MOJOK.CO – Selama ini, kata kawin dianggap bermakna lebih negatif dibandingkan kata nikah. Benarkah hubungan kata nikah dan kawin sesederhana itu?
Kawan saya memulai usaha percetakan undangan pernikahan awal tahun ini. Sebagaimana undangan pernikahan pada umumnya, di katalog produk-produknya kata “Undangan Pernikahan” selalu tercetak rapi dan manis, mengundang celetukan yang menggelitik: “Diundangnya ke acara pernikahan, tapi kok status di KTP jadi kawin, ya, bukan nikah?”
Penggunaan kata nikah dan kawin yang seolah-olah bersifat seperti Jono dan Lono—kembar tapi beda (maaf, tapi saya sekalian tes umur)—ini terus memunculkan pertanyaan di tengah masyarakat. Samakah nikah dan kawin itu? Apakah kedua kata ini diserap dari bahasa yang sama? Terus, arti sesungguhnya itu apa?
Yang selama ini beredar di masyarakat, kata kawin sering kali dianggap bermakna lebih negatif dibandingkan kata nikah. Ia kerap digambarkan sebagai hubungan biologis laki-laki dan perempuan, sedangkan nikah merupakan upacara resmi terjalinnya tali suami dan istri di hadapan penghulu. Nah, nah, benarkah demikian, Ferguso???
*jeng jeng jeng*
Jika beredar anggapan bahwa kawin harus dilakukan setelah nikah, ada ulasan kebahasaan yang mungkin bisa menambah kekayaan perspektif kita hari ini (halaah!). Dirunut dari segi kebahasaan, jalan cerita kata nikah dan kawin adalah sebagai berikut:
1. Bahasa Sansekerta menjadi garis start
Dalam bahasa Sansekerta, terdapat kata vini JKT48 yang berarti ‘membawa pergi’, ‘melatih kuda’, atau ‘menyiksa’. Setelah diturunkan ke bahasa Jawa Kuno, kata ini berubah menjadi hawin atau awin, yang mekananya adalah ‘membawa’ atau ‘memboyong’. Seiring berjalannya waktu, kata awin mendapat imbuhan ka (ka-awin), dan membuatnya berarti ‘dibawa’ atau ‘diboyong’. Konon, kata vini inilah yang menjadi cikal bakal kata bini di Betawi.
2. Muncul kata serapan dari bahasa Arab
Usut punya usut, kata nikah berasal dari bahasa Arab dan merupakan serapan dari kata benda an nukh yang memiliki kata kerja nakaha. Makna asli kata ini sendiri adalah ‘berkumpul’, ‘berhimpun’, atau ‘berhubungan seksual/menyetubuhi’.
Seorang ahli bahasa Arab juga pernah menyebutkan bahwa an nukh merupakan kata yang merujuk pada organ kemaluan. Soalnya, di Arab, istilah nukah al Mar’atu sendiri bermakna ‘organ kewanitaan’, sehingga nakaha al mar’ata berarti ‘menggauli organ kewanitaan’. Sementara itu, istilah yang ‘lebih halus’ ditunjukkan dengan penggunaan kata zauwj (yang sering kali diterjemahkan sebagai kata kawin) karena berarti ‘berpasangan’ dan ‘menyatu dalam ikatan perkawinan’.
3. Menjadi istilah dalam bahasa Indonesia
Merujuk pada KBBI, definisi kata kawin ternyata lebih banyak daripada kata nikah. Jika kata nikah digambarkan dengan definisi berikut:
ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama,
kata kawin pun dimaknai sebagai berikut:
– membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri
– melakukan hubungan kelamin; berkelamin (untuk hewan)
– bersetubuh
– perkawinan
Hmmm, agak-agak berbeda dengan sejarah kata sebelumnya, ya, gaes-gaesku???
Entah bagaimana, dalam perkembangan di antara kita (hah, kita???) kata kawin justru harus pasrah karena mendapat cap negatif yang seolah-olah hanya bermakna soal persetubuhan saja. Padahal, mungkin, berkat asal-usul kata tadi, kita bisa memahami mengapa UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menggunakan kata perkawinan, bukan pernikahan. Bisa jadi, itu pula sebabnya mengapa status di KTP-mu dituliskan sebagai kawin, alih-alih nikah.
Tapi, yah, sekalipun ada salah kaprah dalam perjalanan kata nikah dan kawin, semestinya kita semua sadar: kesalahan memang tak bisa dihindari dari apa dan siapa pun di dunia ini. Kuncinya cuma ada di diri kita sendiri: menolerir rasa sakit akibat kesalahan itu atau tidak.
Loh, loh, loh, ini lagi ngomongin apa, sih???