MOJOK.CO – Zaman sekarang perempuan punya kesempatan yang sama dengan laki-laki. Ini bukan soal siapa yang menang atau kalah, tapi, kalau ada lelaki masih bimbang menikah perempuan yang punya karier dan gaji lebih besar, mereka harus gimana?
Sahabat Celengers yang ingin segera menikah tapi terganjal dengan masalah prinsip bahwa laki-laki tidak boleh kalah dengan perempuan,
Tidak sedikit lelaki yang mengurungkan niatnya menikahi perempuan dengan alasan kalah pintar, kalah sukses dalam karir, penghasilannya kalah besar, dan kalah berat badan. Jika tiga alasan pertama merupakan bentuk ketidakpedean, satu alasan terakhir merupakan body shaming. Jangan ya, itu jauh lebih keji dari alasan minder karena kalah penghasilan misalnya.
Ada yang seperti itu? Banyak! Di Indonesia setidaknya ada 90 juta penduduk berusia milenial. Kalau mengacu ke persentase jumlah penduduk laki-laki terhadap total penduduk, dari jumlah tersebut kurang lebih ada 45,2 juta laki-laki milenial. Isi kepalanya tentu macam-macam. Ada yang memasalahkan “kekalahan” terhadap perempuan, ada yang pura-pura tidak memasalahkan, ada yang diam-diam memasalahkan dan tentu saja ada yang tidak memasalahkan hal tersebut.
Disclaimer, ini tidak hendak mempertentangkan budaya dengan dengan ideologi, tidak mempersoalkan salah benar, dan sudah barang tentu tidak ada kepentingan memberikan gambaran mana yang lebih menjamin kebahagiaan. Ini penting saya tekankan agar tidak dimusuhi orang-orang dengan pandangan tertentu karena dianggap mengabaikan hal-hal yang hidup dalam pemahaman agama maupun budaya. Hahaha pokoknya begitu.
Yuk, sebelum kita memulai pembahasan lebih lanjut persoalan “kalah-mengalah” yang sudah menjadi klasik tersebut kita senandungkan bait-bait awal dari Beyonce. Satu lagu perlawanan yang bisa dianggap mewakili kaum perempuan sedunia terhadap jegalan-jegalan para lelaki yang tidak menginginkan perempuan berkembang. Tolong jangan bilang “nggak tau”, “Aku kan vianisty”, “sorry aku tidak suka budaya barat”, “takut dosa” dan seterusnya.
Malu sama kuota kalau cuma digunakan untuk chat, “Ay sudah makan apa belum? Oh sudah… lauknya apa? Hah Tempe, wah kurangi dong, itung-itung bantu pemerintah mengurangi impor.” Dan obrolan membosankan lainnya yang tidak membuat nilai tambah kita terkatrol. Udah gede juga, makan pakai lauk apa ditanyain. Ya ga masalah sih kalau hubungan baru berumur sehari.
Komunikasi penting, tetapi jangan semonoton itu. Sesekali buka chanel youtube dengan kualitas vevo, simak liriknya, hayati dan tentu saja nikmati juga pesona Beyonce yang terasa maskulin saat menyanyikan lagu tersebut. Kemudian membahasnya bersama pasangan. Sampai sejauh mana cinta tidak terjegal oleh urusan materi.
Girls, we run this motha, yeah!
Who run the world? Girls!
Girls, we run this motha, yeah!
Who run the world? Girls!
“Perang besar” antara perempuan dan laki-laki terkait gender rasanya tidak akan pernah selesai dengan mudah. Sungguh pun Maria telah mengatasi segala rintangan untuk melahirkan Yesus, Khadijah telah berkorban besar untuk kemuliaan Muhammad, Srikandi mengubah jalannya perang dalam epos Mahabarata, dan Susi Pujiastuti menenggelamkan kapal-kapal yang secara ilegal memasuki perairan Indonesia. Tidak kemudian cara pandang berubah.
Ini belum ngomongin Malala Yousafzai, seorang anak yang bertahun lalu di usianya yang ke sebelas sudah berani menyuarakan hak pendidikan bagi anak, terutama perempuan. Satu sikap yang membuatnya diganjar timah panas oleh Taliban, rezim yang berkuasa saat itu. Dia memang terkapar, tetapi tidak tumbang dan semangatnya mengilhami banyak orang di seluruh dunia.
Sederet contoh di atas tetap saja membuat sebagian laki-laki bergeming. Kebangkitan perempuan dianggap sebagian laki-laki sebagai gangguan terhadap dominasi mereka yang telah dilanggenggkan dalam kurun waktu ribuan tahun. Laju perempuan untuk berbuat lebih di luar urusan domestik sering sekali tertahan. Bahkan sejak mereka belum menjalin ikatan partnership bernama pernikahan.
Ini belum membahas semakin banyaknya perempuan yang sentimen terhadap perempuan lain yang bekerja!
Ada satu jargon yang menarik women support women. Itu jangan diartikan perempuan bekerja menghendaki perempuan lainnya juga harus bekerja di luar rumah. Bukan juga mempermasalahkan mana yang lebih baik, bekerja atau menjadi ibu rumah tangga penuh. Sama sekali bukan seperti itu.
Jakarta, kota terkeras di negeri ini menjadi saksi banyak kebangkitan para perempuan. Sekali lagi ini bukan soal perempuan bekerja ataupun tidak. Rata-rata pekerja perempuan, mengandalkan pekerja perempuan lain untuk urusan pekerjaan rumah tangga sehari-hari.
Para perempuan yang bekerja di rumah menyemangati sesamanya yang berjibaku di luar rumah untuk bekerja. Bukan sebaliknya, menganggap negatif para perempuan pekerja. Karena tidak semua perempuan memiliki pilihan yang sama.
Apakah cukup, peran perempuan selama ini hanya dihargai dengan satu frasa, “dibalik kesuksesan lelaki, ada perempuan hebat yang mendukungnya”. Rasanya itu lebih tepat disebut olok-olok daripada pujian.
Di banyak mitologi yang berserak sepanjang usia peradaban. Bumi “digenderkan” sebagai perempuan. Mengapa bumi? Karena bumi dipersepsikan hanya sebagai penerima saja, pasif. Kalaupun bumi (perempuan) menjadi subur, itu karena ada hujan dari angkasa (laki-laki). Begitu pula saat dihadapkan pada ketiadaan matahari (laki-laki), secara keilmuan dipastikan tidak ada lagi kehidupan di bumi.
Lupa bahwa dibalik gemulai perempuan tersimpan kekuatan istimewa untuk memberikan terang dalam gelap, hangat dalam dingin, dan mengonversi kemustahilan menjadi kenyataan. Walaupun nampak lemah, mereka tidak akan pernah goyah. Walaupun mudah menitikkan air mata, mereka selalu dapat menyuguhkan perlawanan paling sengit.
Maka teriakan Beyonce, “Girls, we run this motha, yeah!” kalau semakin terdengar nyaring, bertenaga, dan tak tertahankan, sekedar memutar ingatan para lelaki kalau gender tidak ada kaitannya dengan konsekuensi yang dikotak-kotakkan. Kalau pun dibedakan semata untuk urusan pergi ke toilet saja. Tidak lebih.
Ada dua hal yang dapat dijadikan pijakan bagaimana seharusnya laki-laki mau dan mampu menjadikan perempuan sebagai pasangan hidupnya tanpa mempermasalahkan penghasilannya kalah besar, emansipasi dan kesempatan karir.
Emansipasi
Emansipasi sudah dilantangkan sejak lama, rasanya tujuan yang diperjuangkan sekian lama tinggal menuai hasil. Mulai banyak perempuan yang tidak saja mengepalai unit kerja, tetapi juga perusahaan. Namun dalam beberapa tahun ini, banyak perempuan yang berprestasi di dunia kerja justru banyak yang memilih resign. Alasan untuk lebih memperhatikan keluarga bisa diterima dengan nalar, alasan untuk mendidik anaknya secara lebih intensif sangat beralasan, tetapi tidak sedikit juga karena himbauan suami untuk tidak berkarir.
Jangankan mengurus anak setelah pulang kerja. Perempuan yang langsung kerja setelah melahirkan pun bukan pemandangan yang langka di negeri ini. Dalam satu rumah tangga, juga bukan hal yang aneh kalau perempuan, seorang ibu, merupakan orang yang istirahatnya paling sedikit dan bangunnya pun paling awal.
Kesempatan Karier
Tidak sedikit orang yang menyadari bahwa hidup di kota besar dengan banyak kebutuhan kalau ibarat mengendarai mobil harus menggunakan yang berpenggerak dua roda atau dobel gardan. Suami istri, keduanya sama-sama mencari nafkah. Model pasangan seperti itu lebih mudah beradaptasi dengan keadaan. Jika di tengah perjalanan istri lebih mempunyai kesempatan untuk maju, maka mendukungnya bukanlah sebentuk kejahatan, bahkan kewajiban.
Terpenting, berumah tangga itu soal menahan ego tanpa menanggalkan rasionalitas. Seorang suami yang tidak ingin istrinya bekerja di luar rumah, harus menjamin kebutuhan istri secara proporsional; tau harga kebutuhan sehari-hari, tau beragam pengeluaran bulanan dan tentu saja tau kebutuhan standar seorang perempuan milenial. Misal lagi nonton drakor, jangan disuruh membuatkan indomie, kalau perlu malah dibuatkan. Juga tambah pijit kaki hingga punggung, biar nontonnya tambah kuat.
“Om, kan penghasilanku lebih besar dari calon suami yang aku cintai. Sementara dia hanya mau menikahi aku kalau aku keluar atau pindah ke perusahaan yang aku bisa kerja lebih santai dengan penghasilan lebih kecil. Gimana ya?
“Cari pasangan yang mau menerima segala kelebihan dan kekuranganmu. Itu syarat bahagia. Cinta versi kamu hanya akan membawa kepedihan yang memilukan”
Perempuan dengan penghasilan lebih besar sebenarnya mempunyai banyak kelebihan dibandingkan laki-laki. Pertama, tidak sepelit laki-laki yang penghasilannya lebih besar. Secara alamiah memang seperti itu. Bandingkan dengan tengilnya laki-laki jika dimintai uang oleh istrinya, “Loh, 150 ribu untuk belanja ke warung kemarin sudah habis? Boros banget!”
Kedua, cenderung berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri. Mereka tau kelebihan uangnya dipergunakan untuk apa saja setelah semuanya tercukupi. Tidak perlu merengek-rengek ke suaminya untuk membeli tas, gadget, dan lainnya.
Sekarang bola panas di tangan perempuan. Mereka yang lebih tepat memutuskan, lanjut atau tidak dengan pacar-pacarnya yang nanggung dalam memahami kemajuan peradaban. Tidak sedikit laki-laki yang berubah perangai setelah menikah. Dari semula mengijinkan bekerja jadi memaksanya untuk berhenti kerja. Semula mendukung karirnya, jadi sering melakukan sabotase pekerjaan istrinya.
“Mah, barusan CNN memberitakan kalau Jl Thamrin ditutup seminggu karena banjir. Jaringan komunikasi lumpuh. Semua kantor diliburkan”
Huuu… kayak nggak bisa dicek di WAG aja!