Memperluas agenda kegiatan
Akhirnya, pada 1952 Masjid Syuhada pun resmi berdiri. Atas dedikasinya dalam menggalang dana selama pembangunan, beberapa pihak pun mengusulkan agar PPY dapat ruangan khusus di masjid tersebut.
Usulan itu pun terealisasi. Alhasil, PPY makin masif mengadakan kegiatan di Masjid Syuhada. Ini tak terbatas pada agenda pengajian, karena di berikut hari PPY mulai aktif bergerak di bidang literasi dan kegiatan sosial.
Kegiatan-kegiatan ini sangat populer sehingga banyak perempuan di seluruh Jogja yang akhirnya ikut berpartisipasi.
Kata Yuanda, Syuhada pun akhirnya tampil beda dari kebanyakan masjid di Indonesia pada masa itu—yang kegiatan keagamaannya hampir selalu terselenggara sepenuhnya oleh laki-laki. Di masjid ini, nyatanya benih-benih upaya keagamaan pelopornya adalah para perempuan.
“Para perempuan ini memainkan peran penting dalam menciptakan dasar bagi kegiatan-kegiatan di Syuhada,” tegasnya.
Alhasil, peran aktif PPY ini cukup menjadikan Masjid Syuhada sebagai satu di antara masjid besar di Indonesia pada 1950-an yang paling mengakomodasi kebutuhan perempuan.
Misalnya, yang paling beda, di Masjid Syuhada juga ada ruangan khusus bagi perempuan di lantai dasar untuk ruang ganti pakaian dan tata rias. Kata Yuanda, hal ini merupakan sebuah terobosan, mengingat mayoritas muslim kala itu melihat masjid sebagai wilayah laki-laki—dan bersepakat bahwa perempuan lebih baik melakukan salat di rumah.
“Oleh karena itu, Syuhada menegaskan bahwa mereka menyambut baik perempuan dan mengakui salah satu kebutuhan utama perempuan: tata rias wajah,” jelas Yuanda.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi