MOJOK.CO – XT Square bagai hidup segan mati tak mau. Walaupun sudah berubah dari pusat seni dan kerajinan jadi pasar thrifting, namun tetap sepi.
Wajah pasar seni dan kerajinan XT Square jauh berubah dari saat pertama saya mengunjunginya pada 2018 lalu. Dulu, lokasi ini masih asyik untuk nongkrong mengingat banyaknya stand kuliner dan event pameran yang sering ada.
Namun, sekarang XT Square tak ubahnya menjadi pusat lapak pakaian bekas atau thrifting, yang mungkin terbesar di seluruh Jogja.
Sejak beroperasional pada 2012 lalu, lini usaha yang dikelola perusahaan BUMD Jogjatama Vishesha ini memang tak ramai-ramai amat. Bahkan, orang-orang yang berkunjung atau sekadar melintas, tak sedikit yang bingung ini sebenarnya lokasi apa.
Salah satunya Wahid (22), salah seorang mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Sejak menjadi mahasiswa baru pada 2019 lalu, pria asal Semarang ini mengaku tahu ada tempat bernama XT Square, tapi tidak paham ini lokasi apa.
“Biasanya cuma aku jadiin tempat COD, biar gampang aja patokannya kalau mau ketemu pembeli,” ujar Wahid.
“Sering banget aku COD di situ, tapi sekalipun enggak pernah masuk. Kurang tertarik aja buat masuk,” sambungnya.
Padahal, kampus Wahid berada tak jauh dari XT Squre. Indekosnya pun, kala itu, berjarak 5 menit berjalan kaki dengan pasar seni tersebut.
“Tapi temen-temenku yang asli Jogja juga enggak tahu itu tempat buat apa, jadi malas aja kalau mau masuk ke situ cuma buat nyari tahu,” ungkapnya dengan nada bercanda.
Berubah rupa sejak pandemi
Meskipun terkesan sepi, XT Square yang dulu menurut saya masih menjadi tempat asyik buat nongkrong. Atau setidaknya, bisa lebih baik untuk jadi sekadar “tempat COD-an”.
Awalnya, lokasi yang punya nama lain Pusat Seni dan Kerajinan Yogyakarta (PSKY) ini merupakan bangunan pusat penjualan untuk menjajakan produk-produk hasil seni dan kerajinan bagi masyarakat Jogja.
Bangunannya berdiri di atas lahan bekas terminal bus Umbulharjo. XT Square menyediakan 264 kios. Saat pertama kali beroperasional, ada 100 kios teregistrasi yang mayoritas menjual produk kerajinan dan seni dengan pangsa pasar utama adalah wisatawan dari luar Jogja.
Namun, setelah pandemi, wajah XT Square mengalami perubahan dengan banyaknya lapak thrifting. Menurut petugas pengelola XT Square, Muhammad Roichan Juni Saputra, menjamurnya gerai thrifting ini karena banyak UMKM yang gulung tikar. Alhasil, mereka tidak melanjutkan sewa dan gerai kosong itu diambil alih lapak thrifting.
“Saat pandemi kan banyak yang tidak lanjut sewa ruko. Sementara kalau tak ada yang menyewa, kami yang rugi. Lalu datang pengusaha thrifting ini menyewa sebagian ruko kami,” tandasnya, mengutip dari Harianjogja.
Uang sewa ruko di XT Square sendiri beragam. Untuk lapak kuliner, harganya Rp1 juta per bulan. Sementara para pengusaha thrifting harus bayar sewa Rp4,1 juta tiap tahun.
Roichan pun menyadari betapa sepinya XT Square. Maka, pihaknya mengaku berusaha kembali menghidupkannya dengan tetap mengadakan event-event yang sifatnya temporal.
“Misalnya pas puasa ada Pasar Sore Ramadan, itu banyak UMKM kuliner yang ikut memeriahkan di sini,” pungkasnya.
Di sana nyari apa, sih?
Sebenarnya, XT Suare bisa menjadi surga bagi pemburu pakaian thrifting. Di lantai 1 dan 2, terdapat puluhan kios yang menawarkan pakaian bekas dari berbagai jenama, baik dalam negeri maupun mancanegara.
Harganya pun beragam, mulai dari Rp50 ribuan hingga ratusan ribu untuk tiap kaos, celana, rok, jaket, kemeja, dan lain sebagainya. Seperti halnya lapak thrifting lainnya, di lokasi ini, pembeli pun masih bisa menawar harga.
Misalnya, di XT Square saya pernah mendapatkan t-shirt band Slayer album South of Heaven (1988) keluaran brand lokal, Oblivion.
Kaos berwarna dasar hitam dengan corak merah tersebut masih terlihat baru, hanya saja ada sedikit bercak seperti bekas lunturan di bagian punggung. Namun, meski sepertinya itu noda permanen, ia tak terlalu mengganggu.
Saya mendapatkannya dengan harga Rp50 ribu, dari yang awalnya dijual seharga Rp80 ribu. Padahal, harga baru untuk kaos ini sekitar Rp350 ribuan.
Dengan demikian, saya pun memandang jika dikelola secara lebih baik, XT Square punya potensi besar. Setidaknya, jika tidak mau kembali ke label awalnya sebagai pasar seni, ia bisa rebranding menjadi “pusat thrifting Jogja”. Menandingi Pasar Senen di Jakarta.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi