MOJOK.CO – Sutradara Hanung Bramantyo mengungkapkan, kepemilikan Intellectual property (IP) atau kekayaan intelektual sangat penting di era digital saat ini. Namun sayangnya tak banyak sineas film yang memiliki kesadaran untuk berinvestasi melalui IP.
Bagi sineas film, IP menjadi penting karena fungsinya sebagai sarana untuk menjaga identitas karya. Selain itu, kepemilikan IP juga dapat membantu mengembangkan bisnis dan investasi, serta dapat menjaga reputasi.
“Saat ini banyak sineas yang kurang berani mengambil risiko berupa investasi ke karya dan kalah dengan pemodal,” ungkap Hanung dalam diskusi bertema ‘Disrupsi teknologi terhadap dunia perfilman lokal’ di Jogja National Museum (JNM), Selasa (20/12/2022).
Menurut Hanung, ketika sineas film ditantang berinvestasi untuk Intellectual Property, mereka lebih memilih mundur. Investasi karya melalui IP belum dianggap penting karena terlalu berisiko, terutama dalam hal finansial.
Sementara proses untuk membuat sebuah karya, terutama film membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Namun ketika para sineas diminta menginvestasikan IP dengan harga yang tinggi, mereka memilih menyerahkan karyanya pada para pemodal.
“Tapi ketika disuruh [punya] bargaining (posisi tawar-red), kamu [sineas] mau tidak all out juga, keluar duit di sini, ini pada tidak mau. Jadi akhirnya [pemodal] yang [mau] berisiko. [Contohnya] kalau [investasi] film bisa Rp40 miliar, sineas jiper kalau dibagi 50-50 dengan pemodal, akhirnya [pemodal] beli putus [karyanya],” tandasnya.
Persoalan ini, lanjutnya membuat kepemilikan IP bukan punya kreator. Namun para pemilik modal yang berani kehilangan uang untuk sebuah produk, seperti penyedia platform digital streaming.
“Rata-rata pemilik IP itu sebetulnya bukan kreator, dia hanya punya mental pemberani aja, risiko. Risiko uang saya bakal hilang Rp200 juta atau Rp20 miliar untuk membuat sebuah produk. Sesimpel itu dan kita mau tidak seperti itu,” tandasnya.
Karena itu, Hanung berharap pemerintah, termasuk di tingkat daerah bisa memberikan dukungan bagi para sineas lokal untuk berinvestasi pada IP. Di Yogyakarta misalnya, Pemda DIY bisa memanfaatkan dana keistimewaan (danais) untuk membantu para sineas lokal.
Sebab dari pengalaman pembuatan film pendek “Tilik” yang fenomenal dan sudah ditonton lebih dari 27, 5 juta orang, karya sineas lokal Yogyakarta tak kalah berkualitas dibandingkan karya sineas luar negeri.
“Dengan banyaknya pembuatan film pendek, saat ini yang dibutuhkan adalah platformnya dan dukungan dari pemerintah, bisa lewat danais kalau melihat fenomena film tilik,” tandasnya.
Sementara penulis dan sutradara Djenar Maesa Ayu mengungkapkan keberadaan platform digital berbayar yang menyediakan konten-konten tentang film menjadi sangat penting untuk mewadahi karya sineas dan seniman untuk berkarya. Sebab tidak semua sineas, kreator ataupun seniman memiliki wadah untuk berkarya.
“Dahulu, ada gedung film tapi terkadang film yang dibuat oleh sineas tidak bisa tayang karena tidak punya nilai jual. Gedung film juga tidak bisa menayangkan film independen. Nah ketika ada platform atau wadah maka semakin mudah sineas untuk berkarya,” ungkapnya.
Dengan adanya wadah yang mempertemukan film dengan penontonnya maka nantinya akan terbentuk pasar sendiri. Beragam pilihan tayangan film dari sineas pun akan menghilangkan monopoli dari para pemodal besar.
“Saya itu main film bayaran untuk membuat film dan kini semakin banyak wadah yang bisa digunakan oleh sineas untuk memperkenalkan karyanya dan tidak ada monopoli dalam menayangkan film,” imbuhnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Purnawan Setyo Adi