MOJOK.CO – Desa Panggungharjo sejak beberapa tahun terakhir mampu mengolah sampah secara mandiri sehingga nyaris tak butuh TPST Piyungan. Sebab hilir pembuangan sampah di DIY ini memang nyaris tak bisa diandalkan lagi.
Baru-baru ini, Pemda DIY mengambil keputusan untuk menutup TPST Piyungan selama 45 hari sejak 23 Juli 2023. Permasalahannya, tempat tersebut sudah tak mampu menampung sampah dari Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul.
Kepala Bagian Humas Biro Umum dan Protokoler Setda DIY, Ditya Nanaryo Aji mengatakan penutupan TPST Piyungan karena kondisi lahan di tempat pembuangan sampah tersebut semakin terbatas. Volume sampah yang masuk masih menunjukkan angka yang cukup tinggi yang mencapai rata-rata 700 ton/hari. Hal itu menyebabkan semakin pendeknya usia pakai Landfill Zona Eksisting.
Saat ini sedang ada proses pembangunan Landfill Zona Transisi 2 yang baru akan selesai Oktober mendatang. Pembangunan ini harapannya bisa memperpanjang napas TPST Piyungan untuk menampung sampah.
Namun, sejatinya kondisi TPST Piyungan sudah memprihatinkan sejak beberapa tahun terakhir. Kondisi tersebut membuat warga di Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul lewat Bumdes Kupas menginisiasi pengelolaan sampah mandiri.
Nyaris semua sampah di desa itu tak perlu berakhir di TPST Piyungan. Manajer Kupas Panggungharjo, Sekar Mirah Satriani mengatakan inisiasi desanya untuk mengatasi persoalan sampah bermula sejak 2013 silam.
Lewat Bumdes, Desa Panggungharjo menjadikan pengelolaan sampah sebagai salah satu pilar ekonomi desa. Sampah bisa menjadi sesuatu yang bernilai.
“Pengelolaan sampah sejak awal memang jadi visi jangka panjang Pak Lurah Wahyudi Anggoro. Jadi pertama kali menjabat, langsung menginisiasi ini,” kata Sekar saat Mojok jumpai Februari 2023.
Mandiri tanpa TPST Piyungan
Sekar mengakui bahwa salah satu pendorong pengelolaan sampah di desa lantaran kondisi TPST Piyungan yang sudah memprihatinkan. Saat sedang penuh, sampah yang tidak terambil berserakan di sudut-sudut desa.
“Kita sudah mulai mikir kalau TPST Piyungan tidak bisa kami harapkan. Kalau tutup bagaimana? Akhirnya sistemnya mulai kami optimalkan,” jelasnya.
Desa Panggungharjo kemudian punya komitmen lewat slogan “Desa bersih Tanpa TPA”. Bumdes Kupas menjadi ujung tombak untuk membuat sampah dari masyarakat terkelola tanpa terpengaruh kondisi TPA.
Dalam menjalankan operasinya, Kupas mengelola tiga kategori sampah menjadi bernilai ekonomi. Pertama, sampah organik yang berupa sisa makanan dan sampah dapur. Kedua, sampah residu yakni sampah anorganik seperti sobekan plastik yang tidak memiliki nilai ekonomi. Ketiga, sampah anorganik rongsok yang masih bisa dijual kembali.
Sampah organik di Kupas menjadi sejumlah produk seperti pupuk kompos, media tanam lunak, dan media tanam komplit. Ketiga produk ini memiliki kemasan khusus yang membuatnya menarik dan bernilai jual baik.
Selain itu, sampah organik yang tidak bisa menjadi produk tadi juga masih bernilai. Kupas menjualnya ke tempat budidaya maggot. Setiap ember berisi sekitar delapan kilogram sampah organik bernilai Rp10 ribu sampai Rp12 ribu.
Sampai Februari 2023 lalu, sekitar 35 persen dari total 9.800 kepala keluarga di Desa Panggungharjo yang sudah menjadi pelanggan pengelolaan sampah di Kupas. Mereka terbantu dengan adanya aplikasi Pasti Angkut untuk membantu proses penjemputan sampah di rumah.
Untuk bisa berlangganan program ini, warga membayar Rp1.000 setiap satu kilogram sampah residu yang mereka buang. Sementara itu, sampah organik tidak dipungut biaya dan sampah anorganik rongsok justru bisa ditukar dengan uang.
“Pembayaran itu juga membuat masyarakat jadi lebih cermat. Tidak asal buang sampah karena semakin banyak semakin mahal,” pungkas Sekar.
Penulis: Hammam Izzudin
Editor: Purnawan Setyo Adi