MOJOK.CO – Tukang parkir menjadi profesi yang sering bikin sebel orang belakangan ini. Penyebabnya mulai dari kejutekannya saat menagih, tidak membantu mengeluarkan kendaraan, hingga mematok tarif mahal.
Fakta lain yang semakin bikin orang sebel ialah sekarang tukang parkir telah merambah ke mana-mana. Bukan hanya di mal dan restoran saja, profesi ini kini telah hadir di minimarket, warung soto, hingga ATM. Bujet pengeluaran jadi membengkak.
Keresahan ini memunculkan pertanyaan, sejak kapan sih profesi ini ada? Bagaimana sejarah parkir? Sejak kapan di Indonesia ada?
Perjalanan dunia parkir dari masa ke masa
Keberadaan tukang parkir kemungkinan besar mulai ada berbarengan dengan munculnya kebutuhan orang akan parkir. Kebutuhan tersebut nampaknya telah ada sejak era 1400-an atau zaman koboi di Amerika Serikat.
Melansir laman Kompas.id, kala itu orang memakai kereta kuda dan kuda sebagai transportasi umum. Mereka butuh lahan untuk menautkan tali kekang kuda. Kuda-kuda mereka parkirkan berjejer seperti susunan parkir kendaraan hari ini.
Kemunculan kendaraan bermotor di akhir abad 1800-an membuat kebutuhan lahan parkir pun meningkat. Lalu pada 1935, konsep meteran parkir diperkenalkan di Oklohama. Waktu menitipkan kendaraan pun terbatasi dan alat parkir akan menunjukkan siapa saja yang telah melewati batas waktu.
Pada 1950-an di Amerika, terjadi pembangunan besar-besaran lahan/kontruksi bangunan untuk parkir. Lalu pada 1980, mesin digital penanda waktu parkir mulai marak. Mesin ini memungkinkan tarif menitipkan kendaraan terhitung berdasarkan jam dan hari seperti yang sering kamu lihat hari ini.
Sejak kapan tukang parkir ada di Indonesia?
Cukup tricky menemukan data pasti sejak kapan sejarah parkir di Indonesia bermula. Menurut laporan penelitian yang termuat dalam Politik Perparkiran Jakarta (2006), profesi ini sudah ada di Jakarta sejak era awal Kemerdekaan Indonesia. Sejak 1950-an, telah ada pihak atau kelompok yang mengelola penitipan kendaraan di jalanan.
Kendati demikian, kala itu istilah parkir belum ada. Para penjaga lahan parkir itu dulu populer dengan sebutan “jaga otto”. Istilah “otto” di sini merujuk kendaraan atau mobil. Lahan jaaga otto tersebut biasanya berada di daerah pemukiman orang-orang Tionghoa atau Belanda. Dua etnis yang tergolong kaya sehingga memiliki mobil.
Lahan jaga otto di masa itu terbatas di daerah Pasar Baru, Jakarta Kota, Harmoni, Glodok, Jalan Thamrin, dan Sudirman. Kawasan tersebut sejak dulu menjadi pusat niaga dan terdapat banyak kantor peninggalan zaman kolonial.
Ali Sadikin dan upaya merapikan perparkiran liar
Perparkiran Jakarta bertambah ramai kala Jakarta pertama kali menjadi tuan rumah Asian Games 1962. Jagoan-jagoan setempat memegang pengelolaan parkirnya.
Gubernur Ali Sadikin lalu membenahi sistem lahan parkir atas kepemilikan perseorangan ini. Pemda DKI Jakarta Raya pun mendirikan PT Parkir Jaya, sebagai satu-satunya pengelola parkir di Jakarta.
Melansir laman Tirto.id, waktu itu terdapat sekitar 100.000 mobil yang dititipkan tiap harinya. Tarif parkir kala itu Rp25. Kendati menyumbang banyak pendapatan untuk pemerintah, upaya tersebut pengelolaan parkir satu pintu tersebut mendapat tentangan dari kanan dan kiri.
“Parkir Jaya sebagai pengelola tunggal parkir di Jakarta, mulai kegiatan dengan banyak timbul tantangan. Terutama dari para bekas ‘boss parkir’,” tulis Ekspres.
Ribut-ribut dengan tukang parkir sudah sering terjadi sejak awal 1970-an. Masalah parkir yang semula sepele, begitu jumlah kendaraan bertambah menjadi rumit. Para tukang parkir kala itu menarik uang begitu saja. Ada pula yang sama sekali bukan juru parkir tapi ikut meminta duit. Semua bermula dari makin banyaknya mobil di Jakarta.
“Dikasih Rp100 tidak ada kembaliannya, dikasih Rp15 tukang parkir marah-marah. Maunya dikasih Rp25. Maka terjadilah ribut-ribut,” ujar Ali Sadikin dikutip dari Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977.
Penulis: Iradat Ungkai
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Tukang Parkir ATM, Jenis Tukang Paling Menyebalkan Sepanjang Sejarah parkir
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News