MOJOK.CO – Menjelaskan kondisi ekonomi keluarga ke anak sebetulnya tidak sesulit yang kamu bayangkan. Bahkan kalau kamu pernah jatuh miskin.
Dari data yang ada, hampir 60% generasi milenial belum menikah. Kalian yang belum menikah boleh bernapas lega. Setidaknya, kalau dikejar-kejar orang tua masih bisa beralasan masih banyak teman yang belum menikah. Sayangnya, data tersebut saya ambil dari riset yang diselenggarakan lembaga survei Gallup. Artinya, tidak terjadi di Indonesia.
Eh, tapi bisa saja di Indonesia tinggal 30% saja lho yang belum menikah (tidak ada data resmi untuk mendukung pendapat ini). Eh, ini jangan disalahpahami sebagai perundungan terhadap jomblo milenial agar pada khawatir karena belum menikah. Soal menikah atau tidak itu murni pilihan yang sebenarnya tidak perlu dibahas di berbagai kesempatan!
Termasuk kalau alasannya, “Aku nggak akan pernah ena-ena meniqa. Belum bisa move on dari senyumnya yang membuat kakiku lemas.” Itu saking pacarnya keren apa pacaran sama tukang gendam, sih?
Namun, di balik persentase di atas, ada beberapa fakta penting yang dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan meningkat. Adanya kecenderungan para milenial yang menunda pernikahan. Takut miskin? Takut nggak kuat menyangga ekonomi keluarga?
Apa saja yang membuat mereka memutuskan menunda pernikahan?
Faktor Ekonomi
Milenial cenderung tidak bisa begitu saja menerima pernyataan, “Jika menikah, Tuhan akan menggenapkan dan menjamin ekonomi keluarga kita. Tidak perlu khawatir.” Semakin maju pendidikan, semakin besar penghasilan, justru membuat mereka semakin khawatir stabilitas ekonomi keluarga terancam. Dalam benak mereka, menikah identik dengan besaran tabungan, utang, jatuh miskin, segera punya rumah, kendaraan, dan asuransi anak.
Halah, bilang saja takut. Dalam praktiknya, menikah justru mengggandakan kekuatan ekonomi keluarga, kok. Dengan catatan, kalian bukan tipikal yang menghalangi karier pasangan, apalagi sampai meminta istrinya untuk tidak bekerja lagi, sementara situasi ekonomi keluarga masih morat-marit.
“Honey, sebaiknya kamu tidak perlu nyanyi lagi. Selain udara malam tidak terlalu bagus untukmu, kita tengah punya program segera punya anak. Cukuplah suaramu untuk membiusku di rumah.”
Selanjutnya, ada anggapan bahwa lembaga pernikahan akan membatasi ruang gerak bagi mereka yang ingin mengembangkan karier, melakukan travelling, dan mencapai derajat tertinggi dalam bidang akademik. Ini sebenarnya alasan yang jauh lebih tidak bermutu ketimbang alasan ekonomi. Banyak contoh pasangan yang sukses mengompromikan rencana-rencana yang mereka miliki setelah menikah.
Orang yang berpendidikan maju mempunyai akses beasiswa untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Setidaknya 3 hal diperoleh; rencana travelling terpenuhi, pendidikan dapat, dan pengalaman bekerja. Jangan bosan kalau nama Iqbal Aji Daryono saya ajukan untuk contoh. Istrinya sekolah doktoral di Perth, Australia, dia bekerja sebagai sopir truk dengan gaji besar, anaknya mendapat pendidikan yang sangat bagus.
Contoh lain? Banyak! Tapi kan hanya dia yang memenuhi syarat dikenal, pasrah, dan bahagia saat di-bully.
Jadi kalau ditimbang ulang, menikah lebih menitikberatkan kesiapan mental dibanding pusing mikirin ekonomi keluarga atau takut jatuh miskin. Semakin ditunda, kesiapan mentalmu justru perlu semakin lama dibentuk. Data yang dilansir BPS dalam Statistik Pemuda Indonesia memperkuat hal tersebut. Sekitar 80% perkawinan terjadi sebelum umur 25 tahun.
Nah, bagaimana kalau setelah memutuskan berani menikah, semua yang dikhawatirkan terjadi? Anak sudah mulai besar, kebutuhan mereka terus bertambah, dan kondisi ekonomi keluarga tengah memburuk. Sementara itu, usaha-usaha untuk menghindari jatuh miskin dan mencari tambahan pendapatan sudah dilakoni.
Ekonomi keluarga tengah minus
Ini bukan soal menambal kebutuhan dengan mencari tambahan penghasilan, tetapi sikap orang tua kepada anak saat ekonomi keluarga memburuk. Orang tua bisa saja berlaku seolah-olah tidak terjadi sesuatu. Orang tua punya pertimbangan supaya konsentrasi anak tidak teralihkan. Namun, terbuka kepada anak justru mengajarkan banyak hal.
Menengok media sosial, banyak beredar video seorang single parent (laki-laki) yang berpura-pura pekerjaannya baik-baik saja agar anaknya tenang belajar. Padahal, dia sudah kena PHK dan untuk memperbaiki ekonomi keluarga, harus banting tulang menjadi kuli, tukang becak, dan pekerjaan kasar lain.
Kalau dari perspektif drakor, apa yang dilakukan laki-laki tersebut keren dan menguras air mata. Ayah bangsa banget pokoknya.
Iya kalau anaknya penuh pengertian, atau sesenggukan menangis haru setelah mengetahui ayahnya bekerja keras untuk kemuliaan hidupnya. Bagaimana kalau anak tersebut tipikal durhaka yang tidak mau tahu kerepotan orang tua?
“Loh, nggak punya uang ya cari, lah, Yah! Terserah mau mbecak apa utang. Itu kan sudah kewajiban Ayah; bekerja dan mencukupi kebutuhanku. Hakku menerima uangnya. Udah nggak usah nangis gitu. Kerja, kerja, kerja!”
Literasi finansial untuk anak
Adagium yang berlaku dalam hal pengeluaran rumah tangga: lebih mudah hidup boros setelah pendapatan naik, daripada hidup sederhana setelah penghasilan melorot. Begitulah, menaikkan gaya hidup tidak sesulit menurunkan gaya hidup. Tetapi tidak berarti itu dapat kita lewati dengan mudah. Sekilas sepele tetapi dapat kita atasi dengan membangun komunikasi yang baik dengan anak.
Delapan tahun yang lalu, ekonomi keluarga saya pernah memburuk. Istri ulang tahun, sementara sudah jadi kebiasaan kami untuk memberikan hadiah. Uang yang ada hanya cukup untuk membeli hadiah kecil. Saya ingat betul waktu itu hanya cukup untuk beli daster dan bungkus kado.
Saat pramuniaga sedang membungkus kado, Sheryl, anak perempuan saya, menarik saya ke counter mainan di supermarket kecil tersebut. Rupanya dia minta dibeliin mainan yang harganya sebenarnya murah. Saya hanya mampu lirih berkata.
“Dek, kalau uangnya untuk beli mainan, takut nanti uangnya kurang. Nggak cukup uang untuk beli bensin dan makanan. Motornya mogok. Trus kita jalan kaki deh pulangnya. Mau?”
Saya mengira dia akan rewel. Kalau terjadi pun saya kira wajar, namanya juga anak-anak. Tinggal usaha kita untuk memberikan pengertian. Saya sama sekali tidak menyangka kalau dia akan menjawab dengan senyum lucu dan bersuara dengan kekuatan penuh.
“OHHH BAPAK SEDANG NGGAK PUNYA UANG YAAA? TABUNGANNYA HABIS YAAA? KOK BISA? YA SUDAH… BELI MAINANNYA BESOK SAJA KALO BAPAK SUDAH DIKASIH UANG SAMA PAK MOKO.”
Hahaha, Pak Moko itu nama bos saya dulu. Sheryl tahu beliau yang menggaji saya, tetapi tidak cukup tahu dengan kondisi kantor kami yang tengah memburuk. Jelas saya tidak berani menatap sekeliling setelah suara nyaring bidadari kecil itu terlontar. Malu sudah pasti, tapi di saat yang sama juga senang. Anak-anak, pada dasarnya, bisa diberi pengertian kalau cari uang itu tidak semudah yang mereka duga.
Berikutnya, walaupun keadaan ekonomi keluarga tengah membaik, biasakan untuk memenuhi permintaan anak yang terhitung mahal dalam wujud reward. Mereka hanya akan mendapatkan barang yang diinginkan setelah menunjukkan prestasi. Selain untuk mendidik, kita juga punya napas panjang untuk memenuhinya. Jangan seolah-olah lagi miskin terus untuk ngirit setelah ekonomi keluarga pernah memburuk.
Anak laki-laki saya, Roman, tahun ini masuk SMA. Sudah sejak tahun lalu dia minta dibelikan gitar bass yang kalau dilihat di tokonya ada di kisaran harga 16 juta rupiah. Kami hanya akan membelikan kalau nilai ujian nasional rata-rata 9 dan masuk SMA negeri. Jika berhasil masuk sekolah negeri, sama artinya dia yang membeli sendiri gitar tersebut. Ya dong, kan sekolahnya gratis.
Terus sudah dibeliin dong? Hahaha ya belum. Eh, kok ya kebetulan hari raya Qurban sudah di ambang pintu. Sebagai makhluk ekonomi yang sungguh kafah, maka alasan kami selanjutnya, “Roman, bass-nya untuk beli kambing seekor dua ekor dulu ya. Tahan sebulan lagi. Kuatlah, nahan setahun aja kuat kok…”
Kalau seumpama sampai hari H ada keperluan lain lagi, maka alasan kita buat lebih canggih dikit. “Kamu tau nggak, Nak, anaknya Bill Gates dan Warren Buffet itu minta gitar bass nggak dibeliin loh!”
Lama-lama anaknya akan jengkel dan menjawab, “Iya, gitarnyanya nggak dibeliin. Tapi pabriknya yang dibeli.”