MOJOK.CO – Megawati pernah mengaku tidak tahu arti kata alutsista TNI dan hanya pura-pura paham. Yah, apa kabar dengan kita? Hah, kita?!
Menghadapi pernyataan Prabowo yang menyebutkan bahwa pertahanan Indonesia sedang rapuh, Jokowi—dalam debat capres keempat hari Sabtu lalu (30/3)—menegaskan soal investasi TNI dalam alutsista.
Demi mendengar kata “alutsista”, kening saya berkerut-kerut: ini artinya apa, ya? Is that even a word? Seseorang bercanda dengan menyebutkan alutsista adalah sesuatu yang berhubungan dengan perempuan, karena kalau laki-laki bakal disebut alutbrota.
Sungguh lelucon kering yang—nyatanya—tidak membantu saya memahami apa makna alutsista yang sebenarnya.
Sedikit cerita, kalau kamu merasakan hal yang sama, marilah high five dengan…
Iya, benar, Megawati yang itu, yang mantan wakil presiden dan mantan presiden kita.
Pada masa-masa jabatannya sebagai wakil presiden, Megawati mengakui dirinya kerap mengikuti rapat-rapat tertentu bersama TNI dan Polri. Dalam pertemuan tersebut, pembicaraan mengenai alutsista adalah bahasan yang tak terhindarkan, dan sayangnya, Megawati tak mengenal istilah tersebut.
“Sebagai wapres, saya tetap pura-pura mengerti padahal tidak mengerti,” terang Megawati, mengakui—sama seperti kira-kira 96,78% dari kita (hah, kita???).
Jadi, apakah yang dimaksud dengan alutsista TNI???
Pernah diketik secara typo oleh Presiden Jokowi sebagai alutista, alutsista ini merupakan kepanjangan dari “alat utama sistem pertahanan” (menurut KBBI). Namun, di berbagai sumber, ada pula yang meyakini bahwa alutsista adalah “alat utama sistem persenjataan” atau “alat utama sistem senjata”. Perbedaan kepanjangan ini belum diketahui bedanya apa. Mungkin mereka beda hisab.
Karena merupakan lambang “pertahanan”, alutsista TNI difungsikan sebagai lambang kekuatan negara. Penggunaan alutsista ditujukan untuk mempertahankan kedaulatan negara, dalam hal ini Indonesia. Secara umum, alat pertahanan yang dimiliki Indonesia sebagian di antaranya berupa pesawat tempur, helikopter, tank, kapal selam, hingga kapal perang.
Nah, pertanyaan selanjutnya, kenapa alutsista ini ditulis sebagai alutsista? Kenapa nggak tetap “alat utama sistem pertahanan” saja, sebagaimana dalam bahasa Inggris ia disebut “primary weaponry defense system”?
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, alutsista merupakan contoh akronim yang muncul dalam kebahasaan Indonesia. Akronim sendiri merupakan singkatan berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang dituliskan dan dilafalkan sebagai kata yang wajar. Dengan kata lain, akronim sering kali terasa seperti kata biasa, atau sering disebut juga sebagai “singkatan yang bisa dibaca”.
Tapi, mengapa alutsista diputuskan sebagai akronim, bukan dibuat sebagai singkatan yang berbunyi AUSP saja? Entahlah, tapi bahasa adalah sistem kesepakatan. Pada titik ini, pengambilan keputusan “alat utama sistem pertahanan” ditulis sebagai akronim adalah salah satu buktinya.
Adapun aturan yang mendasari penulisan akronim—termasuk mengapa alutsista ditulis dengan “alutsista”—telah diatur dalam syarat-syarat kepenulisan akronim berikut:
1. akronim nama diri yang merupakan gabungan huruf awal unsur-unsur nama diri harus ditulis dengan huruf kapital tanpa tanda titik, misalnya: SIM (Surat Izin Mengemudi) dan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
2. akronim nama diri yang merupakan singkatan dari beberapa kata harus ditulis diawali dengan huruf kapital, misalnya: Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) dan Bulog (Badan Urusan Logistik).
3. akronim bukan nama diri yang merupakan hasil gabungan dua kata atau lebih harus ditulis dengan huruf kecil, misalnya: pemilu (pemilihan umum) dan alutsista (alat utama sistem pertahanan).
4. jumlah suka kata dalam akronim yang terbentuk harus tidak melebihi jumlah suku kata yang lazim dalam bahasa Indonesia, yaitu umumnya tidak lebih dari tiga suku kata.
5. memiliki keserasian kombinasi vokal dan konsonan agar lebih mudah diucapkan dan diingat dalam bahasa Indonesia.
Dari syarat-syarat di atas, bisa kita lihat bahwa syarat nomor 4 sesungguhnya nggak matching-matching banget sama kata alutsista. Pasalnya, ia memiliki empat suku kata, sedangkan akronim yang dianggap lazim adalah yang tidak memiliki lebih dari tiga suku kata.
Hmmm, apakah ini artinya kata alutsista dianggap tidak lazim sehingga patut menjadi topik perdebatan antar-capres? Entahlah, tapi saya rasa persoalan soal suku kata bukanlah hal yang penting-penting amat.
Yang penting itu cuma satu: meski ada perbedaan soal kelaziman banyaknya suku kata akronim, setidaknya kita harus tetap bersatu padu menjadi satu meski berasal dari puluhan, bahkan ratusan suku bangsa.
Mantap!