Lapangan Banteng menyimpan sejarah dan berubah fungsi masa ke masa, dari sejarah Trikora hingga pembebasan Irian Barat.
Keberadaan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, sejak 1600-an memiliki sejarah yang menarik untuk ditelisik lebih lanjut. Dahulu, Lapangan Banteng dan Monas terkenal dengan nama weltvreden.
Kepemilikannya pun berpindah-pindah tangan mengikuti fungsi lapangan yang berubah. Pada 1623 kawasan weltevreden adalah milik anthonie Pavilioen. Kemudian pada 1649 kepemilian beralih kepada anaknya, Anthonie Pavillioen Junior. Pada saat ini fungsinya menjadi pavilion fet atau lapangan pavilion.
Pada masa kepemilikan itu, lapangan tersebut disewakan untuk perkebunan dan peternakan. Selanjutnya pada 1750 kepemilikan tanah beralih kepada gubernur jenderal yang berkuasa kala itu, mulai dari Jacob Mossel hingga pemerintahan Herman Williem Daendels pada 1800-an.
Lapangan Banteng, Pusat pemerintahan dan pertahanan Hindia-Belanda
Saat penguasaan Daendels Lapangan Banteng berguna sebagai pusat pemerintahan. Sejarawan UI, Kartum Setiawan dalam wawancara dengan Kompas TV menjelaskan, setelah berkembangan cukup lama, Daendels memindahkan pusat pemerintahan dan membangun sebuah istana yang jauh dari laut. “Sebab itu pertahanan mulai bergeser ke selatan, sehingga ia memerintahkan pusat pemerintahan berpindah ke selatan,” jelasnya.
Sementara itu pada 1809 Daendels membangun sebuah istana white house besar di kawasan weltevreden. Rumah putih ini sekarang beralih fungsi menjadi kantor Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Saat itulah Daendels memfungsikan wilayah Weltevreden sebagai tempat kawasan militer dengan memamerkan pertunjukan parade militer dan latihan perang.
Setelah era Daendels, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda beralih ke tangan Leonardo Bush. Di tangannya sebuah monumen tinggi dengan patung singa di atas berdiri di depan gedung white house dan Waterloo.
Ejekan untuk kekalahan Prancis
Menurut Candrian Attahiyat, Peneliti Cagar Budaya DKI Jakarta ketika wawancara bersama Kompas, monumen tersebut berdiri untuk merayakan kekalahan Prancis yang tidak berkuasa lagi di Indonesia.
“Waterloo adalah lapangan Waterloo. Nama ini bercerita tentang perang Prancis, tetapi intinya adalah mengejek Prancis yang kalah di Waterloo pada 1815. Monumen ini untuk mengenang kekalahan Prancis. Yang membuat adalah penguasa berikutnya, Belanda dan Inggris,” jelas Candarian.
Selain berfungsi lapangan militer, Waterloo juga bermanfaat untuk lapangan olahraga, khususnya sepak bola. Dari sinilah pribumi mulai mengenal lapangan sepak bola. Film dokumenter 1920an-1930an merekam ketika tidak ada parade militer, biasanya untuk lapangan bola.
Tidak hanya patung singa, di Lapangan Banteng sempat terdapat patung pendiri Batavia, J.P. Coen, yang berdiri pada 1876. Patung tersebut dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk mengenang 257 tahun Jayakarta yang tertaklukkan oleh J.P Coen.
Tahun 1942, saat Jepang berhasil menduduki wilayah Indonesia pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, semua patuh bernuansa kolonialisme dihancurkan, termasuk patung Waterloo. Jepang melakukan ini sebagai bentuk propaganda Jepang kepada masyarakat Indonesia, sebagai bentuk 3 A yaitu Jepang pemimpin Asia, pelindung Asia, dan Cahaya Asia.
Kenapa bernama Lapangan Banteng?
Namun setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945, nama Waterloo berubah nama menjadi Lapangan Banteng. Soal nama Lapangan Banteng ini ada beberapa asal usulnya. Dahulu pada masa kolonial Belanda ada yang menyebut Buffelsveld yang berarti lapangan banteng atau kerbau. Ada juga yang menyebut, area ini banyak sekali satwa liar seperti macan, kijang, dan banteng. Versi lain menyebut di kawasan Lapangan Banteng adalah rawa-rawa, sehingga menjadi tempat favorit kerbau dan banteng berkubang di dalamnya.
Sementara itu dalam penelitian Candrian Attahiyat penamaan banteng lantaran erat kaitannya dengan situasi politik ketika itu. “Lapangan Banteng sebenarnya bukan berasal dari banyaknya banteng, tetapi dari sebuah penamaan yang berhubungan dengan situasi politik saat itu. Saat itu partai yang menang adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), yang logonya bergambar banteng. Sehingga menyebutnya Lapangan Banteng,” jelas Candrian.
Berbeda dengan Candrian Attahiyat, Peneliti Sejarah Bung Karno Yuke Ardhiati ketika wawancara dengan Kompas menjelaskan, pemilihan nama banteng oleh Bung Karno murni sebab banteng adalah representasi yang tepat untuk sebuah perjuangan masyarakat Indonesia.
“Sepertinya tidak ada korelasi dengan unsur politik mana pun. Sebab itu original untuk menyampaikan bahwa banteng adalah makhluk fauna Indonesia yang patut dibanggakan karena keberaniannya dalam bertarung,” jelas Yuke.
Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng
Pada 1961 sebuah ide tercetus dari Bung Karno untuk membuat monumen penyemangat, saat dia berpidato perihal Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk membebaskan Irian Barat dari cengkeraman kolonialisme.
Sebagai informasi, Trikora berisi tiga poin. Pertama, menggagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda. Kedua, kibarkan sang merah putih di Irian Barat, Tanah Air Indonesia. Dan ketiga, Bersiap untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air.
Selanjutnya pada 1962 patung Monumen Pembebasan Irian Barat mulai dibangun. Monumen ini resmi pada 18 Agustus 1963 untuk merayakan masyarakat Indonesia dalam merebut kembali Irian Barat ke pangkuan NKRI.
Penggambar patung ini adalah seorang pelukis dan wakil gubernur DKI Jakarta 1964-1965 bernama Henk Ngantung. Sedangkan pembuatan patungnya oleh Komunitas Pematung Arca di Yogyakarta. Ketuanya saat itu adalah Edhi Sunarso, pematung kesayangan Bung Karno.
Menurut Yuke, saat model patung tersebut telah jadi, Bung Karno menolaknya. Bung Karno menginginkan patung yang melepaskan tangannya dan berteriak. Menggambarkan seseorang yang melepas tekanan. Detail akan sarat makna kebebasan yang ingin disampaikan Bung Karno melalui patung ini.
“Produksi patung ini berada di Jogja, lalu dibawa ke Jakarta untuk dirakit kembali. Bung Karno selalu menyempatkan kunjungan ke sana, dan memastikan patung dibuat seperti yang diinginkan. Kalau Bung Karno tidak sempat berkunjung, Pak Edhi yang melaporkan ke Istana Negara,” terang Yuke.
Untuk informasi Patung Pembebasan Irian Barat terbuat dari material perunggu dengan berat 8 ton dan tinggi 11 meter. Tinggi penyangga patung atau tinggi kaki 20 meter dari jembatan, 25 meter dari landasan.
Artikel ini diolah dari liputan Kompas TV
Penulis: Ibil S Widodo
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Mengingat Cikini, Saksi Bisu Geliat Lalu Lintas Opium hingga Klinik Aborsi Buang 2.365 Janin ke Toilet Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News