu? Karena mereka harus menghadapi pesaingnya, maskapai luar negeri yang ternyata mampu memberikan harga jauh lebih murah.

Nalar tersebut yang dianggap mencederai konsumen. Apalagi janji koreksi harga yang menjanjikan penurunan harga sekian belas persen. Sungguh mekanisme yang poco-poco. Dinaikkan puluhan hingga seratus persen, kemudian cukup diturunkan sekian belas persen.

Ingatlah juga wahai para pembuat kebijakan, kembali normalnya harga tiket akan membuat rasa kangen para pejuang LDR tidak jamuran di perjalanan karena beralihnya mereka ke moda angkutan yang lebih lambat dan lama. Eaaa.

Exit mobile version