Afi Nihaya Faradisa: “Ayah tahu kamu hanya berusaha untuk melakukan banyak hal pada orang lain, seperti nama yang ayah berikan padamu: inayah”, begitulah ayahku memulai percakapan kemarin.
“Tapi jika kamu malah menerima ‘kehancuran’ sebagai balasan atas semua hal yang selama ini sudah kamu lakukan, maka berhentilah. Biarkan saja. Apa yang bisa kamu harapkan lagi ketika ketulusan dan kepedulianmu ramai-ramai diludahi?”
Seketika tangisku pecah.
Aku sendiri tahan dibully dan dicaci maki, tapi ketika orangtuaku mengetahuinya, mereka adalah orang pertama yang paling terluka.
Seperti ayahku, mungkin aku juga sama seandainya aku sudah jadi seorang ibu. Kurasa semua orang tua juga begitu. Maka, aku bersumpah takkan melakukan sesuatu pada anak orang lain jika aku sendiri tidak mau hal itu terjadi pada anakku.
Hanya orangtuaku, hanya mereka lah yang tetap menyayangiku entah aku menulis atau tidak, entah aku pintar atau bodoh, entah aku sempurna atau cacat.
Aku tahan jika pun diserang habis-habisan, tapi aku tak tahan melihat orangtuaku bersedih karena hal itu. Maka, aku sempat menutup akun ini selama sehari.
Apakah aku pernah melakukan plagiasi? Ya.
Kita semua pernah. Siapa yang tidak pernah melakukannya? Mulai dari tugas sekolah sejak SD, makalah kuliah, ujian, sampai caption foto di media sosial. Kalaupun kita mengklaim punya hak cipta atas suatu gagasan yang brilian, maka gagasan tersebut tetaplah akumulasi dari segala hal yang berhasil kita serap sehari-hari.
Tak ada gagasan yang benar-benar murni, asli.
Kebetulan saja hanya aku yang tersorot, karena WARISAN sangat viral. Media serta orang-orang yang bahkan tidak pernah mengenalku sama sekali secara tiba-tiba memuji dan memaki, mengagumi dan membenci.
Mereka mulai menelisik segala hal tentang gadis 18 tahun ini, mencari dengan sedetil-detilnya apa yang ada di sana.
Aku tahu, terhadap WARISAN, begitu banyak orang yang tidak sepaham. Akunku sempat mati karena dilaporkan massal, pemiliknya pun diancam akan dimatikan.
Akhirnya sekarang mereka menemukan amunisi yang tepat untuk melampiaskan kebencian, untuk menghujamku dalam-dalam.
Tanpa mengesampingkan apa-apa, SATU kelemahan yang tidak menyakiti siapapun kemudian menjadi masalah besar yang lebih penting untuk diurusi daripada memperbaiki hidup mereka sendiri.
Tapi, terlepas dari semuanya, Afi tetaplah Afi, anak yang sudah menulis diary sejak SD, menulis artikel dan berbicara di depan publik sejak SMP, dan tidak hanya suka membaca buku-buku pelajaran saja.
Aku bisa kehilangan apapun, tapi aku tidak akan pernah kehilangan diriku.
Orang-orang yang mengikuti akunku sejak lama pasti tahu, aku hanya mencoba melakukan segala hal yang bisa kulakukan untuk berkontribusi bagi negara ini.
Melalui pena dan sosial media, aku hanya berharap bisa memberikan manfaat bagi pembaca, bagi Anda semua.
I’m sorry, I’m not perfect.
And I will never be.
Nuryanto Gracia: Halo Afi Nihaya Faradisa, saya suka dengan tulisan-tulisan dan keberanianmu selama ini. Saya bukanlah orang yang kepanasan saat membaca tulisan-tulisanmu, apalagi sampai ingin membunuhmu. Saya hanya keberatan dengan satu paragraf dalam tulisan terbarumu. Yang begini isinya:
“Apakah aku pernah melakukan plagiasi? Ya.
Kita semua pernah. Siapa yang tidak pernah melakukannya? Mulai dari tugas sekolah sejak SD, makalah kuliah, ujian, sampai caption foto di media sosial. Kalaupun kita mengklaim punya hak cipta atas suatu gagasan yang brilian, maka gagasan tersebut tetaplah akumulasi dari segala hal yang berhasil kita serap sehari-hari.
Tak ada gagasan yang benar-benar murni, asli.”
Dalam dunia komikus/ilustrator, banyak yang marah-marah saat komik/gambar mereka di ambil tanpa izin, tanpa menuliskan sumber, menghilangkan watermark apalagi sampai dianggap milik si pengambil. Bahkan seorang komika (stand-up comedy), ada yang keberatan saat materi lawaknya dijadikan cerita komik tanpa izin. Dan saya yakin dalam dunia lainnya, saat karya orang lain diakui sebagai karya sendiri banyak yang akan marah-marah.
Saya kagum dengan keberanianmu, karena itu jangan lunturkan keberanian itu dengan pembelaan diri yang tidak semestinya. Pembelaan dirimu ini cukup berbahaya, apalagi jika dibaca adik-adikmu di SD, SMP, SMA dan kakak-kakakmu yang sedang kuliah. Bahkan berbahaya juga untuk para kreator, mengapa?
1. Kalimatmu itu seakan ingin mengatakan anak SD menyalin tugas temannya di sekolah, itu wajar. Menyalin makalah kuliah dan ujian itu wajar. Padahal guru, dosen dan tokoh agama, berjuang mati-matian untuk menanamkan itu tidak wajar.
2. Saat kamu mengatakan bahwa tidak ada gagasan yang benar-benar murni lalu membenarkan bahwa mengambil karya orang lain adalah hal yang lazim, maka jangan marah saat kebudayaan kita diakui oleh Malaysia. Tidak ada yang murni asli. Dan buku-buku tidak perlu lagi menorehkan catatan kaki dari mana kutipan tersebut mereka ambil, karena tak ada yang murni asli. Skripsi tinggal salin dari tulisan yang sudah ada sebelumnya, karena tak masalah menyalin. Betapa banyak gelar sarjana dibatalkan karena ketahuan menyalin skripsi yang sudah ada, mungkin setelah membaca tulisanmu itu, mereka akan segera menuntut kampusnya karena tidak masalah untuk menyalin, tidak ada yang baru di bumi ini.
3. Mungkin juga kamu mengatakan bahwa ini bukan soal karya ilmiah, tapi ini soal status sosial media. Oke. Di atas saya sudah tulis komikus/ilustrator dan komika yang protes saat karya mereka diambil tanpa dituliskan sumbernya. Karya mereka bukan karya ilmiah, diunggahnya juga di sosial media, tetapi mereka tetap marah. Siapa yang tidak marah saat karya mereka diambil tanpa diakui bahwa merekalah pembuatnya.
4. Mengatakan bahwa tidak ada gagasan yang baru, semua adalah akumulasi dari segala hal yang berhasil kita serap sehari-hari lalu dengan seenaknya mengambil karya orang lain tanpa sumber, sama seperti mereka yang berkata, “Semua yang ada di bumi adalah milik Tuhan, jadi saya bebas mengambilnya.” Atau sama seperti plagiator lagu yang membela dirinya dengan mengatakan, “Saya tidak plagiat. Nada hanya do sampai si, jadi wajar jika sama.”
5. Dan tulisanmu yang dipermasalahkan sebagai plagiarisme bukan hanya satu atau dua kalimat, tapi berparagraf-paragraf, sama persis.
Nah menurut saya, ada baiknya dengan berani kamu mengakui bahwa kamu salah karena tidak menuliskan sumber dari tulisanmu. Saya yakin kamu tidak bermaksud mengakui tulisan itu sebagai tulisanmu. Dan saya yakin, pasti ada banyak alasan kenapa kamu tidak mau menuliskan nama si penulisnya.
Tapi, meminta maaflah jika salah. Dan lanjutkan lagi tulisan-tulisanmu yang mencerahkan itu. Jika mengambil dari tulisan lain, jangan lupa ditulis sumbernya. Selamat menjadi pencerah yang berani salah dan siap memperbaiki diri Afi. Tuhan memberkati.
Salam dari saya, yang pernah remaja.
Mita Handayani: Jadi gini..
Betul. Aku pernah menulis sebuah catatan ringan pada Ramadan tahun lalu yang berjudul “Agama Kasih”, yang screenshot-nya beredar saat ini. Tulisan itu masih serangkai dengan “Lampu Sang Khalifah” yang juga tayang di tanggal yang sama. Keduanya aku tulis untuk meramaikan momen Ramadan saat itu, dan sebenarnya justru ditujukan kepada segmen pembaca anti Islam agar bisa mengapresiasi sisi lain Islam yang mungkin jarang mereka dengar. Bahwa Islam tidak monolitik, bahwa Islam juga terdiri dai kutub-kutub tafsir yang saling berkompetisi. Dan bahwa sebagian kutub itu juga menyajikan wajah Islam yang sejuk.
Sejak dulu, tulisanku sudah biasa disalin, diproduksi ulang, dan disebar orang lain di grup atau tempat-tempat yang kadang aku sendiri tidak tahu. Aku tidak pernah ambil pusing soal itu. Menulis bagiku adalah soal lain. Meminjam istilah Pram: bekerja untuk keabadian. Dan dalam konteks ini, bukan nama yang ingin kuabadikan.
Aku tidak pernah mengenal dan berkomunikasi dengan Afi Nihaya Faradisa sebelum ramai-ramai ini. Kalau Afi merasa terinspirasi oleh salah satu tulisanku, aku ikut merasa senang. Afi anak yang cerdas, dan aku sudah sering melihat tulisannya bertebaran juga sebelum ini. Kalau ada kesalahan fatal yang Afi lakukan, itu adalah karena belakangan ini dia mulai berani menyentuh isu agama, sehingga mengundang gelombang pembenci baru yang siap mencari-cari dan menguliti semua kesalahannya yang lain.
Terkait tulisan yang ramau diperbincangkan, yang bisa kukatakan adalah, tulisan itu mungkin berangkat dari keprihatinan Afi terkait Bom Kampung Melayu sebelumnya. Tulisan itu ditayangkan Afi dalam niat untuk membela agamanya dari tuduhan terorisme dan kebencian. Dia merasa perlu segera menanggapi, dan mungkin berpikir bahwa tulisan itu adalah respons yang tepat.
Aku pernah salah. Kamu pernah salah. Kita semua pernah salah. Jika usaha Afi kali ini dianggap kesalahan, aku mohon dimaafkan. Mungkin kita yang terlalu membebaninya, sehingga Afi merasa memiliki tugas moral untuk terus menginspirasi pembacanya, terutama di waktu-waktu genting ketika justru yang lebih tua tak bisa diandalkan untuk menyejukkan keadaan. Afi merasa harus berbuat sesuatu, dan jika itu salah, mohon dimaafkan.
AKu pernah salah. Kamu pernah salah. Kita semua pernah salah. Tak apa-apa, sayang.. matahari masih terbit esok hari. Kamu akan terbang lebih tinggi lagi, dengan sayap yang lebih kuat lagi, dan pengalaman hidup yang lebih kaya lagi dari kebanyakan manusia.
PS: Oh iya, soal referensi lalat yang dipermasalahkan. Betul itu salah referensi, thanks ya koreksinya. Yang betul adalah dari Kitab Fayd Al-Qadir karya Imam Al-Munawi.
Catatan redaksi: status Facebook Mita Handayani ini diketik ulang dari tangkapan gambar yang tersebar di Twitter karena akun Mita kabarnya ditangguhkan Facebook.