Polisi yang Banting Mahasiswa Tetap Wajib Diadili, Aturan UU-nya Gitu

Menurut UU Kepolisian, polisi setara dengan warga sipil: sama-sama tunduk pada peradilan umum.

Meski Sudah Minta Maaf, Polisi yang Banting Mahasiswa Tetap Wajib Diadili mojok.co

MOJOK.COKasus polisi yang banting mahasiswa peserta demonstrasi di Tangerang sedang diperiksa propam. Ada kekhawatiran kasus ini diselesaikan dengan sanksi etik, padahal polisi harus tunduk pada peradilan sipil.

Sudah nonton videonya? Apa, belum? Tayangan memuakkan seorang polisi melakukan aksi smack down kepada mahasiswa peserta demo di Tangerang, Banten itu bisa ditonton di sini. Video itu tersebar siang kemarin (13/10), merekam bentrok antara Himpunan Mahasiswa Tangerang dan polisi saat demonstrasi merayakan ultah Tangerang ke-389. Si mahasiswa yang belakangan diketahui bernama M. Faris (21) tersebut langsung terkapar lalu kejang akibat bantingan bertenaga itu.

Segera menjadi perhatian warganet, empat jam kemudian video lanjutannya muncul. Isinya, acara maaf-maafan antara korban dan pelaku, Brigadir NP, di kantor Polresta Tangerang. “Saya siap bertanggung jawab atas perbuatan saya. Sekali lagi saya meminta maaf atas perbuatan saya kepada keluarga (korban), dan saya siap bertanggung jawab,” kata NP, polisi yang banting mahasiswa itu, dikutip CNN Indonesia.

Wajar jika kesal, Faris membalasnya dengan kutipan yang biasa dipakai orang-orang yang dikhianati pasangan, I forgive but do not forget. “Saya sebagai sesama manusia menerima permohonan maaf tersebut, tapinya untuk lupa atas kejadian tersebut tentu saya tidak akan lupa,” kata Faris. Ia lalu meminta kepolisian tetap menghukum (istilah populernya: menindak tegas) pelaku.

Kasus ini jelas pukulan berat untuk Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang pekan-pekan terakhir kebanjiran kritik. Tapi sebelum ke sana, ada baiknya kita mengamati dialog di video satu lagi dari acara maaf-maafan tersebut.

Jadi, seusai acara, Faris didampingi Wakapolres Tangerang AKBP Leonard Sinambela membuat keterangan kepada wartawan mengenai keadaan fisiknya usai jadi korban unjuk kekuatan tersebut.

“Saya Faris dari Himata Banten. Saya nggak ayan, saya juga nggak mati, saya masih hidup,” kata Faris dalam video. “Sehat-sehat saja,” timpal Leonard, mungkin nyuruh Faris ngomong gitu, tapi nggak diikuti oleh Faris. “Saya masih hidup, dalam keadaan biasa-biasa saja, walaupun agak sedikit pegal-pegal,” ujar Faris.

“Sudah makan belum?” Leonard bertanya. “Sarapan sudah, tapi kalau makan nasi belum,” jawab Faris. “Ya udah, setelah ini makan. Ya…,” kata Leonard. Kata ya di akhir itu bener-bener mengingatkan sama para guru yang suka negur zaman sekolah. Coba deh dengerin sendiri.

Balik ke soal pukulan berat tadi. Ya gimana ya (dengan nada ya yang berbeda), pemirsa Twitter pasti tahu, sejak 6 Oktober lalu muncul perang tagar #PercumaLaporPolisi (cerita lengkapnya di sini) yang dilawan dengan tagar #PolriSesuaiProsedur dan #PolriTegasHumanis.

Eh ndilalah, begitu kalau orang Jawa bilang, saat dua tagar kontranarasi itu muncul, justru blunder kepolisian di Medan, Sumatera Utara. Seorang pedagang yang dihajar preman karena nggak “bayar pajak”, justru dijadikan tersangka oleh Polsek Percut Sei Tuan, kepolisian setempat. Kisah ketidakadilan ini segera viral, berujung Polda Sumatera Utara turun tangan. Perkembangan terbaru, Kapolsek Percut Sei Tuan dan Kanit Reskrimnya langsung dicopot.

Kini, pelaku Brigadir NP disebut akan diperiksa oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri. “Propam Mabes turun ke Kepolisian Daerah Banten. Anggota sedang diperiksa,” kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Argo Yuwono kepada Tempo.co.

Kapolresta Tangerang Wahyu Sri Bintoro juga berjanji akan menindak polisi yang banting mahasiswa itu. “Kemudian Bapak Kapolda Banten secara tegas akan menindak personel yang melakukan aksi pengamanan di luar standar prosedur dan sudah berjanji langsung kepada korban maupun keluarga korban,” katanya, dikutip Detik.com.

Apakah ini akhir dari cerita? Not yet, Baby. Dosen hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menekankan, jika pun nanti pelaku dikenai sanksi administratif, sanksi pidana lewat mekanisme peradilan umum tidak boleh di-skip. “Jika ada aparat keamanan, sekalipun dia polisi, melakukan kekerasan terhadap masyarakat, maka harus diproses hukum pidana,” kata Abdul, dikutip Republika.co.id.

Di dalam KUHP, penganiayaan bisa dikenai Pasal 170 ayat 1 dengan pidana maksimal 5,5 tahun penjara atau Pasal 351 ayat 1 dengan pidana maksimal 2 tahun 8 bulan penjara.

Masalahnya, kasus kekerasan oleh polisi saat mengawal demonstrasi kerap berhenti di sanksi internal, tanpa disertai proses hukum di pengadilan sipil. Padahal UU 2/2002 tentang Polri Pasal 29 ayat 1 mengatur bahwa polisi sama seperti warga sipil, harus tunduk pada peradilan umum. Jadi, meskipun si polisi telah diproses secara etik di internal kepolisian, bukan berarti proses pidananya tak perlu dilakukan lagi.

Itu hukumnya, tapi kenyataan bicara berbeda. Ingat Randi dan Yusuf Kardawi? Keduanya mahasiswa Universitas Halu Oleo yang meninggal ditembus peluru tajam saat berdemonstrasi di Kendari, menolak RUU KUHP dan RUU KPK pada 2019 lalu. Dari penyelidikan Mabes Polri, sebanyak enam polisi Sulawesi Tenggara didapati bersalah karena membawa senjata api saat mengawal demonstrasi.

Mereka kemudian hanya diberi sanksi disiplin. Belakangan, hanya satu polisi yang diadili di pengadilan umum. Brigadir Abdul Malik dijatuhi vonis 4 tahun penjara atas kasus pembunuhan Randi. Sedangkan pembunuh Yusuf Kardawi masih misteri atau, dalam bahasa Polda Sulawesi Tenggara per September tahun ini—dua tahun usai kejadian, masih dalam penyelidikan.

Tahun 2019 yang penuh aksi demonstrasi besar dengan sangat jelas menggambarkan bagaimana unjuk rasa yang merupakan hak konstitusional warga negara dan dijamin UU bisa sangat membahayakan nyawa demonstran, salah satunya karena kekerasan dari aparat.

Menurut data Komnas HAM yang dikutip Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sebanyak 51 orang tewas dalam demo besar 2019. Dari angka itu, hanya 7 orang yang penyebab kematiannya jelas. Sisa 41 korban mati oleh penyebab yang masih misterius.

Dari 7 korban yang penyebab kematiannya bisa dipastikan, 2 orang adalah Randi dan Yusuf (meninggal ditembak), 4 orang juga tewas dengan luka tembak dalam demo 22-23 Mei 2019, lalu 1 orang tewas, diklaim karena kehabisan oksigen akibat terpapar gas air mata.

Satu orang terakhir ini bernama Maulana Suryadi (23). Menurut saksi, Yadi ditangkap saat menonton demo September 2019 di Jakarta. Polri menuduhnya sebagai perusuh. Ditangkap dalam keadaan hidup, Yadi diantar pulang sudah menjadi mayat. Polisi menyebut Yadi meninggal karena asmanya kambuh akibat terkena gas air mata. Namun dugaan itu diragukan ibu korban, ia menyebut mayat Yadi terus mengeluarkan darah dari telinga dan hidung, bahkan sampai menjelang dimakamkan. Kematiannya tak pernah diusut lagi sejak itu.

Korban tewas dalam demo September 2019 lainnya bernama Akbar Alamsyah. Namanya terdata sebagai korban demo, keluarga mendapati Akbar sudah terbaring koma di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, dalam keadaan lebam seperti habis dipukul. Ia kemudian meninggal tanpa jelas apa penyebabnya. Namun, sebelum Akbar meninggal, keluarga justru mendapat surat penetapan tersangka dari polisi. Akbar disebut sebagai pelaku perusakan, peghasutan, dan provokasi.

Penegakan hukum pada aparat yang melakukan kekerasan saat mengawal demonstrasi ini yang jadi perhatian aktivis. Sidang etik yang dilakukan di internal kepolisian biasanya berlangsung tertutup, bertentangan dengan Peraturan Kapolri 19/2012 yang memerintahkan sidang etik dilakukan secara transparan dan terbuka. Preseden juga menunjukkan, hukuman disiplin internal kerap membuat tindak pidana oleh aparat tak lagi diproses di peradilan sipil.

Coba deh googling, masih ada banyak kasus kekerasan oleh aparat saat ngawal aksi. Biasanya kalau udah kejadian, pimpinan atau humas kepolisian cuma bakal ngasih jawaban template kayak “pengamanan sudah sesuai prosedur/SOP”, “kalau ada anggota yang keluar prosedur itu oknum”, dan seterusnya. Tapi kejadian serupa terus aja berulang.

Saran konkret kami: aksi-aksi ke depannya biar damkar aja yang ngawal. Siapa sih yang tega rusuh sama damkar? Kalau ada yang kebangetan pun, paling banter disemprot air. Nggak bakal ada polisi yang banting mahasiswa lagi deh.

BACA JUGA Polemik Celeng di Kandang Banteng dan kabar terbaru lainnya di KILAS.

Exit mobile version