Saat ini, kampus bukan sekadar lembaga akademik yang menunggu calon mahasiswa datang dengan sendirinya. Perlu ada strategi pemasaran di tengah persaingan ketat dan transformasi digital. Hal ini menjadi aspek krusial guna membentuk citra dan meningkatkan visibilitas sebuah universitas. Salah satu kampus yang menonjol dalam menerapkan strategi pemasaran non konvensional adalah Universitas Islam Indonesia (UII).
Lewat slogannya yang sederhana tapi kuat: “I’M UII” berhasil menembus ruang-ruang publik lewat livery yang terpampang di bus-bus Trans Jogja maupun gerbong Kereta Api Sancaka dan Taksaka. Strategi ini bukan hanya berfungsi sebagai promosi visual, tetapi juga menjadi bagian dari penguatan identitas dan persepsi publik terhadap institusi.
Dalam kerangka teori pemasaran modern, pendekatan yang dilakukan UII dapat dikategorikan sebagai bentuk experiential marketing. Bentuk pendekatan ini menyasar aspek afektif seperti perasaan, emosi, sikap, minat, dan nilai-nilai lewat interaksi keseharian konsumen.
Perubahan strategi UII dalam menggaet calon mahasiswa
Menurut studi pemasaran pendidikan tinggi oleh Hemsley-Brown dan Oplatka (2006), kampus perlu bertransformasi dari strategi promosi satu arah, menuju pendekatan yang lebih terintegrasi dan partisipatif.
Dalam hal strategi marketing kampus, target utamanya ialah generasi Z atau calon mahasiswa yang tidak hanya mempertimbangkan aspek akademik. Namun juga narasi identitas, nilai, dan keterlibatan sosial dari kampus yang mereka pilih.
Di sinilah keunggulan kampanye “I’M UII” terlihat. Sekilas, slogan ini menunjukkan tampilan pesan yang ringkas, inklusif, dan emosional. Namun lebih dari itu, I’M UII merupakan akronim dari Islami, Mondial, Unggul, Intelektual, dan Indonesiawi.
Lewat slogan tersebut, UII tak hanya memasarkan program studinya, tapi juga membangun ekosistem identitas yang dapat diinternalisasi oleh mahasiswa dan masyarakat umum. Dengan begitu, kampus bukan lagi sekadar tempat belajar, melainkan sebuah entitas sosial yang hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Manfaatkan transportasi publik untuk branding
Untuk membunyikan slogan mereka, UII menggunakan livery bus dan branding dalam transportasi publik. Strategi ini merupakan bentuk out-of-home advertising (OOH) yang semakin relevan di era pasca-pandemi.
Menurut Nielsen (2020), OOH advertising memiliki recall rate sebesar 55 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan iklan digital yang bersifat scrollable. Ketika diterapkan di ruang mobilitas publik seperti Trans Jogja dan kereta api antarkota, pesan iklan tidak hanya terlihat, tetapi juga mengalami eksposur berulang yang meningkatkan daya ingat dan asosiasi merek.
Selain itu, pendekatan ini memiliki keunggulan dari sisi efisiensi biaya dan jangkauan geografis. UII sendiri terletak di Yogyakarta. Kota dengan kepadatan mahasiswa yang tinggi dan jaringan transportasi publik yang terus berkembang.
Kehadiran branding kampus di ruang ini memperkuat positioning institusi di benak masyarakat, termasuk calon mahasiswa dari luar kota yang datang menggunakan KAI.
“I’M UII” sebagai personal branding kolektif
Pesan “I’M UII” memiliki kekuatan dari sisi personalization. Alih-alih menggunakan narasi institusional yang kaku, UII memilih pendekatan user-centered. Pernyataan “I’M UII” dapat dengan mudah diidentifikasi, dimiliki, bahkan dipakai ulang oleh civitas akademika dan masyarakat umum sebagai simbol keterikatan.
Dari sudut pandang semiotika pemasaran, kampanye ini membangun makna ganda. Di satu sisi memperkenalkan kampus secara langsung, di sisi lain membentuk sense of belonging dan kebanggaan kolektif yang bersifat partisipatif.
Strategi ini sejalan dengan prinsip emotional branding yang dijelaskan oleh Marc Gobé (2001), yakni menciptakan koneksi emosional antara merek dan individu melalui pesan yang bersifat universal dan terbuka.
Mengapa kampus swasta lain perlu mencontoh?
Pemasaran institusi pendidikan tinggi tidak bisa lagi bergantung pada brosur, banner di perempatan, atau unggahan media sosial semata. Di era hiperkompetisi dan informasi yang berlimpah, universitas dituntut untuk membangun brand engagement secara berkelanjutan dan kreatif.
Kampanye UII menjadi studi kasus menarik bahwa keberhasilan promosi kampus tidak selalu bergantung pada besarnya anggaran. Namun, pada keberanian untuk keluar dari pakem lama dan memahami lanskap sosial-kultural tempat kampus berada.
Pendekatan yang adaptif, kreatif, dan relevan dengan keseharian masyarakat lebih efektif dalam membangun awareness dan loyalitas jangka panjang.
Strategi pemasaran seperti ini seharusnya bisa menjadi contoh untuk kampus-kampus swasta di Indonesia. Tidak harus meniru, tetapi bisa mengembangkan pendekatan yang kontekstual sesuai dengan karakteristik geografis dan psikografis masing-masing audiens.
Misalnya, memanfaatkan media komunitas lokal, kerja sama dengan transportasi regional, atau kampanye kreatif berbasis storytelling digital.
Masa depan marketing pendidikan tinggi
UII melalui kampanye “I’M UII” telah menunjukkan bagaimana institusi pendidikan tinggi dapat membangun narasi yang kuat, sederhana, dan relevan. Strategi ini tidak hanya meningkatkan visibilitas kampus di ruang publik, tetapi juga menegaskan posisi UII sebagai institusi yang memahami pentingnya kehadiran sosial dalam dunia pendidikan.
Dengan menempatkan identitas kampus secara strategis di ruang-ruang mobilitas masyarakat, UII membuka jalan baru bagi strategi pemasaran pendidikan tinggi yang lebih manusiawi, kontekstual, dan berdampak jangka panjang. Pendekatan ini layak mendapat apresiasi dan menjadi inspirasi bagi kampus-kampus lain yang ingin tetap relevan dan kompetitif di era modern.***(Adv)
BACA JUGA: Rektor UII Orasi, 100 Dosen di Kampusnya Juga Ikut Turun ke Aksi Jogja Memanggil atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
