Belakangan, sering lewat di beranda sosial media saya mengenai keluhan peserta didik mengenai tugas kelompok. Premis utama keluhan mereka adalah adanya orang-orang yang hanya ‘titip nama’ di kelompok tersebut; tidak mau berkontribusi, menghilang, menghindar dengan berbagai alasan, atau sebut saja AFK. Kejadian seperti ini banyak disampaikan oleh mereka yang peduli nilai dan bertanggung jawab sebagai peserta didik. Mereka mengaku lelah menghadapi situasi harus meng-carry tugas yang mestinya dikerjakan bersama-sama.
Hyper-carry sendiri sebenarnya sebutan untuk karakter game yang tugasnya menggendong tim meraih kemenangan dengan menyumbang damage terbesar. Kalau kamu pemain moba (mobile legends), istilah ini pasti sangat familiar. Sama seperti orang-orang yang harus memikul beban anggota lain dalam kelompok yang entah hilang ke mana, hyper-carry di tugas kelompok adalah orang dengan pekerjaan paling banyak.
Mereka biasanya orang yang paling sering memulai percakapan di dalam grup kelompok (meski sering tidak ditanggapi anggota lainnya). Misalnya mengkoordinasi pembagian tugas, mengingatkan pekerjaan anggota lain, menjadi editor dan penyelaras akhir, penyetor tugas ke dosen, bahkan orang yang siap menambal pekerjaan anggota yang tidak bisa dihubungi tiba-tiba.
Dalam kasus lebih parah, orang-orang yang menggendong tugas kelompok ini bahkan harus merangkap menjadi moderator bahkan notulen dalam presentasi. Sementara anggota lain, syukur-syukur sudah mau mengerjakan pekerjaannya sendiri, atau sudi berbelas kasih membawa laptop ke kampus guna jadi penggeser slide PPT. Tidak mengherankan kalau dalam postingan-postingan berisi keluhan yang menyuarakan ketidakadilan itu, para hyper-carry ini akan sangat terkejut jika ditempatkan pada kelompok ‘sehat’ yang anggotanya mau berkontribusi semua.
Padahal hadir di kurikulum
Sebagai salah satu orang dengan akses pendidikan yang mumpuni karena pekerjaan orang tua di bidang pendidikan, tak heran kalau saya kerap membaca update kurikulum. Tapi, tak perlulah menjadi orang dengan latar belakang seperti saya untuk tahu kriteria penilaian sikap tiap kurikulum. Karena nyatanya, dari tahun ke tahun, tidak ada perubahan yang cukup signifikan mengenai pengajaran spiritual, sikap, maupun budi pekerti tersebut. Peserta didik selama ini tak pernah jauh dari ajaran sikap jujur, gotong royong, saling menghargai, dan lain-lain.
Mirisnya, sikap-sikap tersebut nyatanya jauh bertentangan dengan fenomena hyper-carry dalam kelompok ini. Perlu digarisbawahi pula, kejadian ini tak hanya terjadi di lingkungan kampus yang katanya didominasi sikap individualis yang tinggi. Tapi juga di lingkungan sekolah yang masih kental konsep kebersamaan. Tak ayal bila dari dulu hingga sekarang, peserta didik yang ‘pintar’ atau ‘rajin’ selalu menjadi solusi bagi para oknum ‘titip nama’ ini. Kalau sudah begini, ajaran-ajaran sikap yang selalu tercantum di dalam kurikulum itu nyata gagal direalisasikan oleh pribadi-pribadi ini.
Solusi-solusi yang kurang mengatasi
Sejauh ini, hal paling ekstrim yang saya tahu dalam rangka membuat jera para oknum AFK (away from keyboard) ini adalah dengan tidak mencantumkan nama mereka di daftar anggota kelompok. Peserta didik, siswa, atau mahasiswa yang lebih berani juga melapor ke pengajar. Mirisnya, tindakan demikian justru dinilai kejam peserta didik lain.
Pelaku bahkan dipandang sebagai orang bersumbu pendek yang tidak dapat menyelesaikan persoalan dengan kepala dingin. Hal tersebut yang kemudian membuat para hyper-carry ini hanya bisa bungkam karena takut diserang menggunakan opini-opini demikian. Kadang-kadang, pengajar memberi kesempatan pada peserta didik untuk memilih kelompoknya sendiri. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir ketidakpuasan kontribusi antaranggota.
Tapi, nyatanya, sistem ini juga kurang efektif untuk memberantas fenomena ini. Karena dari pengalaman yang saya alami, para oknum yang suka AFK ini secara terstruktur akan saling memisahkan diri supaya tidak berkumpul dalam satu kelompok. Hal ini juga yang melatarbelakangi para oknum AFK lebih suka metode pemilihan kelompok secara acak. Mereka mungkin menyadari bahwa semakin ke sini, makin susah mencari kelompok yang mau menampung mereka (ah, maksudnya menampung nama mereka).
Counter fenomena hyper-carry
Sampai saat ini, satu-satunya counter yang menurut saya mampu mengatasi meta hyper-carry dalam kelompok adalah hadirnya pengajar yang idealis. Pada suatu kesempatan saat saya berkuliah, salah satu dosen memiliki aturan ketat mengenai pengadaan tiap tugas kelompok. Dosen ini tidak hanya menyimak nama-nama yang dicantumkan sebagai penyusun tugas, tetapi juga meminta kelompok tersebut menyertakan bukti diskusi, bahkan membuat form penilaian individu mengenai kinerja dan kontribusi antaranggota.
Hal ini sukses membuat para oknum yang kerap AFK ini mengkis-mengkis dan mendadak jadi yang paling heboh di forum diskusi. Tentu saja pengajar-pengajar seperti ini sangat jarang ditemui, pengecekan demikian juga masih dapat diakali, dan masih banyak para oknum yang AFK tetap tidak peduli. Jadi, karena kamu mampir ke uneg-uneg ini, apa kamu termasuk hyper-carry?
Najwa Sirodjudin
Dk. Krasak, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah
[email protected]