[MOJOK.CO] “Kecuali di terminal, bahkan hafal Al-Quran dan hadis pun belum bisa membuat seseorang pantas bergelar ustad.”
Pasti terasa ada yang janggal jika kamu biasa dipanggil “Cak” kok tiba-tiba ada yang memanggilmu “Tad”. Begitu pula jika biasa dipanggu “Su” (diambil dari suku kata depan nama) lalu ada orang yang memanggilmu “No” (diambil dari bagian akhir) meskipun ada juga yang ambil bagian di tengahnya: “Tris”. Dan panggilan ustad itu sekarang sungguh merajalela.
Tokoh-tokoh yang punya dan mengasuh pondok pesantren di Madura pun, yang biasa dipanggil kiai atau lora, tidak luput jadi “korbannya”. Begitu pula yang disebut guru di Banjar atau tuan guru di Lombok, pasti juga mengalami hal serupa. Kalau perubahan seperti ini terjadi begitu masif dan cepat seperti ini, rasanya kok saya curiga perubahan penyebutan ini adalah sebuah proyek raksasa, proyek besar dalam berbahasa, dan politis.
Yang suka melakukan seperti ini biasanya orang-orang media, televisi tepatnya. Saya biasa mendengar sebutan ustad sebagai ganti tokoh agama itu ya di televisi. Dulu… sewaktu tivinya belum dilego. Di tempat saya, ustad itu padanan kata bagi guru (agama). Namun, kalau ada protes, protesnya mau dilancarkan untuk siapa? Sulit.
Bahasa berubah karena masyarakatnya setuju untuk diubah. Bahasa pun bisa punah karena masyarakatnya setuju untuk itu. Salah satu penyebab kepunahan bahasa adalah selera masyarakatnya yang gemar melecehkan martabat kepenyairan, bukan karena mereka menyepelekan balai atau badan bahasanya.
Dulu, bahasa Arab dan bahasa Suryani itu hidup bersama. Namun, karena penyair sangat dihargai di Arab dan tidak begitu di masyarakat pengguna bahasa Suryani (mungkin juga Ibrani), maka bahasa Suryani kini nyaris punah pemakainya. Sering hanya digunakan untuk menulis rajah dan azimat.
Hilangnya penghargaan itu, salah satunya, karena penghargaan terhadap makna suatu kata tidak digunakan secara tepat bahkan ngawur. Contohnya ya ustad ini.
Di terminal, misalnya, makelar punya kecepatan mengidentifikasi calon penumpang berdasarkan busananya. Acap mereka memanggil dengan sebutan yang menyiratkan keakraban, sekiranya pas karena dianggap tepat. Orang-orang pasar juga punya keahlian serupa, tukang becak dan penjual, katakanlah. Intinya, di banyak tempat umum, pengalaman dalam mengidentifikasi cepat seperti ini mudah ditemukan.
Jika ada seorang berusia 40 atau 50-an dan mengenakan peci haji, ia akan disapa dengan “Mau ke mana, Pak Haji?” (di terminal) dan atau “Cari apa, Pak Haji?” (di pasar). Tentu, makelar dan pedagang tidak perlu melakukan wawancara lebih dulu apakah orang yang melintas tersebut sudah menunaikan ibadah haji atau belum. Mereka hanya memindai secara cepat terhadap salah satu simbol busananya; peci atau jubah atau serban yang dikenakan.
Adanya sinetron, film, juga media sosial yang menokohkan seseorang yang (kelihatan seperti) ahli dalam agama berdasarkan busananya membuat definisi ustad meluas. Jika ada orang yang kalau ngomong sebentar-sebentar membumbui ucapannya dengan bahasa Arab dan atau kutipan hadits, akan dengan mudah disebut ustad oleh sekelompok orang tertentu. Memang, penggunaan panggilan atau sebutan macam ini bukan hal yang salah. Akan tetapi, apa benar ia seorang ustad, seorang ahli, seorang pakar (di bidangnya)?
Kita maklum, karena nongol belakangan, bahasa Indonesia mengunduh kosakata dan lema dari bahasa berbagai bangsa. Yang paling banyak tentu dari bahasa daerah, bahasa serumpun, dan dari bahasa Arab (karena faktor kitab dan penyebaran Islam), juga dari bahasa Belanda (karena unsur penjajahan yang lama), dan tentu saja, yang terakhir dari bahasa Inggris (karena penggunaan istilah-istilah mutakhir/teknologi). Dalam proses itu, terjadi pergesaran makna: baik menyempit, meluas, bahkan menyimpang.
Di sini saya akan membicarakan lema yang berasal dari Bahasa Arab saja agar tidak kebablasan ngomong ke mana-mana. Sebut saja satu contoh: amal. Kata amal mengalami penyempitan. Arti asal amal adalah ‘berbuat/perbuatan’, tapi kini disempitkan hanya untuk perbuatan baik. Jika ditulis, “Umumnya maling beramal di malam hari,” jadi wagu kan?
Yang maknanya meluas juga ada dan inilah yang sedang kita bicarakan. Sebut contoh: ustad. Di Indonesia khususnya, makna kata ustad telah meluas, bahkan nyaris salah kaprah. Mestinya, sebutan ustad itu istimewa karena ia adalah gelar kepakaran yang disematkan untuk ahli di bidang ilmu tertentu, semacam profesor. Sebagai gelar dalam jagat akademik, ustad bersinonim dengan pakar. Al-ustad fi al-falsafah, misalnya, adalah guru besar filsafat, dst.
Di Madura, mungkin pula daerah lain, jika yang sedang melintas adalah seorang remaja usia 30-an tahun, bersarung dan berpeci, baik putih maupun peci hitam, orang cenderung langsung menyapanya dengan sebutan ustad. Sebutan ini adalah identitas bagi seorang pengajar, guru di pondok pesantren, ataupun santri senior. Ustad mengalami perluasan makna dari kata asalnya yang memiliki arti guru ahli atau profesor. Saat ini, khususnya di Indonesia, kata ustad dipahami sebagai guru agama atau mereka yang ahli di bidang agama.
Bagian yang “menyimpang” (saya beri tanda kutip karena kata tersebut dinaturalisasi sepaket dengan kesalahpahaman dari kata asalnya) ada juga lho. Contohnya, kalimat. Kalimat berasal dari bahasa Arab kalimah atau kalimat yang berarti ‘kata’, namun di sini ia bermakna ‘sebuah susunan kata yang memiliki satu pemahaman atau pengertian (kalam), alias sebuah susunan yang dapat dimengerti dan predikatif.’
Kasus demi kasus kebahasaan semacam itu dimaklumi saja. Namanya juga akulturasi dan asimilasi, wajarlah, mau apa lagi? Toh, bahasa itu terbentuk berdasarkan konvensi. Andai kita bersepakat memahami chair sebagai verba ‘meleleh’, tidak apa-apa juga.
Di sisi lain, terkadang kita menggunakan kata tertentu hanya karena sudah paham terhadap artinya harfiahnya, bukan paham secara istilah.
Sesekali kita mendengar ada orang yang menggunakan kata al-hafidh ‘penghafal’ untuk gelar penghafal Al-Quran, padahal secara istilah ia merupakan gelar terhadap penghafal hadis.
Kembali ke ustad, kita tidak perlu menyalahkan wartawan atau pakar dan pengguna bahasa yang telah terlibat aktif melakukan tindak perluasan dan penyempitan makna ini, atau pula yang menyimpangkannya. Semua itu merupakan “sunah” bahasa. Yang jadi masalah ialah apabila membiarkan kata-kata yang telah meluas ini digunakan secara sembarangan tanpa dasar pengetahuan.
Ada cerita anak-anak muda (atau siapa pun) yang karena kebanyakan nonton tivi dan mengamati lini masa media sosial, lantas dengan mudah latah. Kacaulah jika mereka begitu mudah tepedaya oleh penampilan tokoh melalui identitas fisik seseorang hanya karena ia sering nongol di acara tertentu di televisi. Modal hafal hadis atau ayat untuk tema tertentu tidaklah cukup untuk menjadi ustad. Beban moral dan pengetahuan ustad tidak seenteng itu, dan terlebih jika ditambah belagu nuding sana-sini dengan mengafirkan sesama ahlul qiblat, sesama muslim yang masih melaksanakan salat.
Apa yang terjadi kemudian? “Semua ustad” bakal kena getahnya. Kata pepatah: gara-gara ngawur setitik, rusak ustad semuanya.