MOJOK.CO – Tren kasus TBC di Jogja semakin meningkat. Jumlahnya melonjak selama pandemi. Perlu memperluas tracing agar pasien lainnya bisa terdeteksi.
Tuberkulosis (TBC) masih menjadi salah satu penyakit dengan jumlah kasus yang tinggi di Yogyakarta. Berdasarkan data Dinkes DIY, estimasi kasus yang disebabkan oleh bakteri Mycobacter Tuberculosis ini meningkat dari tahun ke tahun.
Sebelum pandemi COVID-19, perkiraan kasus TBC di Jogja mencapai 9.064 kasus per tahun. Namun, angka ini naik menjadi 10.530 kasus pada 2022. Dan dari kasus-kasus tersebut, baru sekitar 50 persen yang terdeteksi.
“Di DIY baru ditemukan 5.250 [kasus] tahun lalu. Kalau dipersentase baru sekitar 50 persen kasus yang berhasil ditemukan dan dilaporkan per tanggal 6 Februari 2023. Belum bisa menemukan seluruhnya,” papar Pengelola Program Penanggulangan Tuberculosis Dinkes DIY, Suharna dalam Dialog TBC di Yogyakarta, Kamis (09/02/2023).
Menurut Suharna, masalah ini terjadi karena kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang membatasi mobilitas masyarakat ke rumah sakit atau klinik untuk periksa TBC.
“Semua petugas kesehatan terkosentrasi penanganan Covid-19 sehingga kontak tracing pasien TBC tidak bisa dilakukan. Akibatnya terjadi penularan di tingkat keluarga karena pasien tidak segera diobati,” jelasnya.
Suharna menambahkan, petugas kesehatan seringkali mengalami kendala dalam menemukan kasus TBC di Yogyakarta. Hal itu disebabkan stigma negatif akan penyakit TBC yang dianggap memalukan sehingga membuat keluarga menyembunyikan pasien alih-alih diperiksakan.
Selain itu, belum semua tenaga kesehatan dan klinik yang melaporkan kasus TBC di DIY. Padahal pemantauan dilakukan secara berjenjang, mulai dari dinkes kabupaten/kota hingga Kementerian Kesehatan (kemenkes).
Namun setelah melandainya pandemi pada 2022, upaya penemuan kasus TBC bisa kembali ditingkatkan. Apalagi petugas kesehatan sudah dikembalikan pada ketugasannya masing-masing.
“Ini kemungkinan angkanya masih banyak karena belum ada yang dilaporkan. Makanya perlu disosialisasikan ke masyarakat agar pasien tidak menyembunyikan diri. Karena pengobatan TBC tidak boleh putus, jadi kalau ada pasien yang belum ambil obat maka petugas menghubungi atau didatangi ke rumahnya,” paparnya.
Butuh tambahan alat
Selain tracing pasien TBC, sejumlah upaya dilakukan untuk menemukan kasus TBC. Screening TBC di tingkat masyarakat diperluas, termasuk tracing di keluarga pasien.
Fasilitas kesehatan juga disiapkan untuk menerima dan mengobati pasien. Setiap puskesmas bisa melayani kasus TBC.
Sayangnya belum semua puskemas memiliki alat deteksi kuman TBC. Dengan alat Tes Cepat Molekuler yang digunakan memeriksa dahak pasien, maka bisa diketahui kuman TBC hanya dalam waktu dua jam.
Di Yogyakarta, baru ada 30 alat tersebar di lima kabupaten/kota. Padahal jumlah fasilitas kesehatan yang membutuhkan alat Tes Cepat Molekuler sekitar 121 puskemas dan 80 rumah sakit.
“Alatnya perlu ditambah dan selama ini suplainya dari kemenkes. Kalau provinsi dan kabupaten/kota mau menganggarkan, dipersilahkan dengan harga sekitar Rp 500 juta,” paparnya.
Sementara Anggota Komisi D DPRD DIY, Tustiyani mengungkapkan Pemda DIY diminta untuk lebih serius dalam penanganan persoalan TBC. Langkah-langkah nyata dibutuhkan untuk mengatasi penyakit yang hingga saat ini masih saja muncul.
“Sebab ada kebiasaan masyarakat yang tidak memeriksakan penyakit karena takut ketahuan penyakitnya. Perlu sosialisasi yang lebih luas di masyarakat dengan menitipkan pada kader-kader di desa hingga dusun untuk mendeteksi TBC,” imbuhnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Purnawan Setyo Adi