Arus deras penolakan terhadap Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (R-Permenkes) tentang Pengamanan Produk Tembakau masih terjadi. Setelah beberapa kementerian dan asosiasi seperti Kemendag, Kemenperin, GAPPRI, GAPRINDO, hingga INDEF mengajukan keberatan terhadap Kemenkes, kini berbagai akademisi di beberapa universitas bersuara.
Mereka turut menyoroti bahwa Rancangan Permenkes tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik memiliki beberapa dampak negatif, di antaranya berkurangnya penerimaan negara dan potensi meningkatnya peredaran rokok ilegal.
R-Permenkes ancam pekerja industri tembakau
Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE), Universitas Brawijaya, Imanina Eka Dalilah menyebut bahwa Industri Hasil Tembakau (IHT) sedang mendapat tekanan begitu besar.
“Industri ini memiliki rantai nilai yang luas dan memberikan banyak lapangan pekerjaan. Pembatasan yang lebih ketat terhadap produk tembakau dan rokok elektronik dapat mengurangi produksi dan penjualan,” ujar Imanina, Sabtu (28/9/2024).
Tanpa R-Permenkes, produksi produk tembakau pun sebenarnya sudah berkurang. Mengutip data Dirjen Bea dan Cukai: pada 2021 hanya 334,84 miliar batang, tahun 2022 berjumlah 323,88 miliar batang, dan pada 2023 menurun hingga 318,14 miliar batang.
Jika R-Permenkes hendak dipaksakan, bukan lagi produksi produk tembakau saja yang berkurang, melainkan juga pengurangan tenaga kerja. Bahkan, penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau (CHT) sudah berkurang pada 2023.
Atas hal tersebut, untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir, penerimaan cukai rokok gagal mencapai target. Padahal, cukai rokok merupakan salah satu komponen pendapatan negara yang signifikan.
Bungkus rokok polos=gelombang PHK
Kehadiran R-Permenkes yang mengatur kemasan polos rokok dapat menurunkan daya saing produk. Sebab, dapat menghilangkan identitas visual dan branding dari industri rokok legal.
“Hadirnya R-Permenkes juga berdampak pada industri terkait lainnya, seperti industri kemasan, percetakan, dan logistik, juga akan terkena dampaknya,” ujar Imania.
“Mereka akan kehilangan permintaan dari industri rokok, yang berujung pada menurunnya pendapatan dan potensi pemutusan hubungan kerja,” tegasnya.
Senada dengan Imanina, akademisi asal Universitas Gadjah Mada, AB Widyanta mengungkapkan bahwa rancangan tersebut adalah suatu kebijakan yang tidak bisa disahkan. Sebab, apa yang diatur oleh Kemenkes tidak melihat banyak sektor industri lainnya.
“Jika Kemenkes mengatakan rancangan tersebut kebijakan publik, mengapa kementerian lain tidak dilibatkan? Bagaimana dengan peran Kemenperin, Kementan, Kemendag, dan kementerian-kementerian lainnya yang terkait?,” sangsi AB Widyanta.
R-Permenkes dan kenaifan Kemenkes
AB Widyanta juga melihat bahwa rancangan ini hanya menghambur-hamburkan modal saja tanpa melihat kompleksitas yang ada di Industri Hasil Tembakau. Bahkan, AB juga mempertanyakan basis pengetahuan yang sedang digunakan oleh Kemenkes.
“Apabila Kemenkes memiliki basis pengetahuan dalam mengelola publik, seharusnya mereka paham dengan kompleksitas yang terjadi di IHT,” tekan AB WIdyanta.
“Maka, kajian akademik seperti apa yang telah dibuat Kemenkes sehingga menghasilkan R-Permenkes,” tambahnya
Lebih dalam lagi, sosok dengan sapaan Bung AB itu juga menginginkan bahwa Kemenkes jangan egois. Jangan mementingkan dirinya sendiri.
Jika Kemenkes tidak egois, semestinya sadar bahwa dari cukai rokok mampu menambal defisit BPJS. Bahkan, dari DBHCHT, pelayanan kesehatan dapat terjamin.
“Kita perlu mempertanyakan kenapa Kemenkes tidak sekalian mengatur pembubaran seluruh pabrik rokok di indonesia jika dianggap bermasalah? Karena Kemenkes sebenarnya juga tahu, industri ini punya sumbangsih besar bagi negara,” pungkas AB Widyanta dengan agak emosional.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News