Di tengah hari yang terik dan cukup panas, Romlah dan Karjo tampak disibukan dengan urusan di dapur rumah. Keduanya tengah menyiapkan makanan kecil yang akan dijadikan sebagai suguhan acara arisan petang harinya.
Romlah memang sengaja berinisiatif untuk membuat sendiri kue-kue yang akan menjadi hidangan acara arisan. Biar hemat katanya.
Karjo sebagai suami yang memegang teguh prinsip hemat cermat dan bersahaja tentu saja mendukung penuh inisiatif istrinya.
Sedari tadi mereka berdua lebih banyak diam. Masing-masing sibuk dengan beberapa jenis makanan yang ingin dibuat. Romlah mengiris wortel untuk membuat lumpia, sementara Karjo sedang bersiap untuk membuat pisang goreng. Hingga kemudian, Romlah membuka sebuah percakapan.
“Mas, tahu nggak tetangga baru kita yang belum lama pindah ke sini itu, katanya mau cerai. Suaminya diusir dari rumah sejak seminggu yang lalu.”
“Lho, iya to? Memangnya ada apa?” tanya Karjo sambil tetap melucuti satu demi satu pisang kepok yang belum terlalu matang.
“Katanya Bu RT sih karena suaminya poligami,” jawab Romlah.
Karjo berdiri untuk mengambil baskom yang sudah penuh dengan adonan tepung dan meletakkannya di sebelah irisan pisang tadi.
“Jadi katanya, suatu ketika, istrinya nglilir kebangun malem-malem. Nah, saat kebangun itu, ia mendapati suaminya ternyata belum tidur dan malah masih cekikan sambil pegang hape. Si istri kemudian pura-pura tidur lagi, hingga kemudian saat si suami ke belakang buat buang air kecil, istrinya kemudian mencoba membuka hape si suami.”
“Terus?” tanya Karjo penasaran.
“Nah, waktu dicek, ternyata di hapenya tadi, suaminya sedang berhubungan sama perempuan lain. Pake aplikasi khusus poligami, kalau nggak salah namanya ayopoligami,” kata Romlah mencoba menjelaskan dengan semangat cerita dari Bu RT saat sedang membeli sayur bersama pagi tadi.
“Emang itu suaminya jelas-jelas poligami? Kan katamu cuma chatingan saja sama perempuan lain. Kamu tahu darimana kalau dia nikah lagi?”.
“Dia kan pakek aplikasi ayopoligami gitu, Mas. Kalau pakek aplikasi itu, ya pasti poligami toh. Apalagi sampai diusir dari rumah sama istrinya.”
“Kan itu cuma aplikasi, Dek. Kalau cuma pakai aplikasinya aja, ya nggak mesti punya istri lagi.”
“Tapi kalau udah pakai aplikasinya, kan otomatis sudah ada keinginan untuk nikah lagi toh, Mas. Apalagi chatingannya katanya vulgar banget”.
“Nah, kalau masih keinginan, berarti belum toh? Lagipula, mungkin bisa jadi suaminya itu lelah juga sama istrinya. Katamu waktu itu istrinya sering ngomel kan kalo di rumah? Mungkin, dia butuh sedikit hiburan lah,” kata Karjo cenderung agak membela.
Nada bicara Romlah mulai meninggi, “Lah, memangnya kalau istri suka ngomel itu bisa dijadikan alasan suami untuk cari hiburan di luar gitu?”
“Ya nggak juga. Tapi daripada cari hiburan di prostitusi, kan masih mending cuma cari hiburan lewat aplikasi”.
“Iya, awalnya cuma cari hiburan, cuma chatingan, trus akhirnya malah keblalasan”.
“Ya, kalau memang mereka keblablasan dan ternyata beneran nikah lagi, terus kenapa? Sebenarnya kan kita nggak tahu pasti kondisi mereka. Toh dalam kondisi tertentu, poligami boleh-boleh saja loh, Dek. Itu contohnya udah ada banyak ustadz yang punya istri dua.” kata Karjo yang berusaha menanggapi dengan tenang cerita Romlah, tapi ternyata tanpa sadar justru memanaskan atmosfer percakapan mereka.
“Jadi maksudnya, Mas Karjo setuju sama poligami, gitu?” tanya Romlah sembari tangannya tanpa sadar mengacungkan pisau yang dipakainya untuk mengiris wortel ke muka Karjo
“Kalau aku setuju, memangnya kenapa to, Dek? Pada dasarnya poligami kan boleh, asal bisa adil sama istri-istrinya, bisa menghidupi juga.”
“Mas mau poligami? Sudah merasa bisa adil? Ngasih makan aku saja udah ngos-ngosan, kok malah berniat nambah tanggungan.”
“Bukan gitu maksudnya, Dek.”
“Atau Mas ternyata malah memang sudah punya simpenan lain?”
“Astaga, kok kamu mikirnya gitu?” Karjo balas bertanya.
“Jawab dulu, Mas!”
“Ya enggak toh Dek. Kamu tuh aneh-aneh aja.”
“Ah, sebel sama Mas. Pertanyaanku nggak dijawab. Jadi semakin curiga.” kata Romlah sambil meletakkan pisaunya dan berlalu dari dapur.
Karjo yang melihat aksi Romlah pergi dari dapur dengan segera langsung mengambil hape miliknya yang tak jauh dari tempatnya.
“Ealah… jangan sampai gara-gara aplikasi ini aku sama Romlah pegatan, masih mending kalau cuma diusir dari rumah, lha kalau sampai dibacok pakai pisau, modiar aku,” gumam Karjo sambil menghapus sesuatu dari telepon pintarnya.