MOJOK.CO – Kementerian Agama (Kemenag) menggolongkan 16 tindakan sebagai kekerasan seksual. Penggolongan itu dimuat dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No 73 tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Kemenag.
Dalam Pasal 5 dalam aturan itu disebut, bentuk tindakan kekerasan seksual mencakup perbuatan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi dan komunikasi. Kekerasan yang dimaksud:
1. Menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan secara fisik kondisi tubuh atau identitas gender.
2. Menyampaikan ucapan seperti berupa rayuan, lelucon, dan siulan yang bernuansa seksual.
3. Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, mengancam, atau memaksa untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual.
4. Menatap tanpa izin dengan nuansa seksual atau tidak nyaman.
5. Mengintip atau dengan sengaja melihat seseorang yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi atau pada ruang yang bersifat pribadi.
6. Memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja.
7. Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh seseorang yang disebut korban.
8. Melakukan percobaan pemerkosaan.
9. Melakukan pemerkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin.
10. Mempraktikkan budaya yang bernuansa kekerasan seksual.
11. Memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi.
12. Membiarkan terjadinya kekerasan seksual.
13. Memberikan hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual.
14. Mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban.
15. Mengambil, merekam, mengunggah, mengedarkan foto, rekaman audio, dan/atau visual korban yang bernuansa seksual.
16. Melakukan perbuatan kekerasan seksual lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan.
Juru Bicara (Jubir) Kemenag Anna Hasbie menjelaskan, PMA juga mengatur upaya-upaya pencegahan, penanganannya, dan sanksi. Upaya pencegahan antara lain dengan sosialisasi, pengembangan kurikulum dan pembelajaran, penyusunan SOP pencegahan, serta pengembangan jejaring komunikasi. Satuan pendidikan juga dapat berkoordinasi dengan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, perguruan tinggi, satuan pendidikan lain, masyarakat, dan orang tua peserta didik.
Sementara untuk penanganan kasus, PMA mengatur terkait pelaporan, perlindungan, pendampingan, penindakan, dan pemulihan korban. Untuk sanksi, dalam aturan itu termaktub, pelaku akan dikenakan sanksi pidana dan administrasi apabila terbukti melakukan kekerasan seksual berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Kehadiran PMA ini tentu menjadi angin segar di satuan pendidikan formal, nonformal, dan informal di bawah Kemenag yang meliputi madrasah, pesantren, dan satuan pendidikan keagamaan.
Sebagai pengingat, jumlah kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan di bawah Kemenag tidaklah sedikit. Dilansir dari Liputan6.com, sepanjang tahun 2021, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sebagian besar kasus di satuan pendidikan di Indonesia terjadi di sekolah di bawah kewenangan Kemenag. Jumlahnya mencapai 14 kasus dari total 18 kasus di satuan pendidikan. Mayoritas terjadi di satuan pendidikan yang berasrama atau boarding school, jumlahnya mencapai 12 kasus. Sisanya terjadi di satuan pendidikan yang tidak berasrama.
Anna berharap, terbitnya PMA bisa menjadi panduan bersama seluruh pemangku kepentingan satuan pendidikan Kemenag dalam upaya penanganan dan pencegahan kekerasan seksual.
“Harapannya, ke depan tidak terjadi lagi kekerasan seksual di satuan pendidikan,” seperti dikutip dalam laman resmi Kemenag.go.id, Kamis (13/10/2022). Adapun setelah penerbitan PMA ini akan segera dibuat sejumlah aturan teknis baik dalam baik dalam bentuk Keputusan Menteri Agama (KMA), pedoman, atau SOP, agar peraturan ini bisa segera dapat diterapkan secara efektif.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Purnawan Setyo Adi