MOJOK.CO – Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Moewardi, yang berada di Solo, Jawa Tengah, ternyata punya sejarah yang begitu panjang. Tempat ini menjadi saksi bagaimana virus pes menjangkiti masyarakat Mangkunegaran, yang saking parahnya hingga muncul istilah “esuk lara, sore mati”.
Ya, istilah “esuk lara, sore mati” atau yang berarti “pagi sakit, sore mati” bukan sekadar jargon. Pada masa itu, pandemi yersinia pestis (Pes) memang jadi momok menakutkan bagi warga dunia. Di Eropa, misalnya, penyakit ini punya sebutan Black Death dan membunuh 60 persen masyarakat di sana.
Di Hindia Belanda, wabah yang tikus sebarkan ini pertama kali terdeteksi pada 1905 di Pantai Timur Sumatera. Wabah di Vorstenlanden (Yogyakarta dan Surakarta) ini pertama kali menimbulkan korban pada 1913. Namun, karena korban masih terbilang sedikit, pemerintah sedikit mengabaikannya.
Alhasil, pada 1915, kasus melonjak drastis. Di Mangkunegaran mencatat 1.386 kasus dalam setahun yang cukup merepotkan pemerintah Kotapraja. Populasi Mangkunegaran yang padat serta budaya masyarakat yang kurang bersih, menjadi faktor utamanya.
Dibangunnya Ziekenzorg, cika bakal RSUD Moewardi
Sejak merebaknya pagebluk pes, beberapa rumah sakit di wilayah Kotapraja menjadi amat sibuk pada 1918. Kebutuhan akses kesehatan meningkat kala itu.
Pemerintah pun mulai berupaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap rakyatnya di Praja Mangkunegaran. Alhasil, mereka mendirikan sebuah Rumah Sakit Umum, yaitu RS Ziekenzorg pada 1921 yang berlokasi tepat di sebelah barat Pura Mangkunegaran.Â
Berdiri di atas tanah partikelir di daerah Mangkubumen, Surakarta, rumah sakit ini punya nama resmi Inlandsziekenhuis der Vereeninging Ziekenzorg.
Sebagai rumah sakit pertama yang di Surakarta, RS Ziekenzorg mendapatkan subsidi yang cukup besar dari Pemerintah Swapraja. Setiap tahun, mereka menerima 5.000 gulden dari Vereeniging voor Zieken verpleging in Nederlandsche-Indie (VZNI).
RS Ziekenzorg lekas menjadi andalan masyarakat, terutama sekali di Pasar Legi di mana banyak sekali pedagangnya menjadi korban pes. Masyarakat setempat mengeja nama rumah sakit ini dengan sebutan Sikensoro–mungkin nama “Ziekenzorg” terlalu susah mereka eja.
Dokter-dokter Belanda kemudian menjadi pelayan publik di sini. Sayangnya, sebagaimana biasa dijumpai kala itu, kelas sosial masih menjadi standarisasi pelayanan publik.Â
Stratifikasi atau penggolongan kelas sosial membagi orang Eropa sebagai pemuncak tatanan sosial, sedangkan kaum bumiputra (penduduk asli) menempati kelas terendah dalam stratifikasi sosial.
Akibat sering mendapatkan diskriminasi dari pelayanan orang Eropa, masyarakat pribumi yang miskin mulai kesulitan mencari pelayanan kesehatan. Beruntung, beberapa tahun kemudian berdiri rumah sakit untuk pribumi bernama Panti Rogo yang Paku Buwana X rintis.
Berhasil atasi wabah Black Death di Mangkunegaran
Demi mempercepat penanganan pes, RS Ziekenzorg mulai menjalin kerjasama dengan pemerintah Praja Mangkunegaran dan rumah sakit yang ada di Jebres.Â
Kerja sama ini, salah satunya, mereka lakukan karena wabah juga menjangkiti lingkungan abdi dalem. Ada kekhawatiran pes bisa masuk ke lingkungan keraton.
Selain itu, pemerintah juga mulai menata pola hidup bersih masyarakat. Pemerintah sangat tegas: ketika ada orang yang terkena pes, ia akan langsung diungsikan atau membawanya ke rumah sakit, sementara pemerintah akan membabakar rumahnya karena jadi sarang tikus.
Memasuki periode 1920-an, atas usul RS Ziekenzorg, pemerintah juga mulai melakukan aksi bedah rumah. Rumah-rumah yang tak layak huni dan berpotensi jadi sarang tikus, harus diganti dengan yang baru. Alhasil, program ini cukup berhasil.Â
Pada 1921, misalnya, jumlah kasus menurun dan pada 1930-an, hampir tidak ada lagi pes di Mangkunegaran.
Riwayat RS Ziekenzorg akhirnya mengalami perubahan ketika Jepang masuk ke Jawa pada 1942. Keberadaan para dokter Belanda di RS Ziekenzorg mereka anggap sebagai mata-mata Sekutu. Para tentara pun akhirnya menawan para dokter di kamp-kamp tahanan dan mendeportasinya ke Belanda. Sementara bangunannya menjadi kamp militer Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, baungunan it kembali berfungsi sebagai rumah sakit. Namanya pun diganti menjadi Bale Kusolo pimpinan direktur R. Soemarno. Lantas berubah lagi menjadi RSUD Moewardi pada 1 Januari 1950 hingga hari ini.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Sejarah Sanatorium Pakem: Tempat TBC di Yogyakarta Diberantas, Kini Jadi Panti Asuhan dan SLB
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News